Jumat, 21 Agustus 2009

Sumber ‘Anggur’ Su Dekat!

Selasa, 18 Agustus 2009
Ketika mata yang lelah belum lama teduh dalam mimpi, ketika kaki dan tangan yang terkulai belum puas berbuai dalam keempukan tilam, ketika nafas yang terengah belum sempat berhembus ramah, saya yang selama berhari-hari larut dan hanyut dalam semarak perayaan HUT ke 64 RI, terkejut dalam tidur siang yang sekejap itu. Astaga! Hari ini ibadah syukuran Dies Natalis ke 47 Cabang GMKI Kupang di Gereja Maranatha Oebobo. Untung dingatkan Om Aryanto Ferdinan, Ketua Komisariat Rabbi—FKIP Undana. Tidak cuci muka, pakai baju kaos, sandal jepit lalu naik Angkot menuju gereja. Oh my Good! Ibadahnya sudah berlangsung. Ibadah ini dipimpin oleh seorang pendeta dengan bacaan dari Yohanes 2:1-11 yang berperikop Perkawinan di Kana. Mengawali renungan tersebut, Usi Tina dkk yang berkostum jubah dengan aneka warna, membawakan sebuah oratorium. Oratotium ini berisi seruan umat manusia yang mempertanyakan keberadaan Tuhan di tengah gempuran musuh. Di akhir oratorium itu ada pengakuan bahwa Tuhan selalu ada untuk kita.
Dalam renungannya, Pak Pendeta mengibaratkan cabang GMKI Kupang sebagai pesta perkawinan yang kekurangan anggur. Anggur dalam konteks GMKI berupa sejarah, visi misi, civitas gerakan, senior members dan hal terkait di dalamnya. Di usianya yang ke 47, GMKI juga diharapkan untuk tidak menjadi seperti bayi.
Pada kesempatan itu, Om Ebetz L. Masu, Ketua Cabang GMKI Kupang MB 2008-2010, dalam pidatonya meyentil beberapa hal menyangkut dinamika Cabang GMKI Kupang yakni: hubungan timbalik balik anggota GMKI dan GMKI yang saling menopang dan saling mempengaruhi; komunikasi internal organisasi dan komunikasi eksternal organisasi; jiwa kewirausahaan dalam GMKI; pembinaan kader GMKI secara formal dan informal (Pendidikan Kader Level Satu/PKLS); dan masalah tanah tempat berdirinya Sekretariat GMKI Kupang yang akan diterima kembali oleh pemiliknya. Setelah itu, Bapak Agus Benu, senior member yang membawakan kata sambutan, menyesalkan pelaksanaan ibadah syukuran yang seharusnya mulai pukul 16.00 Wita namun molor hinggga satu jam kemudian. Beliau juga menyampaikan beberapa pesan agar pada ruang strategis, GMKI harus datang dan berarti bagi “konsumen”. GMKI juga harus bisa memberikan sesuatu yang lebih besar dan berarti dari sesuatu yang diterimanya. Sebagai organisasi yang ‘bergerak’, ujung kurva gerakan jangan sampai mengalami regresi dari capaian tertinggi sebelumnya. Gerakan itu hendaknya dimulai dari diri kita—disiplin dalam berkuliah, jangan sampai drop out karena malas kuliah. “Anda tidak akan sendiri kecuali Anda yang menyendirikan diri”, katanya ketika mengakhiri kata sambutannya.
Ibadah syukuran yang dihadiri beberapa senior members, diantaranya Bapak Agus Benu, Bapak Yapi Niap, Bapak Rodialek Polo, Mama Mia Noach, Bapak Naldi serta beberapa senior lainnya, BPC GMKI Kupang, Pengurus Komisariat se-Cabang GMKI Kupang, para anggota dan undangan, disemaraki dengan pemotongan kue ulang tahun ke 47 oleh Om Ebetz lalu menyuapi para senior members. Eh, karena larut dalam kebahagiaan, lilin berbentuk angka 47 itu lupa dibakar. Setelah kuenya dipotong dan dimakan baru lilinnya dibakar dan ditiup. Hahahahaha . . . . !!!!
Tidak apa-apa kan? Sesekali dobrak tradisi dong!

Ketika makan bersama . . . . . !
“Apakah seksi konsumsi kehabisan anggur?”
Jangan takut! Sekarang sumber ‘anggur’ su dekat. Kita sonde haus lagi. Bisa Bantu BPC dan PK melayani orang lain.
A . . a.. .a . . ! Seandainya ‘anggur’ macet maka BPC dan PK akan mencekkean tiap hari.
Hahahahahah . . . .!!!!

SELAYANG PANDANG CABANG GMKI KUPANG

Sejarah pembentukan GMKI kupang dapat ditelusuri melalui AD GMKI pasal 5 ayat 2, yang menyatakan bahwa bentuk organisasi ini berbentuk kesatuan yang mempunyai cabang-cabang di kota-kota Perguruan Tinggi di Indonesia.
Di samping itu pula, berdirinya GMKI Kupang sangat berkaitan erat dengan berdirinya Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang pada tahun 1962 dan PGSD Negeri Kupang yang pada waktu itu sudah ada, serta kepentingan dan kesadaran pembentukan wadah kesatuan dan pengembangan kerohanian mahasiswa Kristen di Kupang.
Berdasarkan hal di atas, dengan bermodalkan pengetahuan dan pengalaman akan misi Gerakan sejak menjadi anggota GMKI Cabang Jogjakarta tahun 1955-1959 mendorong Bpk. Robert Riwu Kaho berinisatif membentuk GMKI Cabang Kupang.
Langkah pertama yang ditempuh adalah, mengadakan hubungan dengan beberapa anggota GMKI Cabang Jogjakarta, Malang dan Jakarta yang berada di Kupang antara lain :
1. Bapak Martinus Londong, BA (waktu itu sebagai Jaksa)
2. Bapak Tigor Gultom (Kepala Perdagangan NTT)
3. Bapak Welly Sereh (Camat Kota Kupang)
4. Bapak L. Radja Haba (Dosen Theologia, eks GMKI Cabang Jakarta)
Setelah mengadakan pembicaraan secara informal, mereka bersepakat dan menyetujui pembentukan GMKI Cabang Kupang dan memperoleh dukungan masyarakat Kristen. Kelima orang tersebut mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh masyarakat pada waktu itu antara lain : Bapak R. B Nale dan Bapak M. Tugededo (Alm) sehingga pada tanggal 18 Agustus 1962, pukul 16.00 Wita diadakan rapat perdana di SMP Negari 2 Kupang dengan agenda tunggal yaitu pembentukan calon Cabang GMKI Kupang. Hasil dari rapat tersebut adalah :
1. Semua peserta rapat menyetujui Calon Cabang GMKI Kupang dan segera melapor ke PP-GMKI di Jakarta untuk mendapat pengesahan.
2. Terbentuknya Badan Pengurus Cabang GMKI Kupang hingga menanti datangnya surat pengesahan dengan susunan sebagai berikut :
Pembina : 1. Bapak Robert Riwu Kaho
2. Bapak Tigor Gultom
3. Bapak Welly Sere
Badan Pengurus
Ketua : Jos Ngefak
Wakil Ketua : Sol Therik
Sekretaris : Habel Doko
Bendahara : Petronela Tjung
Pembantu / Anggota : Lende Umbu Tara
P. Simanjuntuk
Daud Lata
Yo Woleka

Sejak saat itu, GMKI Cabang Kupang terus bergerak dan bergumul di atas kegersangan batu karang, menyusuri medan-medan layannya (gereja, Perguruan Tinggi dan masyarakat). Mengukir karang-karang terjal dengan syalom Allah hingga menjadi relief dalam lembaran sejarah.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Setetes Embun di Simpang Jalan

