Sabtu, 26 Juni 2010

Tanah Air Beta Abadi nan Gersang

Oleh: Hukman Reni

Penulis adalah seorang pengungsi Timor Timur, tinggal di Atambua

Timor Timur ternyata masih menyisakan banyak kisah. Salah satu kisah itu diungkit lewat Film Tanah Air Beta. Kisah yang diungkit adalah cerita tentang keterpisahan. Sebuah keterpisahan ganda. Keterpisahan sebuah propinsi Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Keterpisahan seorang kakak beradik, yaitu Merry yang diperankan oleh Griffit Patricia dengan Mauro kakaknya, yang diperankan oleh Marcel Raymond. Juga keterpisahan seorang istri Tatiana yang dilakonkan Alexandra Gottardo dengan suaminya entah siapa dan keterpisahan seorang suami bernama Abu Bakar (Azrul Dahlan) dengan istrinya yang tak tahu siapa.

Film produksi Alenia Fictures yang digarap Ari Sihasale ini, dilatarbelakangi kisah sedih akibat Jajak Pendapat Timor Timur sebelas tahun silam. Sebagaimana diketahui, hasil Jajak Pendapat Timor Timur 30 Agustus 1999 yang diumumkan 4 September 1999, dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan yang anti Indonesia. Akibatnya, ratusan warga Timor Timur terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Data Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkoorlak) Penangggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP) Provinsi NTT, jumlah pengungsi Timtim yang eksodus ke wilayah NTT pasca pengumuman hasil jajak pendapat di Timtim 4 September 1999 lalu mencapai 54.706 Kepala Keluarga (KK) atau 284.414 jiwa.

Setelah terusir dari tanah leluhur, kehilangan harta benda dan berpisah dengan sanak saudara, ratusan ribu warga Timor Timur itu terpaksa hidup di barak-barak penampungan yang kumuh di Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kehidupan di pengungsian itu pun terekam dalam film ini.

Film ini diawali adegan yang cukup memilukan. Ribuan orang berjalan dengan wajah kuyu dan lemas. Tetapi ada juga yang masih sempat menyeret hewan kesayangannya. Di sebelahnya, lalu lalang kendaraan yang mengangkut manusia berdesakan dengan perabot rumah tangga.
Kemudian diperdengarkan juga alunan lagu 'Indonesia Pusaka', karya Ismail Marzuki, sehingga suasananya terasa seperti “agustusan” atau perayaan proklamasi kemerdekaan yang mau menenggelamkan kita dalam rasa kebangsaan dan cintah tanah air yang amat dalam.

Indonesia, tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...... inilah bait lagu Ismail Marzuki yang mengawali film itu. Tetapi pusaka apakah yang abadi di tanah air Indonesia nan jaya ini? Kalau kita mau jujur, jawabnya hanya satu. Kepedihan. Pedih melihat kemiskinan yang semakin bertambah jumlah orangnya maupun ragamnya. Kemiskinan ekonomi, kemiskinan moral, kemiskinan solidaritas dan miskin keadilan.

Ari Sihasale memang tak bermaksud mempertontonkan keaneka-ragaman kepedihan di atas. Di Tanah Air Beta, Ale – sapaan Ari Sihasale – tampaknya hanya ingin mengungkapkan persoalan keluarga yang dikoyak oleh sebuah keputusan politik bernama Jajak Pendapat.
Lewat filmnya ini, kayaknya Ale ingin bilang kepada kita semua bahwa di ujung republik ini, ada keluarga yang hidup bercerai berai akibat persoalan politik Timor Timur. Meskipun begitu, di film ini Ale tak mau bicara politik. Ale pun tak bermaksud untuk membuka kembali luka lama peristiwa merdekanya Timor Timur.

Film ini bebas dari isu politik. Murni berkisah tentang perjuangan ibu-anak yang terpisah karena keadaan waktu itu. "Tanah Air Beta adalah cermin seorang anak yang ingin menemukan arti hidup dan kebanggaan terhadap nilai kebangsaan", kata Ari Sihasale dalam pemutaran perdana `Tanah Air Beta` di Planet Hollywood, Jakarta, (Liputan6.com, Senin 14/6).

“Tujuan saya ingin memperlihtkan kepada semua orang bagaimana para pengungsi Timor Leste yang memilih ikut bergabung ke Indonesia dengan tinggal di Atambua sebagai pengungsi, mereka memang sangat mencintai Indonesia”, kata Ale lagi.

Film ini bergenre drama keluarga. Intinya menceritakan bagaimana ideologi dan keadaan tak akan mampu memutuskan hubungan ibu dan anaknya. Cinta kasih keluarga tak akan hilang walau bagaimana pun keadaannya.`, tambah Nia Sulkarnaen, istri sang penggarap Tanah Air Beta.
Tetapi nilai kebangsaan macam yang mau ditemukan di film ini? Jika kebangsaan yang dimaksud Ale adalah sebuah kemajemukan etnik, maka sekilas, kebangsaan itu tergambar dari para pemainnya yang Manado (Robby Tumewu), Indo (Alexandra Gottardo dan Griffit Patricia). Juga pada sosok Yehuda Rumbini, yang Papua tulen dari Sentani.

Hanya saja, kebangsaan bukan pasar inpres tempat hadirnya persona atau anak manusia dari berbagai “kelurahan” dan etnik yang berbeda. Bukan pula sekedar pertemanan si kribo dengan si pirang. Kebangsaan adalah sebuah keluarga besar yang saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, di mana kesetaraan terungkap dalam kehidupan nyata yang tertib, aman dan tenteram. Sebuah keluarga besar yang terikat nilai kebangsaan, tidak boleh baku toki atas nama apa saja. Termasuk atas nama Tuhan sekalipun. Sebab Tuhan tidak pernah anarkis.

Tuhan tidak mau melihat umatnya benjol hanya gara-gara beda agama.
Nilai kebangsaan itu yang kurang menonjol di Tanah Air Beta. Padahal, melihat judulnya, dan mendengar soundtrack lagu-lagu perjuangan yang disertakannya, bayangan kita akan memperoleh tontonan nasionalisme yang kental dari adegan-adegan atau dialog para pemainnya. Kesenjangan ini mungkin bisa dimengerti, sebab dari awal penggarapnya tidak mau berususan dengan politik.

Secara umum, film ini menyoroti kehidupan keluarga yang remuk dihantam badai politik Timor Timur pasca Jajak pendapat. Ada keluarga Tatiana (Alexandra Gottardo) yang kehilangan suaminya, dan anak perempuannya Merry (Griffit Patricia) yang merindukan kakaknya Mauro (Marcel Raymond). Tatiana dan Merry tinggal di barak penampungan di Timor Barat, Proponsi Nusa Tenggara Timur.

Tatiana mengisi hari-harinya dengan menjadi guru dan bertani di tanah yang kering. Sedangkan Merry memendam kerinduan teramat sangat pada kakaknya yang terpisah saat kerusuhan pasca Jajak Pendapat terjadi. Kerinduan Merry terhadap Mauro begitu dalam, hingga Merry masih selalu membayangkan percakapannya dengan kakaknya saat mereka masih hidup rukun dalam keluarganya beberapa tahun silam. Kerinduan itu membuat Merry setiap ,malam menggenggam cobek layaknya telepon, lalu bicara dengan bantal yang dibalut kaus sang kakak.
Kemudian, ada juga Abu Bakar (Azrul Dahlan) yang kehilangan istri. Abu Bakar dikisahkan seorang keturunan Arab yang sangat perhatian pada keluarga Tatiana. Tetapi perhatian Abu Bakar itu, ada maunya. “Ada udang di balik batu”. Rupanya, Abu Bakar ingin belajar baca tulis dari Tatiana, yang mengajar di sekolah tenda.

Selain itu, ada lagi bocah jahil yang kehilangan ayah dan ibunya bernama Carlo (Yehuda Rumbindi), yang sering mengganggu Merry di sekolah tenda. Sepertinya, Ale sengaja mengirim Abu Bakar membawa bumbu humor mengimbangi Tatiana yang murung. Juga Carlo untuk mendampingi Merry yang dibalut rindu pada kakaknya sepanjang masa. Walhasil, Abu dan Carlo memang berhasil mengelitik penonton lewat tingkah laku dan ucapan-ucapannya.

