Senin, 21 Desember 2009

Herodes vs Yesus Menuju Pilkada 2010

“Politik bukan alat untuk mendapatkan kekuasaan melainkan etika untuk melayani”
(Johanes Leimena)
Di bulan Desember ini terdengar kidung-kidung Natal menggema di mana-mana. Petasan acap menyeramakan setiap hari dengan desingan dan dentuman. Pernak-pernik Natal di pedagang kaki lima sampai supermarket-supermarket pun laris manis. Suasana ini merupakan corak Natal yang kita jumpai tahun. Natal yang kita rayakan di tahun 2009 ini semakin semarak karena berbarengan dengan tapakan-tapakan dini menuju Pilkada 2010 di delapan kabupaten di NTT yaitu Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, Sumba Timur, Sumba Barat, Timor Tengah Utara dan Sabu Raijua. Seperti yang kita ketahui, di kabupaten-kabupaten tersebut sudah tampak denyutan-denyutan politik menuju Pilkada 2010. Beberapa tokoh masyarakat, politisi dan pejabat pemerintah mulai mengungkapkan tekadnnya untuk bertarung menjadi pemimpin. Ada yang sibuk mencari pasangan yang ideal sebagai pendamping, ada juga yang sibuk menawarkan diri sebagai pendamping dalam pertarungan pada Pilkada 2010. Di beberapa daerah bahkan para calon Bupati sudah melamar ke partai yang dipilihnya sebagai kendaraan politik.
Mengawali hajatan-hajatan politik yang klimaksnya pada sepanjang 2010, kita sebagai keluarga Flobamora, simpatisan kandidat pemimpin, pengurus partai, tim sukses dan bakal-bakal pemimpin, hendaknya bercermin dan terus bercermin dengan peristiwa Natal ini. Dalam Natal ini ada dua hal yang perlu dicopot sebagai pelajaran ketika mengawali, menjalani dan mengakhiri Pilkada 2010 yaitu kedatangan seorang pemimpin (Yesus) yang membawa pembebasan bagi dunia dan kegusaran seorang pemimpin (Herodes) mengahadapi “rivalnya”.
Kelahiran Yesus sudah dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya. Nubuatan para nabi itu tentang kebangkitan seorang yang akan memimpin Israel (Kitab Mikha pasal 5 ayat 1), kelahiran seorang anak yang disebut sebagai Raja Damai dan kekuasaannya tidak akan berkesudahan (Kitab Yesaya pasal 9) dan kedatangan raja yang adil, jaya, membawa damai dan wilayah kekuasaannya dari ujung bumi sampai ujung bumi (Kitab Zakharia pasal 9). Kehadiran Yesus membawa sebuah harapan bagi bangsa Israel pada waktu itu yang berada dalam himpitan-himpitan kesulitan hidup. Catatan pelayanan Yesus dalam Injil-Injil menjadi bukti di mana Yesus memberikan harapan yang besar bagi bangsa Israel dan semua umat manusia. Orang-orang miskin dibela Yesus, orang sakit disembuhkan dan orang lemah dikuatkan. Selain memberikan pelayanan yang praktis, Yesus juga menaburkan ajaran-ajaran kasih dengan penuh kebijaksanaan bagi banyak orang dan mendobrak tradisi yang keliru. Akhir dari pelayanan Yesus di dunia yaitu penebusan dosa manusia melalui pengorbanan-Nya di atas salib.
Kelahiran Yesus sebagai Raja dengan kekuasaan wilayah kekuasaan yang tidak terbatas rupaya menyebabkan sebuah kekagetan bagi Herodes yang sedang berkuasa pada waktu itu (Injil Matius pasal 2 ayat 3). Kekagetan itu meningkat menjadi sebuah kekuatiran ketika mengetahui bahwa Yesus yang lahir merupakan jawaban atas nubuatan para nabi. Hal ini terlihat dari dikumpulkannya para imam kepala dan ahli Taurat oleh Herodes untuk dimintai keterangan terkait kelahiran Yesus, permohonan kepada para orang majus untuk menginformasikan keberadaan Yesus serta pembantaian anak-anak di Betlehem (Injil Matius pasal 2). Herodes pasti berpikir bahwa Yesus akan mengkudetanya dari kursi raja hingga Herodes kehilangan jabatan dan wilayah kekuasaan. Apa yang Herodes lakukan merupakan sebuah upaya memproteksi kekuasaannya atau posisinya dengan kekerasan.