(Sebuah Refleksi Memasuki Tahun Ajaran Baru)
Ketika berada di bulan Juli, salah satu warna hidup yang patut diapresiasi adalah hilir mudik anak-anak usia sekolah dengan membawa map berisi ijazah dan kelengkapan administrasi lainnya. Mereka kadang bergerombolan bersama teman-temannya atau bersama orang tuanya saja, mengalir dalam berlaksa-laksa manusia lalu mengerumuni sekolah-sekolah sampai berdesak-desakan di loket-loket penerimaan siswa baru. Orang tua terpaksa harus mencari sekolah lain jika sekolah yang dituju menolak anaknya dengan berbagai alasan. Selain kesibukan siswa baru ini, para siswa yang menyiapkan diri untuk nantinya menduduki kelas baru juga tak kalah sibuknya, bahkan menyibukkan orang tua karena harus menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah yang semuanya berujung pada uang.
Setelah liburan sekolah berakhir, para siswa dan guru akan membuka lembaran baru di tahun ajaran baru. Para siswa tentu mendapat teman baru, kelas baru, baju baru, buku baru, guru baru dan suasana baru serta segala yang serba baru. Para guru juga tentu mendapat siswa baru dan tantangan baru. Setelah para generasi penerus bangsa ini melewati proses administrasi sekolah yang panjang dan mungkin berbelit-belit, mereka pasti berada dalam genggaman sekolah. Lalu muncul pertanyaan bagi pihak sekolah terutama bagi para guru, mau diapakan para siswa ini?
Salah satu gejolak pendidikan yang akan turut berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan para guru kepada para siswa di tahun ajaran baru ini yaitu masalah hasil ujian nasional yang menurut beberapa pihak sangat memalukan dunia pendidikan kita, mengindikasikan kemerosotan mutu pendidikan, dan mencerminkan kinerja guru maupun kepala sekolah yang tidak becus dalam berusaha meluluskan siswa. Tidak hanya masalah ujian nasional tetapi ujian kenaikan kelas pun tentu mengalami gelora dan memberi efek yang sama. Seperti yang kita ketahui hasil ujian SMA dan SMK, dari 47.011 siswa peserta UN, 12.847 siswa tidak lulus dan tujuh sekolah kelulusannya 0% (Timex, 15 Juni 2009). Sementara pada tingkat SMP, dari 62.353 siswa peserta UN, 18.551 siswa tidak lulus dan 10 sekolah kelulusannya 0% (Timor Express, 23 Juni 2009). Hasil UN dari beberapa sekolah yang katanya sangat buruk ini mendapat kecaman dari pemerintah untuk menutup sekolah tersebut dan mencopot kepala sekolah bersangkutan (Timor Exppress,16 Juni 2009). Sementara mengenai hasil ujian kenaikan kelas entah bagaimana tetapi jika ada siswa yang tidak naik kelas tentu ada tekanan dari orang tua dan kepala sekolah terhadap guru bersangkutan.
Sikap mempermalukan sekolah yang angka kelulusannya buruk, ancaman menutup sekolah, mencopot kepala sekolah dan sebagainya merupakan sebuah todongan bagi para kepala sekolah dan para guru yang adalah embun penyejuk dalam kehausan untuk memilih seperti berada di sebuah jalan yang ujungnya bercabang dua ketika memasuki tahun ajaran baru. “Embun penyejuk” ini harus memilih ke kiri atau ke kanan? Meluluskan para siswa atau menyejukkan para siswa yang berada dalam kehausan?
Jika guru memilih untuk meluluskan para siswa maka bisa ditebak usaha yang ditempuh, misalnya membocorkan soal ujian bagi siswa, membantu siswa menjawab soal ujian, merekayasa nilai, setiap hari hanya melakukan try out, memberikan les tambahan, atau setiap hari hanya membahas materi yang diprediksikan akan keluar dalam ujian . Hal ini bisa saja ditempuh untuk menyelamatkan wajah sekolah dari berbagai kecaman atau menjaga wibawa guru dan kepala sekolah serta mendapat pujian dari atasan karena “kerja kerasnya”. Sementara jika guru memilih untuk mencerdaskan anak didiknnya, guru tersebut tentu berusaha menjembatani para siswa untuk memperoleh pengetahuan, membentuk watak siswa dan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
Tekanan kepada guru atau kepala sekolah karena hasil ujian yang tidak mencapai target serta digunakannya hasil ujian akhir sebagai indikator keberhasilan pendidikan bisa mengaburkan peran guru, fungsi pendidikan dan tujuan pendidikan karena semua kekuatan komponen pendidikan seperti kepala sekolah dan guru hanya diarahkan untuk mencapai target kelulusan yang ditetapkan. Apakah guru berperan untuk meluluskan siswa? Apakah pendidikan berfungsi untuk meluluskan siswa? Apakah pendidikan bertujuan agar lulus dan berijazahnya siswa?
Memasuki tahun ajaran baru ini, apakah sekolah (guru) harus mencerdaskan siswa atau meluluskan siswa? Sebagai embun penyejuk dalam kehausan, para guru atau kepala sekolah hendaknya tidak perlu merasa nasi seperti sekam dan air seperti racun ketika ujian nasional atau ujian kenaikan kelas digunakan untuk mengukur keberhasilan pendidikan dan ketika adanya punishment dari pihak lain karena hasil ujian tidak maksimal. Anggap saja semua yang terjadi sebagai pemacu adrenalin untuk lebih ‘gila’ dalam menjalankan tugas sebagai pendidik untuk mencerdaskan para siswa. Lagi pula menilai keberhasilan pendidikan, kinerja guru, mutu pendidikan menggunakan hasil ujian hanyalah penilaian yang parsial. Selain itu, keberhasilan dalam ujian bisa juga karena faktor untung-untungan saja atau karena kebetulan.
Agar guru sebagai pendidik tidak hanya meluluskan para siswa karena tertekan maka tugas guru yaitu merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan (pasal 39 UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) perlu direnungkan dengan baik dalam menjalankan peran sebagai guru. Guru bukanlah pengkhotbah atau penceramah yang selalu menghujani siswa dengan penjelasan panjang lebar tentang pelajaran yang mengkantukkan siswa. Guru bukanlah pendikte yang selalu mendiktekan isi buku kepada siswa sepanjang hari. Guru bukanlah robot yang dikendalikan untuk meluluskan siswa. Pada masa kini guru adalah seorang fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk belajar atau mengetahui apa yang tidak diketahui, membentuk watak siswa serta memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensinya. Untuk itu maka guru sebagai salah satu komponen pendidikan hendaknya memahami fungsi pendidikan (mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa) dan tujuan pendidikan (berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab) sebagaimana tertuang dalam pasal 3 UU RI No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Apabila seorang guru benar-benar mencerna fungsi dan tujuan pendidikan niscaya fungsi pendidikan pasti dilaksanakan demi menggapai tujuan pendidikan bukan hanya mengejar kelulusan. Apalah artinnya mengajar bahkan menghajar siswa sampai mengahafal semua tenses namun Bahasa Inggris siswa morat-marit? Apalah artinya nilai ujian pendidikan agama yang melebihi standar kelulusan namun kelakuan siswa melanggar norma agama? Camkanlah bahwa keberhasilan pendidikan tidak bisa divonis hanya dengan melihat nilai-nilai ujian siswa. Penilaian ujian nasional hanyalah sebuah ketidakadilan di negeri ini karena tidak memperhatikan keragaman peserta didik, ketersediaan sarana dan prasarana serta sebagai penilaian yang tidak mencakup semua aspek yang harus dinilai. Menurut Prof, Dr. Z. Mawardy Effendi,M. Pd, pendidikan secara keseluruhan meliputi aspek intelektual, emosional dan kinestik atau jasmani. Ujian nasional yang digunakan untuk menilai itu hanya mencakup aspek intelektual siswa (Kapanlagi.com, 23 April 2008)
Oleh karena itu, wahai para guru, jangan takut jika nantinya anak didikmu tidak naik kelas atau tidak lulus ujian. Meluluskan siswa bukan tugas seorang guru. Cerdaskanlah anak didikmu, bentuklah wataknya dan kembangkanlah potensinya maka anak didikmu bisa naik kelas atau lulus. Jika anak didik lulus belum tentu dia cerdas, wataknya baik dan potensinya sudah dikembangkan. Janganlah menjadi embun penyejuk yang bimbang di simpang jalan pendidikan kita. Tetapkanlah niat muliamu untuk menyejukan tunas-tunas muda harapah bangsa.
Kehormatan seorang guru adalah mengajari seorang siswa sampai cerdas, budi pekertinya baik dan potensi-potensinya berkembang sedangkan aib seorang guru adalah mengajari seribu orang siswa hanya untuk lulus ujian.
Selamat berjuang di tahun ajaran baru ini!