Adegan keluarga terlihat jelas ketika suatu kali, Merrry melihat ibunya sakit. Merry sangat khawatir ibunya akan meninggal dan ia hidup sendirian, seperti Carlo yang “merantau” di Tanah Air Beta, tanpa ayah dan ibu, juga tanpa adik dan kakak. Kekhawatiran itu mendorong Merry nekad pergi ke perbatasan seorang diri mencari Mauro, kakaknya. Carlo pun menyusul Merry ke perbatasan setelah dibentak oleh Abu Bakar yang sangat mengkhawatirkan kepergian Merry yang misterius dan sangat tiba-tiba.

Pada bagian cerita ini, batin penonton akan tergetar saat Merry yang awalnya sangat membenci Carlo dan berjanji tak mau lagi bicara dengannya, akhirnya mengungkapkan kegelisahannya dan alasannya nekat pergi ke perbatasan seorang diri. “Carlo, ko rasa bagaimana kalau tida punya mama lagi? tanya Merry.

Carlo tertegun mendengar pertanyaan itu. Ia menghentikan makannya dan menatap Merry. “Sepi sekali. Tidak punya bapak, tidak punya adik. Ko juga tidak mau jadi sa pu adik”, rintih Carlo dalam logat Kupang. Pada penggalan lain, Carlo pun bertanya, apakah Merry masih mau berteman dengannya jika sudah bertemu Mauro. Tetapi Merry merasa hanya punya satu kakak, Carlo dengan tegas menjawab,”Tak ada salahnya punya dua kakak!”

Tanah Air Beta tampaknya terfokus pada kisah pencarian Merry dan Carlo di “jembatan air mata” Mota A’in, Kabupaten Belu. Di ujung cerita, Merry mencari Mauro, sambil menyanyikan lagu “Kasih ibu Kepada Beta”. Merry dan Carlo akhirnya bertemu Mauro. Ketiganya berpelukan.
Tetapi sampai di sini, barangkali penonton akan sedikit kecewa, karena pesan rasa kebangsaan dari Tanah Air Beta bergeser ke alunan “Kasih ibu Kepada Beta” saat Tatiana dan Abu Bakar bergabung dengan Mauro, Carlo dan Merry di tengah kerumunan orang yang “kangen-kengenan” di “Jembatan Air Mata”, Mota A’in, yang memisahkan Indonesia dan Timor Leste. Ending Ini membuat orang akan bertanya-tanya, barangkali film ini salah judul.

Penonton di bumi Komodo barangkali juga akan sedikit miris, karena hampir sepanjang cerita dalam film ini kita akan menyaksikan gersangnya Tanah Air Beta di Nusa Tenggara Timur. Jadi makna pengungkapan kesengsaraan pengungsi Eks Timor Timur, sekaligus mewakili keterbelakangan NTT yang terdaftar sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia.

Bagi mereka yang tahu persoalan kehidupan pengungsi warga Eks Timor Timur di barak penampungan, mungkin akan bertanya-tanya, siapa Tatiana. Mengapa dia pisah dengan suaminya. Sebab, kita tahu, bahwa pasca Jajak Pandapat, ribuan warga Eks Timor Timur, baik pro kemerdekaan maupun pro Indonesia megungsi ke Timor Barat. Adakah Tatiana memilih tinggal di Tanah Air Beta karena terlanjur tanpa suami.

Kemudian, apakah perpisahan itu sebelum atau sesudah Jajak pendapat? Karena semuanya tak terungkap jelas, maka barangkali film ini hanya mau mengungkap ketegaran seorang janda di pengungsian.

Pengambilan gambar film ini tampaknya di lokasi pengungsian, di Kupang. Sayang sekali, kehidupan sehari-hari pengungsi kurang diungkapkan. Bahkan interaksi pengungsi dan penduduk lokal, hampir tidak disentuh sama sekali. Seolah-olah pengungsi Eks Timor Timur “terisolir” dari yang akar sosial di sekitarnya. Padahal, ini penting diceritakan untuk mengisahkan apakah pengungsi Eks Timor Timur itu diterima penduduk lokal atau tidak?
Tetapi terlepas dari semua itu, Tanah Air Beta menunjukkan betapa masih menyedihkannya kehidupan pengungsi Eks Timor Timur di barak penampungan di Timor Barat.

Menyaksikan kisah kehidupan pahit Tatiana, korban Jajak Pendapat yang diperankan Alexandra Gottardo tersebut, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Radjasa menilai “Tanah Air Beta” merupakan gambaran kehidupan sosial penduduk Indonesia di daerah perbatasan yang seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.

Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia dilontarkan dalam konferensi pers di sela-sela nonton bareng “Tanah Air Beta” yang diselenggarakan PAN di Plaza Senayan, Jakarta. “Kondisi yang dialami masyarakat Atambua seperti diceritakan dalam film Tanah Air Beta memang tidak bisa ditutup-tutupi kebenarannya. "Saya sendiri pernah ke Atambua, memang daerah perbatasan itu harus kita tingkatkan. Harus yang prosperity approach yang kita utamakan. Jadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan itu penting, supaya kecintaannya kepada bangsa semakin meningkat," kata Hatta.

Pernyataan Hatta didukung oleh mantan Ketua MPR Amien Rais, yang sengaja datang dari Yogyakarta untuk nonton bareng Tanah Air Beta. Menurut Amien, kelemahan kita untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketika ada wilayah yang jauh dari Jakarta dapat kesusahan, ada musibah seperti kehidupan pengungsi Timor Timur yang sangat sengsara itu, dianggap seolah tidak ada apa-apa.

Oleh sebab itu, dia berharap, film Tanah Air Beta mampu menggugah pemerintah untuk menentukan kebijakan demi mensejahterakan masyarakat Timor Timur. "Ya saya melihat Pak Hatta ini setelah melihat film tersebut bersama pemerintah akan mengambil langkah buat 70 ribu anak bangsa itu mau diapakan. Karena sudah sepuluh tahun (nasibnya seperti itu)," papar Amien. "Saya rasa ini bisa jadi bahasan di kabinet, apakah dengan memberiikan pangan, sandang, papan dan lain-lain," lanjut Amien Rais.

Nonton bareng yang diselenggarakan Partai PAN terasa begitu lengkap dengan hadirnya para pemain dan kru film Tanah Air Beta. juga tokoh Timor Timur, Eurico Guterres. Mantan narapidana HAM Berat Timor Timur ini konon sengaja dipanggil oleh artainya untuk memberii “kesaksian” kepada Tanah Air Beta. Dalam konferensi pers yang dipandu Eko Patrio, Guterres tak lupa melontarkan kritik pedasnya, hingga membuat Tatiana (Alexandra Gottardo) dan sang penggarap Tanah Air Beta, Ari Sihasale, agak kelimpungan.

Guterres merasa film Tanah Air Beta itu, seakan membenarkan tuduhan internasional, yang memvonis dirinya sebagai pimpinan milisi yang memaksa penduduk mengungsi ke Timor Barat. Akibatnya, banyak keluarga yang bercerai berai.

“Salah satu tuduhan terberat yang saya hadapi dalam Pengadilan HAM Berat Timor Timur, adalah pemindahan paksa. Dunia menuduh saya yang memaksa orang mengungsi sehingga ada anak-anak berpisah dengan orang tuanya, suami berpisah dengan istrinya, dan sebagainya. Saya sudah bantah itu di pengadilan, tetapi film ini membenarkan tuduhan itu”, kata Guterres.

“Meskipun begitu, sebagai warga Eks Timor Timur, saya berterima kasih kepada Ale, karena sudah mau mengungkap penderitaan warga Eks Timor Timur di pengungsian”, katanya lagi.
Tanah Air Beta memang tak lepas dari kritikan, selain puja dan pujian. Pesan sponsor begitu kental di dalamnya. Perhatikanlah, tempat bermain Merry dan Carlo yang lebih sering di kolam air. Juga ajakan Carlo untuk selalu cuci tangan pakai sabun Lifeboy, sebelum makan dan setelah cuci piring di sebuah warung makan.

Kemudian, perhatikan pula “pagar negara” berpakaian loreng yang lalu lalang memegang senjata tanpa bertegur sapa, seakan-akan menunjukkan bahwa tentara tidak pernah bikin apa-apa dalam urusan warga Timor Timur.