Dua tokoh dalam Natal ini—Yesus dan Herodes dengan karakter dan tindakan mereka kiranya menjadi referensi berarti dalam Pilkada 2010 yang sudah bergema. Sama halnya dengan visi dan misi Yesus, para calon kepala daerah sering mengoar-ngoarkan keberpihakan pada rakyat dan bertekat membangun daerahnya. Progam-program kerja yang ditawarkan sangatlah heroik membela rakyat kecil misalnya pembebasan biaya sekolah bagi siswa dari keluarga miskin. Apakah itu adalah sebuah tekad yang tulus ataukah hanya retorika belaka untuk meluluhkan hati rakyat dan mendapat suara sebanyak-banyaknya? Perlu dicatat oleh para calon-calon pemimpin di delapan kabupaten bahwa masyarakat setempat membutuhkan seorang pemimpin seperti Yesus yang memberikan harapan dan memberikan pembebasan. Mereka yang mencuatkan diri sebagai calon pemimpin hendaknya bisa membebaskan masyarakat dari kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan, ketertinggalan, dan selaksa masalah yang kian mencekik batang leher.
Ketika memiliki niat mulia untuk membangun masyarakat dan daerah, siapa pun yang menjadi calon pemimpin dalam Pilkada 2010 hendaknya mewaspadai para ‘Herodes’ generasi baru. ‘Herodes’ dimaksud adalah calon bupati atau calon wakil bupati yang kuatir bahkan takut dengan kemunculan kandidat yang lain. Kekuatiran dan ketakutan itu menyangkut peluang yang akan diraih semakin kecil. Misalnya, ada dua kandidat bupati yang melamar sebuah partai untuk mengusungnya dalam Pilkada, pasti hanya satu yang diterima dan yang satunya akan merasa ‘terancam’. Dalam kondisi demikian, saling menjegal di antara kandidat bukanlah kemustahilan. Pada pelaksanaan Pilkada, saling menjegal, mencari-cari kesalahan lawan politik, kampanye hitam dan tindakan anarkis lainnya yang tidak mencerminkan kedewasaan berdemokrasi sering terjadi. Hal ini sudah kita saksikan pada berbagai pesta demokrasi di seluruh penjuru tanah air dan bisa saja terulang pada berbagai Pilkada di NTT pada tahun depan. Salah satu penyebabnya sama seperti apa yang dialami Herodes yaitu kuatir dan takut jika lawannya akan lebih banyak mendapat dukungan sehingga keberadaannya terancam, peluangnya untuk sukses dalam Pilkada hanya sedikit hingga akhirnya tidak berhasil mendapat jabatan sebagai bupati atau wakil bupati.
Pada penyelengaraan Pilkada 2010 yang sekarang sudah mulai bergelora, pasti ada figur yang berniat membawa perubahan dan pembebasan bagi masyarakat dan daerah. Semoga saja itu adalah sebuah ketulusan yang akan nyata dan dirasakan oleh kita semua. Kemunculan pihak lain dalam pertarungan di Pilkada hendaknya tidak dipandang sebagai penghambat meraih jabatan dan kekuasaan melainkan kompetitor yang mengobarkan kematangan berdemokrasi untuk muwujudkan pelayanan kepada masyarakat merata material dan spiritual. Kiranya Natal menjadi terang bagi tapakan-tapakan awal menuju Pilkada 2010. Syalom!