Buruan Cium ‘Ina’

Tanggal 26 Mei 2009, hari yang bersejarah bagi kita, khususnya masyarakat Sabu Raijua karena perjuangan semua komponen yang sarat syarat, tantangan dan pantangan telah indah pada waktunya. Setelah terbitnya UU Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi NTT, sang bungsu dalam keluarga Flobamora ini diresmikan sebagai daerah yang berdiri mandiri. Beberapa hari kemudian pun warga Sabu Raijua meluapkan sukacitanya dalam pesta rakyat yang berpusat di lapangan Napae, Seba.
Dalam dua seremoni itu—peresmian kabupaten Sabu Raijua dan pesta rakyat, berciuman hidung pasti tak terhindarkan. Berciuman (hengedo) bagi masyarakat Sabu sudah menjadi tradisi. Ciuman merupakan sarana bagi orang Sabu untuk mengungkapkan beribu perasaan yang bergemuruh dalam hati. Camat Sabu Barat. Wempy Imanuel Riwu pernah mengatakan bahwa ciuman (kepada tamu) menunjukan perdamaian dan keterbukaan hati (Pos Kupang, 20 Mei 2008).
Sebuah ciuman tentu memiliki penyebab dan tujuannya. Orang Sabu tentu berciuman karena tradisi serta bertujuan untuk menyampaikan berbagai isi hati sedangkan sepasang kekasih yang berciuman bisa saja karena dorongan nafsu belaka demi kepuasan batiniah. Ciuman bisa sebagai solusi tetapi bisa menjadi masalah, misalnya ciuman Yudas kepada Tuhan Yesus yang merupakan sebuah tanda penyerahan.
Dalam konteks pemekaran Sabu Raijua, terbitnya UU RI Nomor 52 Tahun 2008 merupakan ‘ciuman’ pemerintah pusat kepada segenap warga Sabu Raijua. Ada apa di balik ‘ciuman’ pemerintah pusat ini? Apakah karena kepentingan oknum-oknum tertentu? Apakah untuk membebaskan kabupaten induk dari Sabu yang mungkin sebagai batu sandungan?
Entah karena apa dan untuk apa, yang pasti pemekaran Sabu Raijua dari kabupaten Kupang sebagai upaya mendekatkan dan meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah (UU RI Nomor 52 Tahun 2008). Pemekaran daerah tersebut juga tentu bertujuan untuk membuka kesempatan dan lapangan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, memberikan kesempatan kepada daerah dalam mengelola potensi-potensi alam serta mendapatkan investor secara langsung.
‘Ciuman’ pemerintah pusat ini telah disambut hangat oleh segenap warga Sabu Raijua yang tercermin dalam pesta rakyat pada 5 Juni 2009.
Dalam berproses untuk mewujudkan Sabu Raijua yang mandiri dan makmur di tengah hamparan laut biru, hengedho hendaknya menjadi spirit bagi masyarakat dan pemerintah.
Satu hal yang patut mendapat jamahan serius adalah pendidikan warga Sabu Raijua. Hal ini mengingat pendidikan memberikan andil yang besar dalam pembangunan sebuah daerah. Pendidikan tentu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No 20 tahun 2003). Jika masyarakat Sabu terutama generasi muda terdidik dengan baik, niscaya Sabu Raijuan bisa mengguncang dunia karena kemajuannya.
Dalam menyatakan masyarakat yang terdidik, terutama melalui jalur formal, ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu komponen masukan instrumental (tenaga pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum, anggaran, sarana dan prasarana) dan masukan lingkungan (kehidupan sosial masyarakat, ekonomi, politik dan sebagainya) harus memadai (Tirtarahardja dan Suta, Asas-Asas Pendididikan, 2000). Jika kedua komponen ini komplit dan bersenyawa dalam sebuah proses pendidikan yang baik maka masukan mentah (siswa) bisa menjadi output yang berkualitas dan tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan wajib belajar sembilan tahun.
Membahas mengenai tenaga pendidik, tenaga kependidikan, anggaran pendidikan serta sarana dan prasarana, beberapa hal ini selalu menjadi masalah basi di Flobamora tercinta. Di berbagai kabupaten yang sudah mandiri sekian tahun saja masih kekurangan guru, ketiadaan sarana belajar, kecurian anggaran pendidikan, apalagi di Sabu Raijua yang baru berumur beberapa hari. Kendala kemajuan pendidikan lain bisa juga datang dari enviromental input terutama keadaan ekonomi, kehidupan sosial masyarakat, transportasi dan informasi. Kenyataan menunjukan bahwa banyak anak usia sekolah di Sabu Raijua yang tidak bersekolah karena ingin sukses seperti orang yang pergi merantau atau lebih suka mencari nafkah daripada bersekolah (http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/). Sebagaian masyarakat Sabu Raijua juga masih memandang pendidikan formal bagi anak perempuan tidak penting dan tidak adanya kemampuan orang tua secara ekonomis untuk menyekolahkan anak (lih. hasil penelitian Dorci Kana Gae dkk berjudul Pandangan Orang Sabu Tentang Kesempatan Memperoleh Pendidikan Formal Anak Perempuan Di Desa Raemude Kecamatan Sabu Barat Kabupaten Kupang,2007). Di sisi lain, Sabu Raijua juga selalu terisolasi ketika cuaca tidak bersahabat pada musim hujan. Masalah-masalah seperti itu tentu menjadi hambatan bagi kemajuan pendidikan di Sabu Raijua sehingga dibutuhkan penanganan yang efektif.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, selain perekrutan, perlu ada pemerataan penempatan karena sering kali ada penumpukan tenaga pendidik atau tenaga kependidikan di dalam kota sedangkan di pelosok-pelosok mengalami kekurangan. Ketidakmerataan itu bisa karena tidak konsistennnya aparat pemerintah dalam pengabdian, bisa juga karena ketiadaan sarana pendukung lain seperti listrik, sumber air dan sebagainya sehingga perlu adanya pencerahan bagi para abdi negara ini yang bertugas di pelosok-pelosok disertai pembenahan fasilitas penopang lainnnya. Sementara mengenai kurangnya minat anak untuk bersekolah dapat diminimalisir dengan penyadaran bagi orang tua dan anak tentang manfaat pendidikan. Sarana belajar yang memadai dan layak juga harus dibangun agar bisa menunjang keefektifan pembelajaran di sekolah. Dalam pengalokasian anggaran untuk pendidikan, harus ada pengawalan yang ketat sehingga tidak ada penyelewengan-penyelewengan. Menyangkut masalah ekonomi masyarakat dan sarana transportasi yang berdampak pada mutu pendidikan, dapat diatasi dengan meningkatkan profesionalitas petani dalam. mengelola rumput laut dan pohon lontar—yang merupakan bahan dasar bioetanol. Jika petani bisa mengelola rumput laut dan lontar dengan baik, diikuti dengan kehadiran pabrik rumput laut atau pabrik pengelola nira menjadi bioetanol, alasan ekonomi dalam menyekolahkan anak bisa teratasi Pelabuhan laut yang semula hanya disinggahi kapal-kapal kecil, bandara yang semula hanya didarati pesawat jenis cassa, jalan raya yang belum memadai hendaknya dibenahi juga agar mempermudah akses pendidikan
Sabu Raijua yang menyepi di antara himpitan lautan bagai seorang gadis Sabu (Ina Sabu) dengan kejelitaan alaminya. ‘Ina’—Kabupaten Sabu Raijua yang rupawan ini membutuhkan banyak polesan agar tampil menawan tetapi jangan sampai polesan itu membuat ‘Ina’ mabuk Bir dan tidak mau minum tuak manis lagi atau merasa sudah seksi jika memakai celana Levis botol lalu tidak mau memakai memakai sarung.‘Ina’ yang cantik ini jangan pernah dikhianati dengan ‘perselingkuhan’ dengan oknum-oknum serakah sampai hidupnya merana. Marilah kita bersama-sama menguras keringat dan air mata demi kejelitaan ‘Ina’ yang tersohor sampai ke ujung bumi.
Apakah kita mau agar ‘Ina’ ini cantik? Makanya buruan cium ‘Ina’!
Hewakka henge-dh'o Ina!