Tetapi terlepas dari semua itu, sebagai hiburan, Tanah Air Beta pantas ditonton oleh semua kalangan, dan khusus untuk warga Belu, bersiap-siaplah nonton gratis, sonde pake doi. Karena di sela-sela nonton bareng di Plaza Senayan, Jakarta, 23 Juni lalu, Abu bakar (Azrul Dahlan) dan Tatiana (Alexandra Gottardo) telah berjanji kepada saya bahwa, tanggal 17 Juli 2010 mereka akan menggelar layar tancap di Haliwen, Atambua.***

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40280

Lolos Di SoE, Kena Hiki di Kupang

Lolos dari pantauan polisi di wilayah hukum Polres TTS, ternyata truk berisi 15 ton mangan diamankan di wilayah Polresta Kupang. ke-15 ton mangan itu milik PT Sumber Griya Permai, yang diangkut dari Niki-Niki, TTS.

Diamankannya mangan tersebut, terkait dugaan sejumlah dokumen yang tidak seluruhnya dikantongi pengusaha. Pihak PT Sumber Griya Permai (SGP), Alfred Mandolang kepada koran ini, di Mapolresta Kupang mengungkapkan, dirinya tidak mengetahui alasan penahanan mangan yang dilakukan pihak Polresta. Namun sebagai warga negara yang taat hukum, pihaknya akan memenuhi panggilan dari pihak kepolisian.

Dikatakan, batu mangan yang diangkut milik PT Sumber Griya Permai, dari Niki-Niki. Jumlah batu mangan yang diangkut katanya, sebanyak 15 ton mangan, dan diangkut dengan menggunakan tiga truk. Batu mangan tersebut tambahnya, akan dibawa ke gudang perusahaan di Tenau, Kupang, untuk seterusnya dikirim ke Surabaya.

Masih menurutnya, pengangkutan batu mangan milik PT SGP, dari Niki-Niki, hingga wilayah hukum Polres Kupang, namun sampai wilayah hukum Polretas Kupang, akhirnya ditahan untuk kepentingan penyelidikan. Ditanyai koran ini, apakah dalam pengangkutan pihak PT SGP mengantongi dokumen resmi, ia mengatakan semuanya dokumen ada, namun karena ditahan pihaknya tidak dapat berbuat banyak. "Batu mangan yang diangkut milik PT SGP, dan semua dokumen kami kantongi,"paparnya.

Terpisah, Kapolresta Kupang, AKBP Bambang Sugiarto, melalui Kasat Reskrim Polresta Kupang, AKP Yeter B Selan mengatakan, penahanan batu mangan oleh pihaknya, karena sopir tidak mampu menunjukan dokumen lengkap kepada petugas lapangan. "Kita tahan karena mereka tidak bisa tunjukan dokumen secara lengkap,"paparnya.

Kini, sopir maupun kondektur sedang dalam pemeriksaan pihaknya, untuk melihat kelengkapan dokumen. Bila lengkap pihaknya akan melepas barang bukti batu mangan, sebaliknya jika tidak maka akan ditahan dan diproses lebih lanjut.

"Kita sedang periksa para sopir, terutama mengetahui dokumen yang dikantongi,"urainya. Pantauan koran ini, 15 ton batu mangan, sebagai barang bukti, kini diamankan di halaman parkir Mapolresta Kupang, sambil menunggu proses penyelidikan kepolisian. (lok)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40279

Kamis, 24 Juni 2010

170 Investor Ajukan Izin

Meskipun belum ada peraturan daerah tentang penambangan mangan, namun hingga kini terdapat 170 investor yang telah mengajukan permohonan izin penambangan mangan di Kabupaten TTS.

Hal itu dikemukakan Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis (24/6) di SoE. Menurut Eldat Nenabu pihaknya telah mendapat tembusan pemberitahuan dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTS mengenai jumlah investor yang mengajukan permohonan izin bersama rincian masing-masing lokasi.

Eldat Nenabu didampingi Wakil Ketua, Ampera Seke Selan mengatakan setelah menerima surat itu pihaknya menyarankan kepada pemerintah melalui Dinastamben agar semua administrasi investor yang mengajukan permohonan izin harus lengkap. Untuk pembagian lokasi antara investor yang satu dengan lainnya harus jelas tidak boleh tumpang tindih pada satu lokasi.

Dikatakan, pemerintah harus memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga tidak melaksanakan aktifitas penambangan mangan sebelum adanya aturan jelas yang mengatur tengan mangan. ”Kita perlu ingatkan masyarakat tentang resiko-resiko yang bakal terjadi saat penambangan mangan. Pemberian pencerahan harus melibatkan DPRD dan semua pihak,” ungkap Eldat Nenabu.

Ia menambahkan, pemerintah perlu mengingatkan investor yang ingin berinvestasi di Kabupaten TTS harus memiliki alamat kantor jelas sehingga ketika dibutuhkan sewaktu-waktu gampang dihubungi. ”Jangan orang datang berdiri-berdiri tidak punya kantor jelas kita beri dia izin. Ketika ada persoalan misalnya siapa yang akan kita hubungi. Kan sulit lagi,” tegas Eldat Nenabu.

Lebih lanut dia menyampaikan hasil pertemuan badan legislasi DPRD TTS dengan Menteri ESDM belum lama ini di Jakarta terkait Peraturan Menteri (Permen) tentang mangan sudah ada bayangan. "Katanya sekitar awal Juli permen tersebut sudah ada. Akan disusul dengan standar harga," tambahnya.
Selanjutnya kata dia, pembuatan peraturan daerah sepenuhnya adalah kewenangan daerah. Diingatkan pencanangan wilayah tidak boleh dalam kawasan hutan dan perlu ada peta geografis.

Ia menambahkan, dalam pembuatan perda harus tercantum ganti rugi tanam tumbuh. "Batasan terhadap pengelola. Artinya usai anak-anak dan usia orang tua diatas 60 tahun tidak diperbolehkan msuk dalam lokasi penambangan. Hal itu harus tercantum jelas dalam perda," katanya.

Dia menyebut, lokasi penampungan stok fail juga harus ada izin. Misalnya investor memiliki dua lokasi stok fail yang berada di antara kiri kanan jalan maka harus ada dua izin dan tidak diperkenankan satu izin.
Dijelaskan, khusus bagi penambangan rakyat (IPR) ada batasan izin luas lokasi yakni 2 ha. Penambangan /penggalian secara manual dengan kedalaman dua meter dan tidak boleh menggunakan alat berat.

Dikatakan saat ini ada delapan investor yang telah mengantongi rekomendasi izin penambangan mangan di Kabupaten TTS. Ke depan kata dia, DPRD akan meminta pemerintah mengevaluasi kedelapan pengusaha itu. Sehingga bagi pengusaha yang tidak beroperasi izinnya akan dicabut.

Sebelumnya Wakil Bupati TTS, Benny A. Litelnoni mengharapkan kepada masyarakat agar tidak melaksanakan aktifitas penambangan sebelum ada aturan jelas /perda mangan. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya hal yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan lingkungan.

”Kasihan masyarakat diiming-iming dengan uang ratusan juta. Hanya untuk dapat satu dua karung nyawa jadi taruhan lalu siapa yang bertanggungjawab,” tegas Benny Litelnoni.
Ia berharap masyarakat bersabar menunggu keluarnya perda. Sementara mekanisme tentang mangan diakui menyulitkan pemerintah kabupaten dalam mengambil keputusan. Wabup Litelnoni kembali mengingatkan beberapa pengusaha yang telah mendapat rekomendasi izin penambangan mangan tapi tidak beraktifitas maka izinnya terancam dicabut. (dek)

SUmber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40272

Selasa, 22 Juni 2010

Tambang Mangan Secara Tradisional Tiga Warga Belu Tewas

Maraknya aktifitas penambangan batu mangan secara tradisional di Kabupaten Belu kembali makan korban. Minggu (20/6) sore sekira pukul 15.30 Wita, tiga warga Belu tewas tertimbun mangan ketika melakukan penambangan di desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.
Ironisnya, dua korban dari tiga korban yang tewas adalah seorang Jojina Gama, 48 dan putrinya, Anina Gama, 18 yang berasal dari desa Leosama, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.

Satu korban lainnya adalah Jose Pareira, 51, dari desa Kenebibi, Kakuluk Mesakh. Satu korban yang selamat namun dalam kondisi sekarat yakni Abilio, 36, warga desa Leosama.
Rui Lopez, salah seorang keluarga dari salah satu korban kepada koran ini, Senin (21/6) kemarin, mengatakan, tiga korban yang tewas disebabkan tertimbun runtuhan tanah dan batu dari bagian lubang galian saat menambang mangan.