Tiga Buah Mangga

(Refleksi Tentang Pembentukan Kabupaten Mollo, Amanatun dan Amanuban)


Bagai benih yang dicurahi hujan, pemekaran daerah di berbagai penjuru tanah air semakin marak apalagi setelah terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejarah mencatat, hingga Desember 2008 saja sudah terbentuk 215 daerah otonomi baru yang terdiri dari 7 propinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota di negeri tercinta ini (http://id.wikipedia.org/). Di NTT, sejak 1996 sampai 2009 terdapat 9 daerah pemekaran yaitu Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Lembata, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Sabu Raijua. Jumlah pemekaran daerah pasti akan terus bertambah seturut dengan bergulirnya waktu dan adanya berbagai upaya pemekaran daerah yang katanya karena aspirasi masyarakat. Upaya pemekaran daerah (kabupaten) di NTT misalnya upaya pemekaran Kabupaten Malaka dari Kabupaten Belu dan Kabupaten Andonara dari Kabupaten Flores Timur.
Selain pemekaran daerah di atas, pemekaran daerah yang cukup fantastis yakni pemekaran Mollo, Amanatun dan Amanuban di Kabupaten TTS, baik yang sedang diperjuangkan maupun yang diwacanakan. Sejak beberapa bulan terakhir ini, tim pembentukan Kabupaten Mollo terus berupaya keras bekerja tahap demi tahap demi mewujudkan apa yang diimpikan. Wacana pembentukan Kabupaten Mollo ini sudah berhembus sejak beberapa tahun lalu namun baru kembali mencuat belakangan ini. Sementara itu, beberapa pihak terkait di Amanatun dan Amanuban juga berusaha memandirikan kedua daerah tersebut. Hal ini ditandai dengan pengukuhan dan pendeklarasian panitia pembentukan serta pernyataan sikap pihak terkait di tiga daerah itu.
Melalui pemekaran Mollo, Amanatun dan Amanuban menjadi daerah yang otonom, pelayanan kepada masyarakat setempat tentu akan lebih dekat dan terjangkau serta pengelolaan potensi Sumber Daya Alam (SDM) dapat dilakukan sendiri hingga meningkatkan pendapatan daerah. Di samping itu, akan ada penyerapan tenaga kerja di daerah otonom baru yang membantu menekan angka pengangguran. Agar tercapainya tujuan mulia dari pemekaran ketiga daerah ini maka syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah), syarat fisik (cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan) dan syarat lainnya sebagaimana diamanatkan dalam PP RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Pengahapusan dan Penggabungan Daerah, perlu menjadi acuan refleksi terhadap apa yang dimiliki ketiga daerah ini agar tidak ada penyesalan di masa-masa yang akan datang.
Satu hal yang harus direfleksikan jua adalah tujuan pemekaran daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban menjadi kabupaten. Apa tujuan pemekaran tiga daerah tersebut? Secara heroik, tentu ada jawaban bahwa pemekaran daerah itu demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menyejahterakan masyarakat dan berbagai alasan lainnya. Jika tujuan pemekaran daerah seperti itu, tidak ada apa-apa namun sangat berbahaya jika pemekaran daerah itu untuk menyediakan jabatan bagi elit pollitik tertentu. Kita tahu bahwa ketika suatu daerah dimekarkan menjadi sebuah kabupaten, di sana tersedia jabatan-jabatan menggiurkan seperti Bupati, Kepala Dinas, Anggota Dewan dan sebagainya. Selain tujuan politis dan kepentingan lainnya, pemekaran daerah juga bisa diinfeksi tujuan untuk membuka lahan korupsi bagi para koruptor. Menurut penelitian Lembaga Percik yang bekerjasama dengan Democratic Reform Suport Program (DRSP), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang cukup besar sebagai dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah juga merupakan perangsang bagi pihak-pihak tertentu untuk menuntut pemekaran daerah (http://percik.or.id/). Jika jabatan, kekuasaan dan uang yang menjadi tujuan pemekaran daerah, niscaya tidak hanya daerah yang dimekarkan namun kemiskinan, koruptor, dan berbagai masalah lainnya ikut dimekarkan.