Kepentingan Politik vs Kekeluargaan

Politisi tidak mempunyai teman abadi dan musuh abadi.
Yang dipunyai hanyalah kepentingan abadi
(Roseleen Nzioka)
Ketika aroma pesta politik mulai berhembus ke segala penjuru bumi pertiwi dalam hantaran deru angin, berbagai gesekan, gosokan dan gasakan politis mewabah di mana-mana hingga suasana memanas, berkobar sampai membara, lalu akhirnya padam. Elit-elit politik yang mencuatkan diri sebagai para petarung sejati dalam sebuah kompetisi baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres dan Pilwapres bagai dua atau setumpuk besi tua yang bergesekan hingga memercikkan api dan mengobarkan spirit perjuangan dalam kubunya. Kemunculan para kompetitor politik ini menciptakan berbagai kubu hingga ke masyarakat akar rumput. Munculnya kubu-kubu tersebut adalah sebuah pelangi yang menyemaraki atmosfir demokrasi. Hal ini wajar karena kita sebagai anak-anak pertiwi tentu memiliki impian yang sama terhadap kemajuan negeri ini namun menempuh jalan yang berbeda.
Perbedaan misi, cara pandang dan pilihan politik tentu tidak bisa dielak dalam sebuah kehidupan yang demokratis namun sangat disayangkan jika perbedaan-perbedaan itu tidak dijunjung tinggi. Sangat ironis jika orang lain yang berbeda pilihan dipaksa untuk mengikuti apa yang tidak ia pilih. Sangat mengharukan jika kubu-kubu yang telah berseliweran di seluruh pelosok mulai bertikai karena tidak mau mengakui kelemahannya dan kelebihan kubu yang lain.
Adu jotos antar berbagai kubu dalam setiap perhelatan politik ini seperti yang telah kita saksikan dalam beberapa Pilkada, Pileg atau mungkin dalam Pilpres dan Pilwapres yang sementara bergemuruh ini serta berbagai pergolakan politik lainnya.
Beberapa waktu lalu dalam pemilihan kepala daerah di Maluku Utara, kubu Thaib Armayn - Gani Kasuba bentrok dengan kubu Abdul Gafur - Abdul Rahim Fabanyo (Timor Express, 21 Juli 2008). Penyelengaraan Pilkada di bumi Flobamora juga tak luput dari noda konflik. Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada beberapa waktu lalu, ada tidakan anarkisme—pengrusakan kantor KPUD NTT oleh paket tertentu yang melibatkan massanya (Timor Express, 21 Mei 2008). Penyelenggaraan pemilihan bupati dan wakil bupati di berbagai daerah di NTT juga sarat dengan berbagai kecurangan dan konflik antar kubu, begitu pula dengan Pileg. Selain terjadi kericuhan dan penyimpangan, juga terjadi banyak perceraian suami dan istri karena gagal dalam berpolitik serta istri terabaikan karena suami lebih mencintai aktifitas politiknya (Lampung Pos, 3 Agustus 2008).
Mengapa pertikaian, kampanye hitam, penggelembungan suara dan berbagai pelanggaran lainnya selalu terjadi dalam suatu pesta demokrasi? Keberadaan setiap kompetitor dan kubunya dalam sebuah pertarungan tentu dilatarbelakangi oleh sebuah motivasi. Motivasi-motivasi, terutama motivasi untuk berkuasa, mendapat jabatan, merontokkan lawan politik, mendapat pujian dari atasan partai merupakan motor penggerak yang memicu timbulnya hal-hal busuk dalam berdemokrasi. Selain itu juga karena ada egoisme (sikap, perasaan dan cita-cita) yang tidak realistis sehingga menimbulkan agresifitas untuk mempertahankan diri (Sukmadinata, 2004). Egoisme para politisi juga terlihat dari sikap menganggap dirinya paling baik lalu suka mencela atau membenci lawannya. Narsisme dan sadisme para politisi ini turut memberikan peran yang signifikan dalam sebuah kekisruhan politik. Noda-noda demokrasi ini timbul juga akibat frustasinya elit-elit politik bersama barisan-barisan pendukungnya karena gagal dalam meraih kursi dan jabatan atau karena gentar terhadap rivalnya. Jika seorang politisi frustasi karena lawannya begitu tangguh maka yang dilakukan seperti melakukan kampanye hitam tentang lawannya, menggelembungkan suara dalam pemilihan, dan sebagainya sedangkan politisi yang frustasi karena kalah dalam pemilihan bisa saja mengerahkan massanya untuk bertindak anarkis, atau suka mencari-cari kesalahan lawannya yang sukses untuk mengganjalnya. Sebagaimana dalam teori frustasi- agresi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang mendorong suatu perilaku untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (http://bowothea.blogspot.com). Mental berpolitik seperti ini hanyalah warisan dari Orde Baru yang diindikasikan dengan menghalalkan semua cara untuk meraih kekuasaan demi kepentingan pribadi lalu berusaha untuk mempertahankan kekuasaan itu sampai habis-habisan.
Kepentingan-kepentingan tertentu dalam berpolitik ini telah menginfeksi dan menghancurkan roh kekeluargaan kita dalam semua lapisan masyarakat, baik di kalangan elit politik maupun masyarakat kecil. Elit-elit politik yang dahulu selangkah seirama bisa ‘berseteru’. Tim-tim sukses yang dahulu merupakan sahabat bisa saling mengintai untuk saling menyerang. Rakyat kecil yang dahulu hidup rukun dalam keluarga bisa hancur karena perbedaan pilihan politik. Hal ini bisa saja terjadi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Secara psikologis, perang antar tiga pasangan pemimpin kita, antar tim sukses dan antar simpatisan telah berkobar melalui berbagai pernyataan di media massa atau melalui aktivitas lainnya, termasuk perang iklan. Para calon presiden dan wakil presiden selalu mengkritik lawannya dengan pernyataan yang panas lalu lawannya pun membalas dengan kritikan atau sindiran yang tak kalah panas. Tim-tim sukses menjanjikan kemenangan atau mengklaim kemenangan di mana-mana. Iklan-iklan yang mencerminkan narsisme dan rayuan manis para politisi juga menjamur di mana-mana. Perang psikis ini membuat gesekan-gesekan antar kubu semakin panas dan dapat mencederai kekeluargaan kita jika kepentingan sesaat sajalah yang diutamakan.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang kini bersemarak, berjalan dalam momentum Hari Keluarga Nasional sehingga roh kekeluargaan diantara elit politik sampai masyarakat akar rumput yang terkotak-kotak dalam berbagai kubu politik hendaknya semakin berkobar dalam setiap perbedaan. Sebagai politisi sejati, tim sukses, petinggi partai dan sejumlah elit politik lainnya, motivasi yang menjadi penggerak keterlibatan dalam gelora kecamuk politik hendaklah bukan motivasi untuk mengejar jabatan, kedudukan, atau keruntuhan lawan politik. Alangkah mulianya jika itu bukan karena ada udang di balik batu atau bukan karena ada kepentingan pribadi dan golongan di balik pemilihan presiden dan pemilihan wakil presiden tetapi karena kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Janganlah memperdayai dan memanfaatkan keluguan rakyat kecil sebagai mesiu dan rompi anti peluru dalam menyerang lawan politik tetapi berdayakanlah para akar rumput ini agar memiliki sikap demokratis yang pada akhirnya menghargai perbedaan. Tim-tim sukses yang dalam menjalankan fungsinya bersentuhan langsung dengan masyarakat hendaknya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat dan bukan memprovokasi atau memaksakan kehendak kepada masyarakat. Sebagai masyarakat juga janganlah terprovokasi dengan isu-isu murahan seperti isu suku, agama dan ras serta golongan yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu dan jangan mau menjual suara kita. Jangan sampai kemesraan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat yang telah terjalin selama ini menjadi kisut akibat disusupi kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, semangat Bhineka Tunggal Ika kiranya selalu membara dalam jiwa kita. Masalah di laut, jangan dibawa ke darat. Masalah perseteruan politik janganlah dibawa-bawa ke dalam keluarga. Gejolak dendam politik hendaknya diredam lalu saling berangkulanlah menuju sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Rasa kekeluargaan yang dijalin janganlah hanya sebuah kepura-puraan belaka untuk meraih tujuan pribadi. Apalah artinya kemunafikan (bersahabat, berkoalisi atau berkeluarga) dengan partai atau kubu tertentu hanya untuk mendapat jabatan, memanfaatkan koalisi yang besar untuk membalas dendam pada lawan yang berada di kubu lain, ataupun untuk menjadi penghianat dalam kubu itu?
Kemenangan sejati dalam suatu pertempuran politik adalah memenangkan rasa kekeluargaan dari berlaksa-laksa pertikaian yang muncul sebagai akibat dari ambisi akan kekuasaan.