"Kedalaman lubang galian sudah sampai lima meter. Sudah begitu mereka gali lagi ke bagian samping di dalam lubang tersebut sehingga berbentuk seperti terowongan. Akibatnya tanah di bagian atas terowongan tersebut runtuh dan akhirnya mereka terkubur dan mati di dalam lubang," jelas Rui Lopez.

Melihat runtuhnya tanah serta batu tersebut, Rui Lopez dan beberapa warga lain yang saat itu berada di lokasi kejadian langsung melakukan pertolongan. Namun kata dia, saat itu, hanya Abilio yang berhasil dievekuasi sekira satu jam setelah kejadian. Sementara tiga orang lainya sudah tertimbun rongsokan di dalam lubang galian batu mangan tersebut.

"Kami dengar ada yang teriak dari dalam lubang. Lalu kami usaha untuk berikan pertolongan, namun hanya Abilio yang bisa diselamatkan. Sementara Jose dan ibu serta anaknya sudah tertimbun di dalam lubang," jelas Rui Lopez.

Senin (21/6) kemarin, keluarga korban langsung melaporkan musibah ini ke Komisi C DPRD Kabupaten Belu. Saat berada di Kantor DPRD keluarga korban diterima Ketua Komisi C DPRD Belu, Ciprianus Temu dan dua anggota lainnya, Alex Bauk dan Ali Atamimi.

Usai dialog dan mendengarkan kronologis kejadian, Ketua Komisi C DPRD Belu, Ciprianus Temu, mengatakan, sesuai dengan penyampaian warga bahwa aktivitas penambangan tersebut dilakukan secara manual serta penjualannya pun dilakukan kepada siapa saja yang hendak membeli mangan di di lokasi tersebut.

Karena itu kata dia, DPRD Belu, tidak bisa menuntut siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa para korban. Namun anggota DPRD dari PKPB ini mengatakan bahwa apa yang disampaikan warga menjadi masukan bagi DPRD khususnya pihak DPRD Belu untuk dibahas dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pertambangan mangan di Kabupaten Belu.

"Kita sulit untuk mencari tahu atau kurang lebih ada yang bertanggung jawab karena memang penggalian mangan di lokasi tersebut tidak melalui perusahaan pemilik izin usah pertambangan tertentu. Dengan demikian masalah serta kejadian ini, setidaknya menjadi masukan bagi pihak DPRD dalam pembahasan Ranperda tentang pertambangan di Kabupaten Belu," ujar Cipri Temu.
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Belu, Anthon Suri mengatakan, setelah mendengar informasi tersebut telah menurunkan tim dari Dinas Pertambangan Kabupaten Belu untuk melakukan pendataan serta investigasi di lokasi penambangant.

"Kita sudah turunkan tim ke lokasi kejadian untuk pendataan, apakah lokasi tersebut diizinkan untuk aktivitas penambangan. Atau ada perusahaan tertentu yang biasa melakukan pembelian secara tetap di lokasi tersebut. Semua kebenaran terkait aktivitas penambangan sementara ini dalam proses penyelidikan oleh tim yang telah kami turunkan," pungkasnya. (onq)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40235

Minggu, 20 Juni 2010

ANGKA 17

DALAM sepuluh bulan 17 orang tewas di lubang mangan. Apakah ini sekadar angka tak bermakna? Begitu isi pesan pendek yang beta terima akhir pekan lalu dari seorang teman. Beta tersentak. Pesan itu menikam kesadaran.

Sungguh mati, beta mungkin sama dengan tuan dan puan yang selama ini menganggap kematian di lubang mangan sebagai peristiwa biasa. Pesan pendek itu menggugat sikap kebanyakan kita yang melihat angka sekadar angka. Tanpa usaha memahami sesuatu yang lebih penting di balik angka-angka tertentu.

Sahabatku itu mengirim pesan setelah dia membaca berita tentang kematian tiga warga Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) di lubang mangan 15 Juni 2010. Para korban adalah warga Desa Bakitolas, TTU, yaitu Oktovianus Sasi (38), Feliks Teti (40) dan Marsel Lafu (52). Ketiganya tertimbun tanah longsor saat menggali mangan pada kedalaman tujuh meter.

Dengan tambahan tiga korban jiwa tersebut, maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 2009 atau dalam tempo sepuluh bulan terakhir sudah 17 warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tewas saat menambang mangan. Data ini berdasarkan warta yang dirilis media massa. Patut diduga masih ada korban tewas atau luka-luka yang tidak terekspos. Pekerjaan pokok para korban adalah petani dan peternak. Di antara korban ada murid SD dan ibu rumah tangga yang sedang hamil tua.

Kisah tentang korban hamil tua sungguh menyayat hati. Hari Jumat 23 April 2010, Martinus Tili (32) dan istrinya Ida Alunpa (29) sama-sama menambang batu mangan. Pasangan ini adalah warga Kelurahan Mobeli, Kabupaten TTU. Demi sesuap nasi keduanya tidak memperhitungkan resiko terburuk.

Saat Martinus dan Ida asyik menggali mangan pada kedalaman 2,5 meter, salah sisi dinding lubang galian roboh. Suara batu dan tanah bergemuruh lalu terdengar jeritan lengking Ida Alunpa memanggil suami tercinta. Ida tertimbun reruntuhan. Martinus panik. Tangis Martinus membahana saat tangannya mengais tanah yang menimbun tubuh sang istri. Histeria Martinus memuncak kala tahu belahan jiwanya tak lagi mengembuskan napas. Ia mendekap erat tubuh Ida dengan air mata terurai. Ida pergi selamanya bersama anak ketiga dalam kandungannya.

Dari 17 korban tewas di atas, jumlah terbanyak di Kabupaten Kupang yaitu tujuh orang tewas disusul TTU dengan lima orang. Korban lainnya asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Belu dan Kota Kupang. Artinya nikmat mangan telah menelan korban jiwa di lima wilayah Timor Barat. Tujuh belas orang kehilangan nyawa dalam sepuluh bulan mestinya pantas dilukiskan sebagai malapetaka. Angka kematian tersebut membuat bulu kuduk berdiri. Rata-rata setiap bulan selalu jatuh korban jiwa. Gali mangan untuk kuburan sendiri. Ngeri kawan!

Data ini jelas bukan sekadar angka kematian. Namun, siapa peduli? Booming ekonomi mangan di Timor Barat benar-benar lepas kontrol. Pengambil kebijakan seolah tidak mau tahu dengan penderitaan masyarakat. Dan, tidak mau mencari tahu secara serius apa sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat bersamaan dengan nikmat mangan dua tahun belakangan.

Pengambil kebijakan di daerah hanya riang dan berlomba-lomba mengeluarkan izin kuasa pertambangan ataupun pertambangan rakyat tanpa memperhatikan dampak lingkungan serta dampak sosial dan ekonomi bagi warganya.

Tuan dan puan coba simak ini. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi NTT, hingga bulan Mei 2010, terdapat 319 kuasa pertambangan di beranda Flobamora. Data tersebut masih sementara karena belum semua pemerintah kabupaten/kota melaporkan izin yang telah dikeluarkan kepada pemerintah propinsi di Kupang. Maklumlah di era otonomi daerah sekarang, bupati/walikota adalah "raja" di wilayah masing-masing. Lapor kepada pemerintah propinsi seolah tidak wajib dalam tata krama kepemerintahan NKRI.

Apakah semua izin kuasa pertambangan itu sesuai ketentuan dan prosedur? Belum tentu. Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk menarik keuntungan dari penerbitan izin. Ada yang tega memanipulasi izin sehingga seolah-olah diterbitkan sebelum kewenangan izin tambang ditarik kembali pemerintah pusat tahun 2009.

Sekadar contoh, hari-hari ini Pansus DPRD TTU sedang giat bekerja menelusuri izin kuasa pertambangan. Di TTU ada 82 izin pertambangan dari pemerintah. Kesimpulan sementara Pansus, tidak ada satu pun izin itu melalui prosedur yang benar. Bukan muskil hal yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Salah urus benar-benar lekat dengan wajah Flobamora. Tapi siapa pernah merasa malu? Huh!! Kampung besar kita terkenal tebal muka.