Jika sudah melakukan refleksi terkait pemekaran tiga daerah ini, apakah daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban yang akan diotonomikan dapat memenuhi syarat fisik dan syarat teknis? Apakah pemekaran ketiga daerah ini terkait dengan kepentingan elit politik untuk berkuasa serta ketertarikan oknum-oknum tertentu pada DAK dan DAU? Pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya direfleksikan berkali-kali demi terwujudnya daerah yang benar-benar otonom dan bersih dari kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Seperti yang dikatakan Sius Ottu dalam lagunya, Upun klu min oni, mofut kais maiti. Maitit kaisa msal. Msalat kaisa’ meku. Meku kaisam olo. Olot mas mahai le’uf (Mangga muda yang manis. Kalau jatuh, jangan diambil. Kalau diambil, jangan dikupas. Kalau dikupas, jangan dimakan. Kalau dimakan rasanya asam). Dalam konteks pemekaran tiga daerah di TTS, lirik lagu dalam bahasa Dawan itu mengisyaratkan agar ketika ada ide pemekaran daerah, berbagai hal termasuk tujuan dan syarat yang harus dipenuhi untuk pemekaran suatu daerah perlu dipertimbangkan. Jika diibaratkan, daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban yang akan dimekarkan adalah tiga buah mangga. Sebelum memakannya (memekarkannya) harus dilihat apakah mangga itu sudah masak atau masih muda. Kalau masih muda janganlah dimakan karena rasanya asam dan akan menyembelitkan perut. Semoga tiga daerah di TTS yang akan dimekarkan tidak seperti mangga muda yang menyembelitkan perut.

Harga(ilah) Diri NTT

(Sebuah Refleksi Dalam 51 Tahun Lepasnya NTT Dari Sunda Kecil )

Waktu yang terus bergulir telah mengantarkan kita di penghujung tahun 2009. Di bulan Desember ini, ada begitu banyak peristiwa yang patut dikenang, dirayakan, direfleksikan dan dijadikan sebagai inspirator kehidupan. Salah satu dari sekian banyak peristiwa tersebut adalah mekarnya NTT dari Sunda Kecil.
Setengah abad lebih yang lalu, NTT adalah bagian dari Provinsi Sunda Kecil yang terbentuk pada Agustus 1950. Sunda Kecil kemudian dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, seiring dengan terbitnya UU No. 64 Tahun 1958 pada 20 Desember 1958. Sejak saat itu, tiap daerah dituntut kemandiriannya dalam menggumuli berbagai gelora hidup yang membara di bumi pertiwi ini.
Dalam kemandirian tersebut, ketiga provinsi ini khususnya NTT sudah banyak menorehkan kesuksesan dalam berbagai bidang. Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa masih ada selaksa masalah yang menjadi batu sandungan.
Pada pengumanan hasil kelulusan beberapa bulan lalu, 12.847 siswa pada jenjang SMA dan SMK tidak lulus serta tujuh sekolah 0%. Pada jenjang SMP, 18.551 siswa tidak lulus dan 10 sekolah 0%. Di NTT juga terdapat 36.533 anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah karena alasan ekonomi, akses ke sekolah dan sosial budaya (Antara/FINROLL News, 26 Agustus 2009). Sementara itu, di NTT terdapat 73% penganggur dari 4,6 juta jiwa. Ironisnya, angka pengangguran ini banyak didominasi oleh para sarjana (Kompas,22 Agustus 2009). Selain masalah di atas, aktifitas penambangan liar oleh masyarakat, khususnya di daratan Timor kian marak akhir-akhir ini hingga memakan korban jiwa. Begitu pula dengan pengiriman TKI secara illegal dari NTT ke Malaysia. TKI selalu diperas, disiksa dan diperdagangkan namun TKI masih terus mengalir dari NTT ke Malaysia. Masalah yang tak kalah kejamnya yaitu gizi buruk yang diderita 100.000 balita di NTT dan terus memakan korban jiwa (Kompas, 22 Agustus 20009), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang selalu terjadi, kemiskinan yang mencapai 23,31% dari 4,6 juta jiwa hingga awal 2009 (http://www.nttprov.go.id/), kasus korupsi oleh para pejabat pemerintah di NTT, sikap konsumtif dan kebarat-baratan serta pengrusakan lingkungan. Beberapa masalah di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak khasanah masalah yang kita miliki. Masalah yang kita miliki ini kemudian disempurnakan dengan label daerah tertinggal untuk NTT. Jika dilihat dari jumlah kabupaten/kota tertinggal, secara nasional, NTT berada di puncak klasemen daerah tertinggal dengan mengoleksi 15 kabupaten tertinggal (Kursor, 11 Desember 2009).