Debar Karang

Di puncak Mutis
Di ujung sini
Melayang renung jauh ke timur
Asap kelam mengepul jauh di ujung sana
Api apa mengobar lagi?

Karang di sini berdebar sangat
Diluruh miliran angin
Jiwa rusuh risaukan katuas

Gendang nurani melekati karang
Menyimak gemuruh dari sana
Dentum desingan anak syahdukan ibu

Oh, katuas
Esok pagi di Mota’ain
Akankah kita makan sirih pinang?
Hau lahata buat ida
Moris mate laran liman Maromak

Ada Sinyal di Tengah Sawah

Secara de jure, saya menjadi anggota GMKI Cabang Kupang pada 13 Desember 2007 namun sejak awal Juli saya sudah aktif organisasi kemahasiswaan ini. Debut di GMKI dimulai ketika mengikuti Kemah Kerja Ilmiah (KKI) Komisariat Rabbi, di Desa Tuasene, Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada 4 Juli- 8 Juli 2007.
Ketika di penghujung bulan Juni, menjelang masa liburan panjang, saya bersama kawan-kawan seperjuangan nongkrong di teras depan Pusat Bahasa, Universitas Nusa Cendana setelah mengetahui jika kursus bahasa Inggris ditunda dan akan dilaksanakan pada 9 Juli. Tiba-tiba ada ajakan dari salah satu teman, Veki Tun, “nyadu, son jadi kursus ni. Karmana kitong iko kegiatan GMKI. Bilang di So’e sana. Tanggal 4 su barangkat” Daripada bingung menanti waktu tibanya kursus, lebih baik ikut kegiatan GMKI saja.
Tanggal 4 Juli 2007 pagi, saya berjalan deg-degan membawa tas berisi pakaian dan sedikit makanan ringan menuju secretariat GMKI di Jl. Durian, samping kampus lama Undana. Pintu berdaun dua berwarna biru yang terbuka seakan membuka tangan menyongsong saya. “Slamat pagi kaka”. Si gondrong berkaos biru (Sekcab GMKI Kupang, Om Yerianus Riwu Hadjo) membalas sapaan saya “syalom!”. Ah! diberi selamat pagi kok balasnya syalom? Sementara masih bingung di tempat baru ini, Kakak berambut gondrong ini menyodorkan tangan dan menyalami saya. Kami lalu berbasa-basi dan menonton Copa Amerika sembari menunggu waktu. Ternyata saya baru tahu jika syalom menjadi salam di GMKI karena beberapa orang yang saya dengar selalu mengucapkan syalom ketika berada di ambang rumah berwarna biru itu. O, iya ya. . .!!!
Setelah mengulur waktu beberapa jam, kami pun berangkat ke tempat kegiatan, yang mencapai 100 km arah selatan timur Kota Kupang. Bung Ketua Cabang berpesan agar bisa menunjukan ke-maha-an kita di masyarakat dan saling berkordinasi di lapangan. Perjalanan melelahkan yang memakan waktu sekitar 3 jam membawa kami tiba di desa Tuasene, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kami disambut dengan tarian Foti (tarian asal Rote) lalu diikuti pengalungan selendang kepada beberapa senior. Setelah seremoni kilat ini, kami mengangkut barang-barang ke gedung SD sebagai tempat penginapan kami.
Ibadah pembukaan kegiatan yang bernama Kemah Kerja Ilmiah (KKI) Komisariat Rabbi, dengan tema Bangkitlah Menjadi Taruk Bagi Bangsa dan subtema Memperjuangkan Solidaritas Kemanusiaan dan Demokrasi Substansial Menuju Indonesia Yang Berkeadilan dan Bermartabat, dibuka pada malam harinya dengan ibadah yang berlangsung di Gereja Paulus Tuasene. Pada kesempatan itu hadir beberapa senior dari So’e, salah satu diantarannya Bung Yefta Mella. Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu penyuluhan pertanian dan kesehatan, pelatihan silabus bagi para guru, diskusi managerial organisasi, kerja bakti dan sebagainya.
Dalam seremoni pembukaan KKI, Kepala Desa Tuasene, Abed Nego Engo berharap agar kehadiran kami dapat memberikan sesuatu yang berarti bagi masyarakat setempat. Menyambung dari itu, Ketua Komisariat Rabbi, Usi Yuli Manukale mengatakan bahwa kami sebagai mahasiswa membutuhkan kehadiran masyarakat untuk melayani mereka. Sementara itu Bung Yefta Mella berharap kepada kami untuk belajar dari masyarakat. Bung Ketua Cabang pun meminta agar menjadikan Tuasene sebagai rumah kami sendiri.
Selamat pagi Tuasene. Udara yang dingin membuat kami masih meringkuk di balik selimut dan terpaku di atas bentangan karpet biru namun akhirnnya dibangunkan untuuk ibadah pagi dan persiapan untuk hari pertama.
Kegiatan hari ini yakni kerja bakti bersama masyarakat menimbun jalan yang berlubang. Sore harinya pertandingan bola kaki dan selanjutnnya kami pergi melayati istri staf desa yang meninggal dunia. Oh iya, ketika melayat dalam kondisi udara yang dingin, Usi Yuli Manukale, Ketua Komisariat Rabbi (FKIP Undana) mendapat jatah selimut dari seorang pemuda Tuasene. E..hemm! Cuma berdehem saja ya.
Di hari kedua KKI ini, diadakan penyuluhan peternakan dan penyuluhan tentang penyakita malaria. Rupanya partisipasi masyarakat dalam KKI tidak begitu menggembirakan. Bung David Natun (senior member), Bung Ebets Masu (konsultan BPC), Bung Patje (Ketua Cabang), Usi Dewi Sombu (Kabid Organisasi) dan beberapa yang baru tiba dari Kupang, bersama kami membahas penyebab minimnya partisipasi masyarakat dalam KKI. Apa karena mereka sibuk mengurus sawah? Silahkan SMS dan tanyakan kepada Kepala Gerakan. Ha ha ha!! Menyinggung soal HP, desa ini memiliki semacam hot spot di tengah sawah yang terletak dibelakang kantor desanya untuk membantu teman-teman yang memiliki HP dan mau menelpon atau ber-SMS. Sinyal HP sepertinya hanya bisa diperoleh jika berada di kawasan persawahan. Siapa yang mau berkomunikasi menggunakan HP, silahkan pergi ke tengah sawah dan mengacungkan HP-nya. Wah! Teman-teman kadang pergi ke seputaran sawah bersama-sama untuk mendapat sinyal sehingga di sekitar situ menjadi ramai mendadak. Yah! Tidak apap-apa kan mencari sinyal sambil mengusir burung pengganggu padi petani. Ha ha ha!!!
Memasuki hari ketiga, walaupun kedinginan terus mengigilkan kami namun semangat terus mengobarkan semangat untuk bekerja. Hari ini diadakan diskusi managerial organisasi yang dipimpin Bung David Natun. Setelah itu dilanjutkan dengan penyuluhan pertanian. Ketika mau melatih petani untuk membuat pupuk bokasi, eh! masyaraka sudah tau.
Malam minggu di Tuasene di isi dengan Kebaktian Penyegaran Iman (KPI). Dalam KPI ini derefleksikan kata taruk. Kita sebagai taruk diharapkan untuk membawa nuansa baru di semua medan layan. Sehabis KPI bukanya langsung tidur tetapi masih berdiskusi dengan pemuda setempat yang kebanyakan laki-laki. Katanya perempuan di desa itu dilarang berkeliaran di luar rumah. Memang benar sejak hari pertama tiada bunga desa yang nongol.
Setelah mengikuti ibadah bersama jemaat, kami membereskan barang-barang untuk pulang. Dalam ibadah perpisahan di kantor desa, Kepala Desa meminta maaf atas dukungan yang tidak maksimal dari masyarakat. Ketua Komisariat pu meminta maaf atas kekeliruan yang telah kami lakukan selama beberapa hari di Tuasene.
Sebuah truk dan bus lalu membawa kami meninggalkan Tuasene, miniature suku Rote menuju Kupang. Selamat berpisah Tuasene. Terima kasih karena di sinilah saya mempunyai banyak teman baru dan mengawali proses belajar di wadah ini

Air Kembang Satu Rupa

“dari rumah biru ada, goresan biru pada karpet biru
tentang derasnya darah biru di bawah langit biru”
(untuk semua rekan-rekan sepergerakan di segala penjuru)