Jumlah 17 itu bukan angka yang kecil. Itu tragedi yang nyata terjadi di depan mata. Dampak sosial ekonomi mangan sungguh menggetarkan hati. Jika kurang percaya, cobalah tengok kehidupan di pedalaman Timor sekarang. Demi mangan yang mudah mendapatkan rupiah ketimbang berkebun atau piara ternak, orang kita rela berhari-hari menggali perut bumi demi menemukan batu hitam bernama mangan.

Mereka melubangi dinding bukit dengan peralatan seadanya. Tinggal berhari-hari di bawah tenda, tidur beralaskan tikar dan makan ala kadarnya. Tak jarang mereka jatuh sakit, terutama balita, anak-anak dan kaum perempuan yang ikut menambang.

Derajat kehidupan mereka tidak serta merta terdongkrak dengan menjual batu seharga Rp 350-Rp 400 per kilogram. Keuntungan lebih besar bahkan berlipat ganda tetap milik para cukong dan perusahaan pemegang izin kuasa pertambangan.

Di manakah mereka ketika korban berjatuhan? Di mana orang-orang yang rajin mengeluarkan izin kuasa pertambangan? Dengan profil salah urus yang semakin akut dan kronis di kampung kita, beta yakin satu hal booming tambang mangan di beranda Nusa Tenggara Timur bukan jawaban atas kemiskinan para kekasih, saudara dan famili kita. Turut berduka cita untuk 17 korban tewas di lubang mangan. Beristirahatlah dalam damai!

Sumber: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/49476/angka-17

Banyak Pengusaha Mangan Belum Miliki Amdal

Sekira 80-an perusahaan yang memiliki izin usaha penambangan (IUP) mangan di Kabupaten Belu saat ini belum memiliki izin kelayakan karena belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
"Sekira 80-an perusahaan yang memiliki IUP di Kabupaten Belu belum miliki dokumen Amdal, saat ini masih diurus," kata kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Yoneta Mesak kepada wartawan disela-sela pembahasan Amdal di hotel Kingstar Atambua, Sabtu (19/6).

Yoneta menjelaskan, selama ini masih terjadi salah pengertian dari pengusaha tambang mangan di Kabupaten Belu. Dimana, izin eksplorasi disalahgunakan sebagai izin tambang, sehingga mangan di gali bukan untuk penelitian umum dan tanpa didahului kajian dampak lingkungan, namun sudah diperjualbelikan untuk produksi.

"Hal ini jika tidak segera dilakukan penertiban, maka dikuatirkan penambangan mangan akan mempercepat perusakan terhadap lingkungan. Saat ini dampak penggalian mangan semakin mengarah pada kerusakan lingkungan," katanya.

Karena itu, Yovita mengharapakan agar pengusaha mangan di Kabupaten Belu yang sudah memiliki izin eksplorasi untuk segera mengurus dokumen analisis mengenai dampak lingkungan agar bisa segera melakukan produksi mangan.

"Izin eksplorasi di Kabupaten Belu hanya sampai tahun 2011. Oleh karena itu dokumen Amdal wajib dilengkapi jika pengusaha mangan ingin investasinya berkembang pada tahap produksi setelah eksplorasi," paparnya.

Sementara, berdasarkan informasi yang dihimpun Timor Express dari Desa Halimodok Kecamatan Tasifeto Timur, masyarakat di sana akhir-akhir ini mulai resah. Pasalnya, ternak-ternak warga seperti sapi dan babi mulai mengalami penyakit kulit dan akahirnya mati.

Sekertaris Desa Halimodok, Yadokus Suri yang dikonfirmasi membenarkan kondisi hewan di desa tersebut yang akhir-akhir ini mulai mati mendadak. Namun, sampai saat ini, pemerintah desa setempat tidak bisa memastikan kalau tewasnya ternak milik warga disebabkan adanya aktivitas penambangan di Halimodok.

"Kita tidak bisa pastikan penyebab matinya sapi-sapi di sini karena adanya aktivitas penambangan. Namun kebanyakan tanda-tanda awal sapi mati yakni mengalami penyakit kulit dan akhirnya mati mendadak," Yadokus Suri. (onq)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40230

DPD Minta Data, YPTB Minta Dana

Senator asal NTT, Paul Liyanto didamping sekretarisnya John Manafe terlibat diskusi hangat dengan Pemred Timex, Simon Petrus Nilli saat berkunjung ke Redaksi Timor Express, Sabtu (19/6).(FOTO:SEMY BALUKH/TIMEX)

KUPANG, Timex--Berlarut-larutnya masalah pencemaran Laut Timor akibat tumpahan ladang minyak Montara mendapat perhatian serius para senator di Jakarta. Salah satunya adalah dari Paul Liyanto, senator asal NTT yang meraih suara tertinggi dalam Pemilu Legislatif lalu.

Paul Liyanto mengakui hingga saat ini kajian tentang jumlah kerugian akibat pencemaran Laut Timor belum selesai. Data kerugian pun belum dikantongi Tim Nasional yang dibentuk Pemerintah Pusat. Sementara pemerintah daerah pun belum bisa memberikan data akurat.
"Kita tidak berikan data riil tentang kerugian yang dialami masyarakat di pesisir pantai. Yang dibutuhkan itu adalah data pemeriksaan terhadap sampel rumput laut yang rusak terkena minyak. Nah, data ini yang tidak akurat, sehingga belum diketahui pasti berapa besar kerugiannya," tandas Paul Liyanto Sabtu (19/6) saat berkunjung ke redaksi Harian Pagi Timor Express.

Paul--sapan karibnya-- mengaku dirinya sudah pernah bertemu Menteri Perhubungan terkait kasus ini, namun belum ada tindaklanjut karena masih terkendala kekurangan data.
Menurut Paul, sebelumnya diusulkan biaya ganti rugi sebesar Rp 500 miliar, namun belum disetujui karena tidak ada data akurat. Oleh karena itu, masih dibutuhkan kajian lebih lanjut.

"Jangan sampai bukan Rp 500 miliar tapi US$ 500 miliar. Jadi kita masih kendala data akurat tentang kerugian ini. Tes kerusakan rumput laut itu seperti tes DNA, jadi harus dites di laboratorium, sehingga diketahui apakah kerusakan itu akibat tumpahan minyak itu atau bukan. Kalau memang positif karena tumpahan minyak, maka tinggal dihitung berapa banyak yang mengalami kerusakan. Data ini yang belum lengkap," kata Paul.

Bangun Kantor DPD di Daerah

Paul Liyanto juga menjelaskan, DPD sudah merencanakan pembangunan kantor perwakilan di ibukota provinsi sesuai UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susduk MPR, DPR dan DPD pada Pasal 227 ayat (4). Oleh karena itu, telah disepakati agar kantor perwakilan DPD NTT segera dibangun di Kupang.

Menurut Paul, dengan adanya kantor perwakilan di masing-masing provinsi diharapkan para anggota DPD dapat lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Selain itu, anggota DPD dapat melihat langsung fenomena di dan kondisi riil di daerah, sehingga akomodasi dan aspirasi yang disampaikan ke pusat nantinya diharapkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan daerah. "Kantor ini menjadi media untuk memudahkan masyarakat berkomunikasi dengan wakil daerahnya.

Paul juga menjelaskan, beberapa rencana strategis DPD pada periode 2010 hingga 2014 adalah mengenai otonomi dan perimbangan kekuasaan pusat dan daerah dalam rangka pemerataan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat di daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan pendayagunaan sumber daya alam nasional sebagai prime mover pertumbuhan perekonomian daerah dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Tak ketinggalan, turut mengontrol peningkatan dana transfer ke daerah. "Masih ada beberapa hal yang menjadi perhatian DPD adalah peningkatan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi, pertimbangan rancangan anggaran dan pendapatan belanja negara, pengawasan pelaksanaan APBN dan pemeriksaan keuangan negara, penyusunan program serta urutan prioritas pembahasan RUU sebagai usulan DPD untuk Prolegnas," jelas Paul.

Dijelaskan juga tentang RUU yang menjadi prioritas pembahasan di DPD tahun 2010 yakni RUU Kelautan, RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, RUU tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 2004 tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang administrasi Daerah, RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, RUU tentang Informasi Geospasial dan RUU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

"Ini berbeda dengan saat UU Nomor 10 tahun 2004 masih berlaku di mana DPD tidak pernah diikutsertakan dalam pembahasan prolegnas. Untuk itu DPD saat ini sedang mendalami UU Nomor 10 tahun 2004 tersebut. Prolegnas menjadi salah satu sarana DPD untuk memperjuangkan kepentingan lokal atau daerah di tingkat nasional," urai Paul.