Entah disadari atau tidak, segudang masalah tersebut mengindikasikan kemerosotan harga diri NTT, apalagi kita sampai mendapat gelar sebagai daerah tertinggal bahkan nama NTT diplesetkan seenaknya. Penghakiman ataupun plesetan terhadap NTT menunjukan tidak adanya penghormatan kepada NTT. Bagaimana kita akan dihormati jika kita sendiri tidak menghormati diri dengan cara terhormat? Perlu dicamkan bahwa harga diri merupakan proses intrinsik di mana orang sadar untuk menghormati dirinya dengan cara terhormat sehingga secara alamiah mendapat penghormatan dari orang lain (http://e-psikologi.com). Hal ini berarti bahwa merosot atau menanjak, ada atau tidak adanya harga diri kita tergantung dari bagaimana kita menghormati diri sendiri.
Memang benar jika harga diri kita merosot bahkan tidak ada karena kita sendiri yang tidak menghargai diri sendiri. Sebagai contoh, mutu pendidikan kita dinilai belumlah bagus karena sebagai siswa tidak belajar belajar dengan tekun untuk berhasil dalam ujian, sebagai guru tidak mengajar dengan maksimal dan sebagai pihak yang berwenang belum mengelola pendidikan dengan baik. Jika seorang siswa malas belajar, seorang guru mengajar asal-asalan dan pihak terkait yang berwenang dalam dunia pendidikan belum mengatur pendidikan dengan baik, berarti mereka tidak memiliki harga diri. Hal ini juga terjadi dalam masalah lainnya yang telah dipaparkan sebelumnya. Kita disebut pengangguran berijazah karena setelah mendapat gelar sarjana berharap menjadi PNS dan tidak mau menciptakan lapangan kerja sendiri. Kita sering menambang mangan secara liar dan sering menjadi TKI illegal karena tidak memiliki skill dan pengetahuan yang cukup untuk mencari nafkah serta selalu keras kepala ketika diatur. Kita sering melakukan tindakan amoral karena kita sendiri tidak memiliki watak dan moral yang baik.
Tindakan lain dari kita yang menunjukan tidak adanya penghormatan terhadap diri kita yaitu sikap konsumtif dan kebarat-baratan. Seperti yang disaksikan dan dilakukan sekarang ini, misalnya kita sudah memiliki telepon genggam yang sederhana namun ketika ada telepon genggam dengan fitur yang canggih kita ingin memilikinya. Setelah itu, ada telepon genggam yang lebih canggih lagi dan kita ingin memilikinya tanpa mempertimbangkan asas manfaatnya. Sikap kebarat-baratan seperti meniru gaya hidup, gaya barpakaian dan cara berdandan orang barat tanpa melalui sebuah filtrasi. Lihat saja, akhir-akhir ini kita di NTT selalu menjumpai orang berpakaian serba mini dan nyaris telanjang. Rambut di kepala yang berwarna keriting dan hitam direbonding lalu di-bule-kan. Makanan siap saji lebih disukai dari pada massakan sendiri di rumah. Tarian gong pada peste-pesta sudah diganti dengan dansa. Ini berarti kita tidak memiliki harga diri lagi karena tidak menghormati apa yang kita miliki.