Rabu, 13 Desember 2007
Satu per satu nama kami dibacakan Bung Sekretaris Cabang GMKI Kupang periode 2006-2008, Bung Yerianus Riwu Hadjo. Dengan langkah pasti kami maju ke hadapan Ketua Cabang, Bung Patje Tasuib yang tampil gagah dengan batik necisnya. Tangan kami dipegang lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi air setelah itu kembali duduk. Seremoni tersebut sebagai symbol bahwa kami yang berjumlah 361 orang sudah terlantik menjadi anggota baru GMKI Cabang Kupang yang telah mengikuti masa perkenalan beberapa waktu lalu. Sayangnya, ada anggota baru yang tidak mengikuti pelantikan itu.
Acara pelantikan yang berlangsung di gedung kebaktian Jemaat Talitakumi Pasir Panjang, Kota Kupang diawali dengan ibadah singkat oleh seorang petugas. Dalam khotbah yang diambil dari Galatia 1:11-19 tentang pemilihan dan penugasan Rasul Paulus, ada satu hal yang saya garisbawahi yaitu kita harus mencerminkan nilai Kristiani dalam mewujudkan syalom Allah di muka bumi ini. Kita juga diutus untuk orang lain sehingga harus rela berkorban.

Pada kesempatan itu, Om Theodorus Laudesi yang mewakili kami anggota baru di atas podium, mengatakan bahwa masalah orang lain–di medan layan juga merupakan masalah kami juga. Acara pelantikan ini hendaknya bukanlah seremonial belaka tetapi hendaknnya dimaknai demi gerakan kita.
Sebagai penguatan bagi kami anggota baru, Bung Ebets Ndoeka, senior member yang berkesempatan hadir, mengatakan bahwa 361 anggota baru yang dilantik merupakan asset Negara terutama asset Tuhan Yesus, sang Kepala Gerakan. Dalam ber-GMKI, sering terjadi tabrakan antara studi dan organisasi sehingga harus ada manajemen yang baik dan juga pengorbanan. Usia muda ini hendaknya dimaksimalkan untuk belajar di organisasi ini seperti memimpin rapat, memberikan sambutan dan sebagainya. Jangan sampai setelah tamat kuliah diangkat menjadi Ketua RT lalu sambutan Lurah misalnya didisposisikan ke Ketua RT tetapi tidak bisa membawa sambutan. Ha ha ha . . . . !!!
Beliau pada kesempatan itu juga mengkritisi kami yang tadinya sangat terlambat memulai acara ini dan banyaknya anggota baru yang sudah buruan kabur sebelum acara selesai. Maklum saja, sudah malam jadi mungkin takut tidak mendapat angkutan kota untuk pulang ke rumah.
Suntikan semangat bergerakan yang terakhir dating dari Bung Patje yang mengharapkan adanya komitmen kami dengan organisasi terutama komitmen kepada Kepala Gerakan. Tiga hal yang ditegaskannya yaitu rendah hati, hadirlah untuk orang lain dan kepada BPC serta Pengurus Komisariat, tulisilah anggota baru ini yang ibarat kertas putih.
Asyik juga acara pelantikan yang berlangsung di gedung gereja yang cukup megah ini. Apalagi banyak Usi cantik-cantik dari komisariat yang lain. Siapa tahu ada yang bisa ditembak nih sekaligus mewujudkan plesetan GMKI – Gerakan Mencari Kekasih Idaman. Ha ha ha . . .!!! Sayangnya tidak bisa melirik Usi-Usi ini karena saya duduk bersama teman-teman Komisariat Rabbi di kursi terdepan. Tidak enak kalau harus terus menengok ke belakang kan? Yah! Curi pandang saja.
Satu kesempatan yang saya sia-siakan dalam momentum ini yakni saya tidak meraih kesempatan untuk membawa sambutan mewakili anggota baru padahal sebelum acara pelantikan dimulai, Om Jhon Liem, Sekfung Kader sudah menawarkan kesempatan bagi kami. Ketika Om Jhon menanyakan kami, siapa yang bersedia membawa sambutan nanti, semua diam. Saya bersedia membawa sambutan itu tetapi masih malu-malu ancungkan jari akhirnya Om Theodorus Laudesi lebih dahulu menyatakan kesediaanya.
Oh iya, ada satu cerita yang hamper terlupakan. Ketika acara sudah hendak berlangsung, bendera Merah Putih dan bendera GMKI belum terpasang karena tidak ada tiang bendera. Saya bersama Om Engki Pobas pergi ke secretariat untuk mengambil tiang bendera tetapi tidak ada. Akhirnya, jalan pintas dianggap pantas. Pipa-pipa di samping gereja kami manfaatkan saja. Tinggal mengambil bekas pot bunga, mengisi pasir lalu menancapkan kedua bendera. Beres bos!
Aduh! Sudah kelaparan nih karena tadi habis kuliah pukul 15.00 Wita langsung menuju gereja. Tenang saja! Kan setelah acara pelantikan pasti ada acara makan-makannya to. Teman-teman yang pulang lebih dahulu ternyata membuat jatah pisang rebus kami cukup lumayan. Tinggal olesi dengan sambal dan. . . . nyam! nyam! nyam! mmm!
Eh! Mengapa judul cerita ini kembang satu rupa?
Air yang dipakai untuk membasuh tangan anggota baru itu kan dicampur kembang tapi bukan kembang tujuh rupa. Hanya satu rupa saja. Tadi kan saya dengan beberapa teman yang mengambilnnya diseputaran gereja. Kalau kembangnya tujuh rupa, dikuatirkan waktu pembasuhan tangan, anggota baru tidak membasuh tangan saja tetapi malah mandi kembang. Lagi pula kan kita satu rupa.
Ha ha ha . . . !!!
Bangkitlah menjadi taruk bagi bangsa! Syalom.

Catatan : di GMKI Cabang Kupang, gelar Om atau Bung dipakai untuk menyebut laki-laki sedangkan gelar Usi dipakai untuk menyebut perempuan dan gelar Ma’ atau Mama untuk senior perempuan.