Umumkan Hasil Investigasi


Sementara Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Sabtu (19/6) mendesak pemerintah Australia untuk segera mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi Komisi Penyelidik Australia yang dibentuk Pemerintah Federal Australia. "Komisi ini menyerahkan hasil temuan dan rekomendasinya kepada Pemerintah Australia pada Jumat (18/6) 2010, namun Pemerintah Australia masih membungkusnya rapat-rapat dan belum mau mengumunkannya secara terbuka kepada publik," kata Ferdi.

Ia mengatakan, alasan Pemerintah Australia yang disampaikan PM Australia Kevin Rudd dan Menteri Sumber Daya Martin Ferguson bahwa Pemerintahannya masih akan mempelajari temuan dan rekomendasi Komisi Penyelidik Australia yang dihasilkan dari sebuah investigasi yang dilakukan sejak bulan Nopember 2009 terhadap meledaknya sumur minyak West Atlas di ladang Montara yang terletak di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 lalu dan telah mencemari perairan Australia Barat-Utara dan Indonesia itu.

“Tidak ada alasan bagi Pemerintah Australia untuk memperlambat penyampaian temuan dan rekomendasi kepada publik karena seluruh proses investigasi yang dilakukan oleh Komisi Penyelidik sejak awal telah dilakukan secara terbuka dan transparan kepada publik," katanya.
Di dalam investigasinya jelas dia, Komisi Penyelidik menemukan bahwa, senior supervisor PTTEP Australasia Noel Tresurer mengakui dirinya salah menghitung volume/konten semen yang dimasukkan kedalam sumur minyak itu sebelum meledak,yang mengakibatkan ledakan di Blok West Atlas.

Sementara itu manajer sumur minyak yang bertanggungjawab atas pekerjaan di Blok West Atlas Donald Millar mengakui telah lalai dan kurang tekun melakukan pengontrolan dalam pekerjaan itu serta tidak mengelak bahwa dirinya kurang memiliki keahlian yang cukup untuk melakukan pekerjaan itu. ”Seharusnya saya sudah dapat melihat kesalahan itu dan mengantisipasinya minimal 6 minggu sebelum terjadinya ledakan tersebut”,kata Noel Tresurer dan Donald Millar yang dikutip Ketua YPTB Ferdi Tanoni dari hasil investigasi Komisi Penyelidik Australia.

Ia menambahkan, pemerintah Federal Australia didesak mantan agen imigrasi Keduataan Besar Australia ini agar tidak membuat berbagai alasan untuk perlambat umumkan hasil investigasi Komisi Penyelidik Australia dengan tujuan-tujuan tertentu.

Pemerintah Australia kata dia, harus mengakui bahwa ledakan sumur minyak di Blok West Atlas bukan hanya sebagai sebuah kelalain yang dilakukan akan tetapi merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap lingkungan dan kemanusiaan yang harus dituntut secara perdata dan pidana terhadap pelakunya atau yang bertanggungjawab.

Penulis buku Skandal laut Timor,Sebuah barter Politik Ekonomi Canberra Jakarta ini juga meminta Presiden Susilo bambang Yudhoyono untuk memerintahkan Menlu Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhamad Hatta untuk segera mendapatkan hasil investigasi Komisi Penyelidik Australia secara lengkap dari Pemerintah Australia. Sebab jelas dia, yang paling dirugikan dalam bencana Montara ini adalah Indonesia.

Terlebih lagi sejak bencana Montara ini terjadi selama 10 bulan perusahaan yang bertanggungjawab yakni PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia tidak pernah menunjukkan kepeduliannya dalam mengantisipasi meluasnya ribuan barel minyak mentah,gas,condensat,zat timah hitam dan bubuk kimia berbahaya “dispersant” di perairan Indonesia.

Bila dibandingkan dengan ledakan sumur minyak di teluk Mexico,Presiden AS Barrack Obama langsung menuntut British Petroleum untuk membayar ganti rugi minimal 20 miliar dolar AS (190 triliun rupiah) dan diharuskan membersihkan tumpahan minyak dan memulihkan kembali berbagai kerusakan yang terjadi di laut.Bahkan Barrack Obama samakan ledakan sumur minyak di teluk Mexico lebih dahsyat dari kasus ledakan World Trade Centre 11 September 2000 lalu.Bahkan ia langsung mengeluarkan moratorium terhadap pengeboran minyak laut dalam.

Pernyataan Barrack Obama ini sangatlah tepat,sebab akibat dari tumpahan minyak yang terjadi itu telah mematikan puluhan ribu orang yang menggantungkan nasibnya di laut serta kerusakan alam yang maha dahsyat terjadi. "Sama halnya dengan bencana Montara di Laut Timor telah pula mengorbankan puluhan ribu orang Indonesia di Timor Barat,Rote Ndao,Sabu,Alor,Sumba,Flores dan Lembata yang menggantungkan nasibnya di Laut serta seluruh masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang mengkonsumsi ikan dan biota laut lain," pungkasnya. (sam/vit)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40221

Minggu, 13 Juni 2010

Pertahankan ADIPURA, Proviciat KGC

Tropy Adipura, sebagai bukti pengakuan pemerintah pusat mengenai kesuksesan kita memperbaiki lingkungan hidup kategori kota sedang, Minggu (13/6) siang kemarin tiba di Kupang.
Tropy itu dibawa oleh Walikota Daniel Adoe, dan baru tiba siang kemarin dengan pesawat Mandala dari Jakarta. Sejumlah unsur nampak menjemput walikota beserta tropy itu, yakni Kapolda Brigjen Pol Yorry Yance Worang, Kapolresta AKBP Bambang Sugiyanto, Dandim Kupang, Sekkot, Habde Adrianus Dami, serta ratusan pejabat dan pegawai.

Dengan penuh rasa bangga, Walikota Daniel Adoe, Wawali Daniel Hurek, didampingi Kapolresta AKBP Bambang Sugiyanto, Dandim 1604 Kupang, unsur kepanitiaan Kupang Green and Clean (KGC) dari Harian Pagi Timor Express, menggelar pawai keliling Kota Kupang. Rute konvoi itu melalui sejumlah jalur, yakni jalan protokol hingga ke dalam kota. Warga pun menyambutnya dengan penuh antusias.

Konvoi itu sangat meriah, karena diikuti oleh kampir seluruh pimpinan unit/instansi, camat dan lurah serta pegawai se-Kota Kupang. Tiga buah mobil jeep, berada di barisan depan, membawakan tiga tropy Adipura yang diraih tiga tahun berturut-turut, yakni tahun 2008, 2009 dan 2010. Uniknya lagi, ketiga tropy itu dipegang oleh enam orang anggota pasukan kuning, yang sudah berjerih lelah membersihkan sampah dalam kota, di waktu subuh maupun petang.

Konvoi itu berakhir di lapangan upacara kantor Walikota Kupang. Di sana, dilakukanlah syukuran, dengan melibatkan seluruh unsur, hingga berlangsung petang harinya. Dalam sambutannya, Walikota Daniel Adoe, menegaskan bahwa keberhasilan Kota Kupang meraih tropy Adipura dikarenakan jerih lelah masyarakat kota, yang dimotivasi berbagai program, termasuk KGC yang sudah dua tahun berturut-turut dilaksanakan di Kota Kupang. Program ini digagas oleh Timor Express, dan dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Pemerintah Kota Kupang.

"Saya berterima kasih atas partisipasi masyarakat, terutama dalam mendukung program Kupang Green and Clean. Seluruh unsur yang sudah berjerih lelah selama ini, baik itu unsur pemerintah, TNI maupun Polri, serta seluruh unsur panitia KGC, saya sangat berterima kasih. Ini hasil jerih lelah anda,"tegasnya disambut tepukan tangan seluruh yang hadir.

Ada alasan, mengapa pihaknya justeru menyerahkan tropy itu ke petugas keebrsihan, untuk mengusungnya keliling kota, karena ia ingin agar merekalah yang ditonjolkan. "Mereka yang berkeringat, biar mereka yang bawa. Saya tidak mau bawa (tropy dalam konvoi), biar mereka saja,"ungkapnya.