Harga diri ini merupakan sebuah kebutuhan yang utama setiap manusia sebagaimana yang dikatakan Maslow dalam teori hierarki kebutuhan. Jika harga diri adalah sebuah kebutuhan, apakah kita sebagai anak-anak Flobamora sudah berusaha dan akan terus berusaha untuk mendapatkan harga diri kita ataukah justru terus melecehkannya? Dalam setumpuk momentum di akhir tahun ini, khususnya 51 tahun terpisahnya NTT dari Sunda Kecil pada 20 Desember, marilah kita menghargai atau menghormati diri kita sebagai warga dan pemerintah di Flobamora tercinta ini sehingga kita memiliki harga diri. Melakukan suatu perkara kecil secara terhormat demi kehormatan diri berarti kita telah memberikan sebuah kehormatan besar pada daerah kita ini.
Harga diri tergantung dari apa yang timbul dalam sepasang otak, dikerjakan oleh sepasang tangan dan dijejaki oleh sepasang kaki kita lalu disaksikan sepasang mata dan dinilai sepasang bibir orang lain. Hargailah diri kita maka kita pasti memiliki harga diri.

Dialog Itu Indah

Oleh: Gusti Hingmane.
Mahasiswa Undana


Banyak kalangan pesimis bahwa dialog tidak akan mencapai titik temu apabila ide bersebrangan, apalagi berdialog tentang agama yang menghadirkan berbagai agama hal ini bisa-bisa malah menimbulkan perpecahan yang lebih berat lagi. Bahkan mereka masih pesimis masalah intern agama saja belum terselesaikan apalagi memikirkan dialog antar agama? Yang mungkin secara otomatis akan membentur definisi agama yang sebenarnya melekat pada agama itu sendiri (no war), bahkan bisa-bisa meluluhlantakan kesatuan suatu negara seperti Indonesai yang sangat kaya dengan keragamannya.
Berangkat dari realitas keragaman agama (termasuk juga budaya, dan bahasa) yang ada di dunia, menuntut orang harus berdialog sebagai solusi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Hal tersebut diyakini selalu tumbuh dan memberikan makna hidup serta kontribusi bagi pembangunan peradaban dunia. Apalagi sekarang bermunculan tokoh-tokoh besar yang aktif memberikan arahan menghadapi masa depan dunia. Menurut mereka, dunia selalu menyimpan potensi konflik dan tragedi yang mengerikan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Hans Kung bahwa tiada koeksistensi manusia tanpa ada etika bersama antarnegara.
Tidak ada perdamaian di antarbangsa tanpa ada kedamaian antaragama. Tidak ada perdamain antaragama tanpa adanya dialog antaragama. Dari pernyataan ini dapat ditarik benang merah bahwa dialog dari berbagai kalangan khususnya antaragama harus disambut baik dan segerah diwujudkan karena urgensinya jelas, yakni untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia, khususnya umat beragama agar lebih harmonis di dunia ini. Semua agama sebetulnya menginginkan hal yang sama: perdamaian, keadilan, persaudaraan, persamaan derajat, pemuliaan martabat manusia, kemerdekaan, dan sebagainya.
Dialog harus mesti sudah beranjak agar bisa menciptakan suasana”saling berbagi” apalagi agama. Dengan kata lain, diperlukan keterbukaan dan kesediaan mendengar ajaran agama lain, sehingga dapat memperkaya dan memperdalam penghayatan agama sendiri. Namun terdapat beberapa kendala yang menghambat dialog antaragama yang perlu tanggapi secara serius oleh aktivis dialog demi terlaksananya tujuan yang diidealkan, kandala-kandala tersebut seperti yang disodorkan oleh Kompas, 05-08-2000. hal: 4, yakni: pertama, adalah bahwa wacana mengenai dialog hampir secara merata berlangsung di tingkat elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang cukup kepada wacana itu. Kedua, adalah bahwa sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan dialog antaragama kurang begitu "agresif" memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain. Para aktivis dialog antaragama kurang agresif dalam mengampanyekan isu tersebut. Ketiga, adalah kenyataan bahwa sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari pentingnya isu dialog antaragama.
Jalur distribusi ajaran agama di tingkat "eceran" lebih banyak dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai pandangan agama yang konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali terlibat dalam wacana dialog antaragama tidak mempunyai basis sosial yang cukup untuk membangun semacam jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang menandingi jalur "eceran" yang sudah begitu mengakar itu.