Rotanisme dalam Pendidikan

Tanggal 18 Juli 1994, hari yang bersejarah bagi saya dalam meniti setapak-setapak pendidikan menuju gerbang masa depan nan gemilang. Hari itu merupakan pertama kali saya menginjakan kaki di dunia pendidikan formal pada tingkat sekolah dasar di sebuah sekolah negeri, di Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Jangan pernah menanyakan apakah saya sudah tamat TK? Di pinggiran kota tidak ada TK. Enam tahun mengurung jiwa di lembaga pendidikan ini menyisakan relief-relief tragis dan sadis jika disyairkan dari kebeningan mata seorang bocah.
Sekolah kami yang katanya sekolah negeri ini lumayan ngeri. Dua gedung sekolah yang berdampingan memandang ke arah terbenamnya matahari. Gedung di bagian kiri berdinding tembok dengan jendela-jendela berkawat kasa ini memiliki tiga ruang belajar, satu ruang sempit berukuran 2 m2 sebagai tempat buku-buku, peralatan olahraga (bola tennis dan kayu pemukulnya serta bola voli dan jaringnya), dan tempat kotak P3K. Ruang sempit itu juga menjadi markas guru olahraga kami. Ternyata ruang kecil itu namanya ruang UKS. Ruang UKS?
Di tiga ruang kelas tersebut meja dan kursi cukup tersedia tetapi terkadang kami harus duduk tiga orang dalam satu bangku sepanjang 1 m lebih. Di belakang meja guru terdapat sebuah lemari kuning pucat tempat menaruh buku semua mata pelajaran yang dibagikan kepada setiap siswa ketika pelajaran itu akan mulai. Setelah itu buku – buku itu dimasukan kembali ke lemari. Kadang-kadang kami membawa pulangnya ke rumah.
Langit-langit tiga ruang belajar itu dari pelepah nipa yang disatukan. Pada salah satu ruangan, langit-langitnnya ditopang dengan dua potong bambu karena nyaris roboh.
Tiga ruangan tersebut untuk kelas IV, V dan VI sedangkan tiga kelas I-III dan ruang guru berada di gedung tua. Di gedung tua berdinding bebak itu sebuah ruangan persegi panjang semacam aula disekat dengan triplek menjadi tiga kelas. Plafonnya jangan ditanyakan lagi. Cukup ramai juga kalau setiap pagi kelas I-III belajar, apalagi belajar mengeja atau menghafal perkalian. Wah! Gaduhnya luar biasa bagai pasar. Setiap pagi teman-teman yang bertugas haruslah rajin-rajin menyiram lubang-lubang di lantai yang berdebu. Gedung ini sungguh memprihatinkan. Memasuki awal tahun 2006, gedung usang beruang empat ini dibongkar dan dibangun gedung parmanen namun sayangnnya gedung sekolah baru itu hanya memiliki tiga ruangan. Sejak itu sampai sekarang para siswa harus belajar sambil berantrian memakai ruang belajar. Waktu kelas I melaksanakan proses pembelajaran, kelas II menunggu sambil belajar di lopo yang berada di depan sekolah. Setelah kelas I pulang sekolah sekitar pukul 10.00 Wita barulah kelas II belajar di ruang kelas.
Sekalipun kondisinya demikian, saya dan teman-teman yang kebayakan dari golongan menegah ke bawah, larut dalam kekanak-kanakan kami. Berkejar-kejar di halaman sekolah, bermain lompat tali, perang-perangan dan sebagainnya. Kami tak hiraukan derita itu. Manalah mungkin ubun berkencur seorang bocah ingusan bisa merengek tentang itu? Yang penting ceria bersama teman-teman. Teman-teman yang kumal dan bau. Bukan olokan tapi ini kepolosan anak lugu. Teman-teman sekolah yang kebanyakan berasal dari keluarga petani miskin menggoreskan sebuah warna hidup di hati. Setiap pagi, ada yang terengah-engah datang ke sekolah, berjalan kaki menyebrangi kali dan mendaki bukit. Waktu bangun pagi mungkin mamanya hanya memanaskan jagung dingin sisa sarapan semalam untuk makan paginya atau menghidangkan ubi rebus dan air putih. Mungkin tidak sempat mandi karena sumber air terlalu jauh. Yah! Dari pada repot, pakai seragam sekolah kumal yang tak kenal setrika dan go ………!!! Seragam sekolah itu sudah kumal, kotor lagi. Belum lagi disempurnakan bau keringat. Melihat banyak siswa yang tidak mandi, Kepala Sekolah memerintahkan agar teman-teman yang tidak mandi diringkus ke kamar mandi milik sekolah untuk dimandikan. Byuurrrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!
Banyak anak sekolah yang tidak menggunakan alas kaki. Paling-paling mereka hanya memakai sandal jepit, termasuk saya. Kalau memakai sepatu itu hanya untuk mengikuti upacara bendera. Teman-teman yang tinggal jauh dari sekolah cukup kesulitan jika musin hujan tiba, apalagi yang berada di seberang kali. Di musim hujan, mereka sering berteduh daun pisang, melindungi buku tulis dalam kantong plastic dan tanpa sepatu datang ke sekolah dengan pakaian sedikit basah.
Keceriaan yang meluap-luap di tengah serunya menjalani masa anak-anak bersama pucuk-pucuk muda ini, dirobohkan “rotan” para guru. Sedikit kesalahan dilakukan bisa membuat pantat berasap karena tebasan rotan. Jika tak ada rotan yang terayun, telapak tangan sang guru pun bisa ringan terayun di pipi mungil kami. Rotanisme di sekolah kami ini membuat kami menganggap guru sebagai momok yang menakutkan. Ketakutan itu pun terbawa hingga di luar jam sekolah. Pada suatu ketika, saya dan teman-teman sedang bermain kelereng di halaman tetangga, tiba-tiba ada guru yang kebetulan lewat. Kami semua lari tunggang langgang untuk bersembunyi. Berani tetap bermain, bahaya bro!
Saya sendiri pernah merasakan sekitar tiga tebasan gagang sapu ijuk yang terbuat dari sebatang bambu. Waktu itu karena tidak mengikuti Sekolah Minggu (ibadah pada hari minggu di sekolah khusus anak-anak) keesokan harinya, setelah ibadah pagi, kepala sekolah dengan sekali gertak, kami yang tidak mengikuti sekolah minggu, maju dengan muka muram dan jantung yang berdebar-debar menanti giliran rotan mendarat di dua belah pantat.
Tidak hanya rotan yang mencengkram menakutkan tetapi tindakan guru yang menyita permainan kami juga telah merebut keceriaan seorang anak. Beberapa kali permainan seperti gasing yang dibuat dari buah-buahan, kelereng, karet gelang dan gambar-gambar undi disita guru. Anehnya sitaan itu dibawa pulang ke rumah sang guru.
Hati-hati kalau nakal! Suatu hari, waktu itu saya duduk kelas V, saya bermain tinju-tinjuan dengan adik kelas. Tanpa sengaja dahinya terbentur ke batu dan berdarah. Apeslah sudah nasib ini. Sesudah diadili seharian di ruang guru, saya disuruh menuliskan kalimat Saya tidak akan berkelahi lagi sebanyak 1000 kali. Tidak selesai di sekolah, lanjutan di rumah lagi. Menulis seribu kalimat sampai mabuk.
Nasib naas yang unik pernah dialami beberapa teman. Suatu kali ada seorang kakak kelas, Simson, membawa kue bendera untuk berjualan di sekolah dan mungkin sibuk mengurus jualannya itu di kelas, dia ditangkap sang guru, dibawa ke depan kelas lalu . . . dia dipaksa melahap habis kue-kue itu. Yo o o . . .! Makan yang lahap ya! Ha ha ha!!!!
Ada juga yang pernah diiberi sanksi mengantung kardus bertuliskan Saya tidak akan berbahasa daerah, di lehernya sepanjang jam sekolah. Makulumlah, kami sering memakai bahasa Dawan di sekolah sehingga sulit berbahasa Indonesia.
Setiap pagi kami harus rajin-rajin ke sekolah. Kalau alpa ke sekolah. Tau sendiri akibatnya. Dijemput oleh Hansip dengan tongkat hitamnya lalu orang tua harus membayar si Hansip itu. Saudari sepupu saya pernah terlibat aksi kejar-kejaran dengan Hansip ketika dia harus dijemput paksa ke sekolah. Selain rajin ke sekolah, kami juga harus rajin-rajin menhafal perkalian dari 0-10 (ketika di kelas II dan III). Kami yang tidak bisa menghafal perkalian dihukum berdiri satu kaki sambil memegang kedua telinga lalu belajar menghafal perkalian. Lebih parah lagi kalau kami harus berdiri di atas bangku atau meja belajar.
Satu kenangan menyedihkan adalah ketika saya bersama teman-teman mengikuti lomba menyanyi dalam rangka perayaan HUT RI. Di atas panggung saya hanya sekedar membuka mulut tetapi tidak bersuara karena memang sudah tidak bisa bernyanyi, seni ini tidak disukai lagi. Namun jika saya membangkang, tau sendiri akibatnnya. Sekolah kami sering mengikuti lomba hingga mengoleksi banyak piala namun anak yang mengikuti lomba mungkin dibawah ancaman rotan. Mengembangkan bakat dan potensi kami, janganlah kau tanyakan karena ini masih membuat saya iri kepada anak-anak SD sekarang ini yang selalu mengekspresikan bakatnnya di atas panggung. Kegiatan ektrakurikuler juga merupakan hal langka di sekolah kami. Sekalipun kami selalu berseragam Pramuka namun itu hanyalah sebatas pakaian. Pernah ada guru olaraga kami yang rela membina kami tentang kepramukaan, melatih kami tentang bela diri dan atletik namun sayangnya tidak berlangsung terus
Semasa duduk di kelas IV- kelas VI, kami mendapat program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Makanan tambahan? Setiap hari hanya diberi sepotong kue dalam sekali kunyah dan segelas teh. Setelah dihibur dengan kue dan the kami lalu bernyanyi “…terima kasih bapak presiden , ibu PKK yang menyiapkannya, bila aku berhasil jadi orang berguna, tak kan kulupakan jasa guruku” Dan tulisan ini sebagai ungkapan terima kasih atas jasa guru yang telah merenggut keceriaan masa kecil kami dan membekaskan sebuah ketakutan di mata bening tiap anak didik.