Dikatakannya, walau Kota Kupang sudah tiga tahun berturut-turut memperoleh tropy tersebut, namun bukannya terlena, melainkan harus lebih bersungguh-sungguh lagi. Karena, kedepan penilaiannya bakalan lebih berat lagi. "Tahun ini penilaiannya berat, namun kita berhasil lewati. Tahun depan, pasti akan lebih berat lagi penilaiannya, dan kita harus berhasil. Kita harus mempertahankan tropy ini,"ujar Walikota sembari meminta dukungan dari seluruh komponen Pemkot Kupang, untuk memelihara lingkungan.

Dan, dengan diterimanya tropy tersebut, diharapkan masyarakat kota ini kian hari kian berubah perilakunya dari yang sebelumnya kurang memperhatikan lingkungan, menjadi profil yang memperhatikan dan memperbaiki mutu pengelolaan lingkungan.

"Kita berharap agar masyarakat lebihs adar. Tak habis-habisnya saya berterima kasih kepada seluruh masyarakat Kota Kupang,"tegas Daniel lagi. Sementara, ketika press conference di ruang garuda lantai dua balaikota, Walikota Daniel menegaskan, tropy ini sejatinya menjadi motivasi kedepan, untuk berbuat lebih baik lagi, tidak saja pada sekadar memperoleh penghargaan, melainkan lebih dari itu.

Masih menurutnya, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dalam arahannya ketika menyerahkan Adipura, 8 Juni kemarin di istana negara, menegaskan kepada daerah peraih Adipura agar kedepan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk perbaikan lingkungan.

Dalam press conference itu, walikota pun berbicara mengenai kebiasaan warga dalam membakar rumput kering. Untuk hal itu, pihak Pemkot sudah merekrut sejumlah tenaga kontrak, yang berdomosili di dekat lokasi-lokasi yang gampang dibakar, serta lokasi penghijauan di jalur 40. Mereka bertugas merawat dan memelihara tanaman yang sudah ditanam, agar tidak mati. Pemkot juga, tahun ini akan membeli dua unit mobil tangki air, khusus untuk penghijauan dalam kota.

Yeheskiel Lanoe, selaku ketua Dewan Evaluasi Kota (DEK), kemarin, mewakili masyarakat, di sela-sela syukuran Adipura, menegaskan bahwa pihaknya sangat bangga, karena jerih lelah warga selama ini tidak sia-sia. Karena itu, kedepan kita semua harus berusaha untuk mencapai hasil yang terbaik.

Jenaben dan Alfred Selan, dua orang petugas kebersihan, yang dipercaya kemarin mengusung tropy Adipura, kepada koran ini, menegaskan bahwa sebagai ujung tombak di lapangan, mereka melayani sesuai dengan keterpanggilan nurani, serta tuntutan pekerjaan. Atas diperolehnya penghargaan tersebut, ia berharap agar kedepan semua komponen bekerja keras, agar tropy itu bisa dipertahankan. (boy)

Sumber:http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40145

Cagar Alam Mutis Terkurung dalam Isolasi


Awal tahun 2000-an, kawasan Cagar Alam Mutis sering dikunjungi pelancong domestik. Tahun 2003 bahkan tercatat ratusan warga asal Kota Kupang yang menggunakan sekitar 50 mobil berkemah selama dua hari untuk menikmati kesejukan hutan sekaligus menyaksikan kawasan yang kaya keanekaragaman hayatinya. Namun, kini, kawasan ini terkurung dalam isolasi.

Kawasan Mutis seharusnya tidak sekadar daerah cagar alam, tetapi juga layak menjadi obyek wisata alam karena berbagai keunikan yang dimilikinya. Namun, kawasan yang merupakan hulu daerah aliran Sungai Noelmina dan Benanain itu—dua DAS paling besar di Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT)—tidak teragendakan sebagai obyek pelancongan.

"Kawasan hutan Mutis menjadi obyek wisata itu sudah menjadi cerita masa lalu. Kawasan Mutis sekarang telah menjadi wilayah tertutup karena jaringan jalannya sejak 6 hingga 7 tahun lalu tak pernah diperbaiki," keluh Kepala Desa Nenas Uria Kore di Nenas, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Nenas dan Nuapin adalah dua desa dalam kawasan Cagar Alam Mutis.

Secara administratif, kawasan Cagar Alam Mutis berada dalam wilayah Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS, dan Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Gunung Mutis setinggi 2.427 meter dari permukaan laut. Kawasan itu sejak turun-temurun merupakan kawasan hutan adat masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 631/Kpts/Um/10/1974, kawasan itu berubah statusnya menjadi hutan negara, meliputi kelompok hutan Nasikonis, Nasinail, Kolabe, Fenutunan, Tanas Foekale, dan kelompok hutan Tambu.

Sembilan tahun kemudian (1983), berdasarkan SK Menhut No 89/Kpts/II/1983, statusnya kembali berubah menjadi cagar alam untuk kawasan seluas 12.000 hektar dan hutan lindung Timau seluas 78.000 ha.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian, kawasan itu memang dikenal kaya dengan aneka ragam hayati, di antaranya tumbuhan endemik 38 jenis, burung 32 jenis—termasuk burung endemik Timor 6 jenis dan endemik Indonesia 13 jenis. Lainnya, tanaman obat 6 jenis serta berbagai vegetasi hutan tropika basah pegunungan, seperti ampupu dan kayu putih.

Ampupu (Eucalyptus urophylla) adalah jenis tumbuhan paling dominan di kawasan itu. Selain ampupu, juga tumbuh jenis pohon yang disebut liuboko (Podocarpus amara), tune (Podocarpus imbriatus), hau pio (Podocarpus rumphii), hue (Eucalyptus alba), dan ajaob (Casuarina junghuhniana).

Dijumpai pula beberapa jenis mamalia, seperti babi hutan (Sus sp), kuskus (Phalanger orientalis), rusa (Cervus timorensis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), landak (Nystrix sp), kalong (Mega chiroptera), kelelawar (Micro chiroptera), dan anjing hutan (Canis familaris). Juga hidup reptil, seperti ular sanca (Phyton timorensis). Selain itu, ada beberapa jenis satwa kelompok Alves, seperti srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), ayam hutan (Gallus gallus), dara hitam (Ducula rosaceae), gagak kampung (Corvus macrorymchos), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), walet sapi (Collocalia esculenta), dan burung hantu (Tyto alba).

Selain kaya aneka ragam hayati, Mutis dikenal sebagai daerah paling basah di Timor dengan tujuh bulan hujan dan lima bulan lainnya kering. Sepanjang November hingga Maret selalu dilanda angin kencang disertai hujan lebat sehingga tak jarang mendatangkan bencana, seperti tanah longsor, rumah roboh, atau gagal panen.

Ketika mengunjungi kawasan Mutis, beberapa pekan lalu, tampak tegakan pohon yang rata-rata berbalut lumut sebagai pertanda sudah berusia tua. Di beberapa bagian kawasan dengan tegakan padat, pohon tumbuh rindang dan menjulang hingga lebih dari 30-an meter.

Ada pula bagian kawasan dengan tegakan agak jarang sehingga pohon-pohonnya tumbuh rimbun karena tak kekurangan sinar matahari.

Ketika memasuki kawasan, guncangan kendaraan menerobos jalan berbatu dan berlubang sedikit terobati oleh sejuknya udara dari rimbunan pohon ampupu dan berbagai jenis tegakan lainnya. Sesekali ditemui kelompok warga yang masuk kawasan hutan sekadar mengumpulkan dahan dan ranting kering untuk kayu bakar. Tak jarang juga terlihat kawanan sapi yang leluasa memburu hijauan dalam kawasan.

"Kawasan ini sebenarnya sangat berpotensi menjadi obyek wisata andalan TTS bahkan NTT jika didukung jaringan jalan yang memadai. Setidaknya, sembilan desa di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Mutis sejak awal tahun 2000-an merasa terabaikan karena jaringan jalannya hancur," ujar Edy Oematan, pejabat Pemda TTS asal Nenas.

Tanjakan punggung kuda

Desa Nenas—desa yang berada dalam kawasan Cagar Alam Mutis—berjarak sekitar 180 km dari Kota Kupang. Jika dari Soe, Kota Kabupaten TTS, jaraknya hingga Nenas lebih-kurang 67 km. Namun, perjalanan dengan mobil hingga Nenas ternyata membutuhkan waktu cukup sekitar enam jam. Jaringan jalan terakhir ini adalah bagian dari jalan provinsi sehingga urusan perbaikan atau peningkatannya di luar tanggung jawab Pemkab TTS.