Keempat, adalah kurangnya sarana-sarana kelembagaan yang menunjang dialog. Ini adalah kelemahan serius yang saya kira tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Karena dialog lebih banyak dibangun melalui seremoni dan tindakan-tindakan intelektual yang bersifat diskursif, maka dialog itu sulit menjangkau ke masyarakat bawah. Saya kira sulit suatu dialog menjadi wacana yang menjangkau masyarakat luas jika "infrastruktur dialog" tidak tersedia. Infrastruktur pokok yang harus tersedia adalah yang berkenaan dengan penyelesaian suatu konflik. Kelima, adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah aktivis yang selama ini bekerja untuk dialog antaragama. Maksud saya adalah, bahwa orang-orang yang mengaku "pluralis" (yakni orang yang setuju dengan adanya dialog antaragama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok konservatif, sehingga dialog antara mereka sulit berlangsung. Hal yang sebaliknya juga terjadi.
masing-masing kelompok menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang "sesat" dan "tidak tepat", sehingga tidak layak untuk diajak berbicara. Keenam, adanya pluralisme tidak saja terjadi dalam konteks antaragama, tetapi juga dalam agama yang sama juga terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam. Seringkali, pertikaian dalam agama yang sama ini menjadi kendala dalam membangun dialog antaragama. Oleh karena itu, dialog antargolongan dalam agama yang sama tak kalau pentingnya dengan dialog antaragama. Dengan kata lain, dialog internal akan menjadi sarana yang memudahkan dialog eksternal, dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang dialog antara golongan dalam agama yang sama jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang dialog dengan kelompok di luar agama sendiri.
Hal yang terpenting sebelum melakukan dialog antaragama adalah pelakunya harus bisa menemukan dulu satu kesamaan yang jelas dan diakui semua agama. Sedangkan kesamaan yang telah ada adalah pengakuan dari semua agama yang mengajarkan tentang mengabdi kepada Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik kehidupan jagad raya. Paradigma inilah yang seharusnya menjadi pijakan bersama untuk melakukan dialog teologis dan sebuah kerjasama kemanusiaan karena teologi adalah wilayah persoalan Tuhan, sehingga tentunya teologia tetap bisa disampaikan dengan dialog. Demikian juga, perbedaan di bidang sosial kemasyarakatan dan politik antar kelompok umat beragama lebih muda dijelaskan dan ditentukan kesepakatan karena didalamnya terdapat perbedaan prinsip umat yang sifatnya universal, yang melampaui batas-batas agama. Tetapi persoalan yang selalu saja krusial menyangkut teologi dan dogma yang berpusat pada konsep keselamatan sulit mendapat titi temu. Akibatnya perdebatan teologi sering di atasi dengan cara pandang lain yaitu memasuki polemik antar umat di seputar pewahyuan dan alkitab masing-masing ( Noorsena, 2001: 157).
Oleh karena itu, dalam berdialog antaragama perlu didepankan soal motivasi, karena motivasi adalah daya batin yang mendasari tindakan seseorang mengapa ia harus hidup rukun dengan sesama manusia lebih-lebih dengan tidak seagama. Jika syarat tersebut telah dipenuhi maka jalan menuju dialog antaragama mulai ada titik terang. Di samping itu pula mentalitas kita sendiri juga harus mendukung ke arah itu.
Dan lebih penting lagi dialog harus ditradisikan lebih dahulu ditingkat lingkungan internal umat beragama sendiri agar lebih terbuka dan cerdas. Semestinya iman bisa dijadikan aset bagi upaya bersama membangun masa depan bangsa. Namun, jika saat yang ada itu tidak menimbulkan sinergi, tetapi anergi, maka pantasalah kita mempertanyakan adakah kita yang salah atau pluralisme agama itu memang sulit dipertemukan. Kalau benar itu sulit, berarti agama merupakan urusan pribadi yang tidak dapat dilibatkan dalam kehidupan modern yang ditandai dengan pluralisme dan demokrasi, begitukah? (**)