Tepa di Bok

Co dengar do! Su barap kali a, be deng bemo Oesapa pi Kupang ato dar Kupang bale pi Oesapa. Turun-turun di Pohon Duri situ, yang lewat Pertamina di kilo tuju situ ato di ujung jambatan panjang Oesapa yang ada bok tu, Polisi Lalu Lintas dong ada tilang-tilang motor dong di situ. Dong pu tampa tilang satu di deka kuburan Kelapa Lima situ. Dong tilang ju di bok lai. We, kadang orang yang bawa motor ato ana ojek dong yang lewat situ, kan jalan menurun ato bok to jadi dong son dapa lia polisi dong. Yang bawa motor ni lari kicang-kicang bar bok tidor lai. Kaget bagini ju Lantas su di depan. Kalo son ada surat-surat ato son pake helem, mo lari karmana o. Manyara su ma. Ada doi lim pulu atao dua pul lima bagitu bae, ma kalo son ada na nanti bar pi ame motor di Resta sana. Kalo son ada surat-surat deng SIM ato son pake helem na jalan mus lia-lia te dong biasa tapele di bok na. Jang barani bilang mo lari te dong su pasang memang Lantas sat orang ko buru orang yang lari. Be parna lia itu di waktu dong tilang di Kelapa Lima sana.
Tau kanapa e ko dong paling suka tepa di bok sa? Pasti dong mo tapele to supaya orang yang son ada helem ato SIM na kana tangkap. Batul ko? Bilang sa, ho. Itu namanya jebak orang to? Kola maen tepa di bok tu bahaya o. Orang lari pelor bar bok tidor lai bisa lari nae it Lantas dong yang tilang di situ. Kalo su bagitu, Lantas mo nae di sapa o? Banae su ma karna orang ju bisa bela diri to. Masa’ tilang di bok.

Supaya Apa?

Awe, kitong di eNTeTe ni sakarang ada foe deng pemekaran daera o. Bar-baru ni Sabu-Raijua bar jadi sat kabupaten yang tapisa dar Kabupaten Kupang to. Be baca di korang dong bilang Andonara yang di Flores Timur, Mollo deng Amanatun yang di Timor Tenga Salatan, tamba lai deng Malaka yang di Belu tu ada baomong ko mo beking ame sat kabupaten lai.
Ko kas pica ni daerah banya-banya supaya apa? Be dengar biasa omong to bilang supaya kas deka pamarenta pu pelayanan deng kitong masyarakat. Dan memang batul, slama ni ada masyarakat yang jao dar kantor-kantor pamarenta jadi mo urus apa stenga mati. Yang batul sa o! Jang sampe su jadi kabupaten sandiri ju bukan kas deka pelayanan ma kas deka kantor bupati sa. Yang paling para tu kalo sampe kas mekar ni daerah dong ko hanya mo jadi bupati sa ato dapa jabatan enak. Tau to, orang biasa omong di muka bilang bela kitong orang kici ma di blakang ni ju macam ke ular. Dia cum kejar doi deng jabatan sa untuk dia pu pribadi. Bisa ju karna dia kala waktu pili bupati ko dia bentuk ame sat kabupaten ko dia bis jadi bupati.
Kalo mo beking kabupaten baru, be rasa tolong ko sadar a! Mo beking kabupaten baru supaya apa? It tampa ada apa sa? Dia ada hasil alam ko sonde? Ada orang-orang pintar di situ ko sonde? Pokonya pikir ais mus pikir tamba lai te bahaya tu bro! Jang sampe beking ais it kabupaten ju orang miskin tamba banya’, son ada ruma yang bae untuk kantor-kantor dong, jalan lobang-lobang bar barang yang dijual ko ada APeBeeD. Tarakhir ju it pejabat ato orang pamarenta dong dapa doi ena-ena’ ma kitong orang kici bodo ni stenga mati.
Be kadang ke lucu e, lia ni orang dong foe deng in barang. Dong mekarkan sat eRTe jadi sat desa, sat desa jadi sat kecamatan, sat kecamatan jadi sat kabupaten, sat kabupaten jadi sat propinsi. Kalo be yang ke dong a, untu apa mekarkan bagitu? Sekalian mekarkan jadi propinsi ato paling enak beking satu eRTe jadi negara sendiri sa biar puas dapa jabatan to.

Jalan Dong Son Batul

Sat hari bagitu kalo ada waktu na jalan-jalan pi Kupang do. Nae bemo ato ada motor na gonceng bawa mai tua ko maen-mean di Tedy’s situ. We, talalu rame bro! Apalai kalo malam minggu. Manusia ni macam ke semut makarubu ame ni gula. Bemo dong deng bunyi tep pung-pang balari pi datang ko cari penumpang. Toko-toko batingkat yang kitong lia macam ke gardus lapuk batumpuk ni, bajejer rapat mati pung di jalan Siliwangi pu pinggir-pinggir. Ruko yang di pinggir pante ni tagantong sa di atas batu. Bar-baru ni satu bar robo. Kalo su sore bagitu, toko dong su buka ais itu manusia su mulai datang ko balanja. Ada yang deng dia pu mai tua ko bagepe di pante Tedys situ ko lia matahari tenggelam sambil makan jagung bakar. Awe! son omong ma di jalan Siliwangi yang kici ana sa ni manusia tapo’a. Su bagitu ju motor deng oto dong parkir ena’-ena sa di jalan bar bemo dong bajalan pi datang. Bolom lai ko ada orang bajual di trotoar di muka toko dong. Kitong jalan ni mo sili oto ko mo sili manusia?
Kitong lia ame ni manusia deng oto dong tamba lai deng penjual di pinggir jalan situ macam ke kotoran yang mangalir di kali Oeba’.
Mo bilang le? Kitong andia bagitu su. Bar-baru be dengar ju pamerenta Kota Kupang mo reklamasi tu pante dar Tedys sampe Pante Timor. Tau apa tu e? Eh! Ta’ usah pusing deng itu do. Itu pamarenta pu urusan. Ma bagini dong pu cara? Bar-baru sa bap tua Wali Kota ada suru itu orang dong ko bajual di Jalan Garuda ko apa ko. Pokonya yang di situ su. Kalo su sore ni it jalan dong su palang pake ban. Orang dong mulai tola dong pu kareta ba’so ko pi bajual di situ. Bemo yang mo lewat situ musti putar nae lewat jalan kici satu di situ ko tembus di samping gereja Kristus Raja. Ais itu bar lurus turun pi Oeba. Dong palang ni jalan beking kitong jalan mas baputar kiri kanan lai. Co bagitu sa mas bae. Ni sonde, tu jalan belok nae ni talalu sempit sampe beking oto dong basesak di situ. Kadang amper batabrak.
Tartau kanapa e ko tu jalan bisa tutup ko pake bajual di situ. Kitong sama ke su miskin tana sa. Bajual bukannya di pasar ato di dia pu tampa ma pi bajual di jalan lai. Tu jalan aspal kan untuk oto ato motor lewat situ to.
Be heran e! Biasa Pol PePe dong usir orang yang bajual di trotoar ato pinggir jalan karna bilang langgar atoran. Tau-tau pamarenta sandiri yang parenta tutup jalan ko bajual. Su karmana ni? Neu ator sa. Ma ator tu yang enak sa o! Be dengar bilang mo tutup jalan El Tari Satu le yang depan kantor gubernur tu. Karmana na tutup jalan samua su.
Omong-omong tentang jalan ni, be bar inga e. Be deng be pu kawan ko jalan kaki dar Naikoten sampe Tedys situ. Sepanjang jalan ni, be lia orang parkir bagit-bagitu sa di pinggir jalan dong. Su bagitu ada yang beking emper toko ato taro dia pu jualan dong di trotoar situ. Macam ke dia pu nene moyang pu trotoaar sa. Ho, be talalu jengkel e. Trotoar sonde jelas ju. Be sampe piker bilang ni artinya pamarenta sonde hargai kitong yang biasa jalan kaki. Kalo di kota-kota di nagara maju dong tu, su kas pisa oto pu jalan, sapeda pu jalan deng orang jalan kaki pu jalan. Ma di Kupang ni, jangankan trotoar, oto pu jalan sa son batul.
Bosong tanda be pung omong ni e! Barap taon lai jalan yang dar Kuanino sampe jalan Siliwangi ni nanti macam ke got yang sesak deng kotoran. Dia pu macet ni nanti macet yang nyeri mati pung.
Ni masala memang ada jalan kaluar ma kitong urus bajalan sa sampe otak son jalan sampe yang jadi hanya jalan-jalan di tampa sa.
Ha ha ha . . . !!!