Perjalanan lanjutan dari Soe sungguh menuntut fisik prima. Kendaraan yang digunakan pun harus kendaraan bergardan ganda yang khusus dirancang untuk menerobos medan yang berat.

"Sudah sejak lama angkutan pedesaan Soe-Nenas hanya mengandalkan truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang. Selain truk, hanya jip Hardtop atau kendaraan bergandan ganda yang mampu melintas melalui jaringan jalan ini," tutur Arid Sunbanu (48), pengemudi mobil yang kami tumpangi untuk perjalanan lanjutkan tersebut.

Perjalanan Soe-Nenas masih berupa lintasan beraspal hingga Pasar Kapan yang berjarak sekitar 20 km. Selanjutnya adalah jaringan jalan yang hanya berlapis batu, berlubang-lubang, disertai tikungan dan tanjakan tajam.

Ketika melintasi tanjakan tajam dalam kawasan hutan, sekitar 7 km dari Nenas, karena pengemudi salah mengambil ancang-ancang, sebuah truk penumpang bahkan terpaksa merangkak mundur karena tak mampu menempuh separuh tanjakan tersisa.

"Kami para pengemudi yang biasa melintas di daerah ini sudah tahu kalau harus mengambil jarak aman bila sedang menyusul truk atau kendaraan lain di depan," tutur Arid Sunbanu sesaat setelah memastikan posisi mobilnya tidak terganggu oleh manuver truk di depannya. Ia baru melanjutkan perjalanan setelah truk itu berhasil melewati tanjakan.

Ancaman lainnya adalah posisi beberapa puncak tanjakan yang mirip punggung kuda. Kondisi itu rawan tabrakan karena pandangan pengemudi terhalang untuk lebih awal mengetahui kendaraan lain dari arah berlawanan.

Bagi TTS, Cagar Alam Mutis tidak sekadar berpotensi menjadi obyek wisata andalan atau pusat studi khusus kehutanan. Kawasan sekitarnya juga merupakan sentra peternakan sapi dan berbagai jenis hasil pertanian. Seperti diakui Edy Oematan, potensi itu tidak akan memiliki daya dongkrak signifikan terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya jika kawasan tersebut tidak terhubungkan dengan jaringan jalan yang memadai.(FRANS SARONG)

Sumber:http://sains.kompas.com/read/2010/06/14/09503231/Cagar.Alam.Mutis.Terkurung.dalam.Isolasi-5

Kamis, 10 Juni 2010

Problematika Pendidikan Indonesia

OLeh: Meksianis Zadrak Ndii

Dosen FST Undana, Postgraduate Student at The Australian National University (ANU)

Tahun ajaran baru segera dimulai. Kesibukan sekolah akan meningkat seiring akan adanya penerimaan siswa baru. Orang tua pun harus memastikan kecukupan dana untuk menyekolahkan anaknya.

Belakangan biaya pendidikan di Indonesia semakin menjadi-jadi. Pendidikan hampir tak dapat lagi diakses oleh semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Pihak sekolah pun memunculkan berbagai istilah-istilah menyangkut pembiayaan pendidikan. Ada uang meja bangku, uang masuk, uang raport, uang pakaian dan masih banyak lagi istilah-istilah menarik lainnya yang dipakai untuk mengakali para orang tua siswa. Ini juga terkadang dikuatkan dengan suatu aturan yang mengikat. Semisal, bagi siswa yang tidak membayar uang meja bangku tak diterima atau dikeluarkan dari sekolah tersebut.

Praktek-praktek semacam ini bukan rahasia lagi. Ini rupanya telah menjadi kebiasaan yang mau tidak mau harus diikuti. Orang tua pun terjebak dalam pilihan yang serba sulit. Disatu sisi ketiadaan dana yang cukup untuk memenuhi tuntutan biaya pendidikan yang semakin mahal, disisi lain mereka juga menginginkan anaknya dapat melanjutkan pendidikan.

Tampaknya, pendidikan sudah menjadi industri menjanjikan. Mungkin ini adalah alasan mengapa pemerintah mendukung dan mengizinkan berdirinya berbagai macam model atau tipe sekolah seperti sekolah berstandar internasional. Namun, pada saat bersamaan, sekolah-sekolah dipelosok tak pernah distandarkan, fasilitas pendidikan, guru tidak pernah distandarkan.

UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan belum ditepati. Ini tampak jelas bahwa banyak anak usia sekolah yang belum mendapatkan kesempatan pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan suatu bangsa. Karenanya, lewat pendidikan para kaum miskin dapat memperbaiki taraf hidupnya.

Disayangkan, praktek-praktek seperti ini tak mendapat tindakan tegas. Ini dibiarkan saja. Sekolah-sekolah berlabel negeri juga melakukan hal yang sama. Praktek semacam ini tak pernah ditindak.

"Berdagang Pendidikan"
Berdagang pendidikan mensyaratkan pedagang dan pembeli. Keduanya harus memiliki kapital/modal. Ketika pendidikan dijual oleh penyelenggara pendidikan kepada rakyat, maka kaum berduit yang dapat membelinya. Sebaliknya, kaum miskin tidak sanggup membelinya.
Pemilik modal sekolah negeri adalah pemerintah. Modal ini sebenarnya diperoleh dari rakyat. Berdasarkan fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa rakyat adalah pemilik modal pendidikan

Jika rakyat adalah pemilik modal, maka seharusnya rakyat secara leluasa menikmati pendidikan. Dan memang ini juga telah diatur dalam UUD 1945 bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa praktek-praktek semacam pungutan uang meja bangku, perpisahan, uang masuk, uang rapor dan lain sebagainya, yang telah menyengsarakan rakyat tak pernah ditindak? Apakah ada aturan jelas yang mengatur itu?

Kedua, tak ada tindakan tegas dari pemerintah mengindikasikan ketidak pedulian kepada rakyat. Rakyat sebagai pemilik modal telah ditipu dengan berbagai kebijakan-kebijakan menyesatkan yang sering dilakukan oleh pihak sekolah. Rakyat tidak dilindungi oleh negara. Negara mengorbankan rakyatnya

Keraguan
Kenyataan bahwa praktek-pratek yang tidak wajar terjadi di sekolah negeri yang akhirnya menyusahakan rakyat adalah bukti bahwa pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis. Ketiadaan tindakan tegas akan memuluskan jalan dan meluaskan praktek-praktek tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan tidak ada monitoring terhadap penggunaan dana-dana hasil pungutan tersebut. Ini memungkinkan terjadinya manipulasi. Pada akhirnya, pendidikan yang memiliki peran sentral dalam pembangunan suatu bangsa akan terus dipertanyakan. Institusi pendidikan akhirnya menjadi tempat belajar yang tak layak sebab praktek memalukan tampak jelas didepan siswa.

Upaya pembangunan pendidikan tidak akan berarti apabila membiarkan anak-anak kaum miskin terbelenggu dalam kebodohan. Jika demikian maka kelompok masyarakat berduit akan menjadi kelompok terpelajar sedangkan kaum miskin akan menjadi kelompok manusia tidak terpelajar yang akan terus terkungkung dalam kebodohan. Akibatnya kelompok masyarakat miskin akan terus berada dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Jadi, pendidikan gagal menawarkan solusi perbaikan bagi kaum miskin.

Upaya Penyelesaian
Persoalan yang jelas nampak ini perlu diantisipasi. Ketidakpedulian npemerintah terhadapa masalah ini dapat diantisipasi dengan menghidupkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka sebagai warga negara. Ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat peduli pendidikan yang terus mengontrol penyelengaraan pendidikan. Selain itu, perlu diadakan kegiatan-kegiatan penyuluhan atau kegiatan semacamnya yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat. Kritik dan kontrol publik memiliki kekuatan yang besar. Media massa juga berperan penting dalam hal ini.

Kesadaran akan hak-hak mereka terhadap pendidikan akan menciptakan daya kritis masyarakat. Karenanya, mendidik masyarakat agar mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai warga negara khususnya dibidang pendidikan sangatlah penting. Komunitas-komunitas peduli pendidikan, media massa memegang peranan penting dalam proses ini.

Setidaknya, ketika masyarakat menjadi paham, mereka akan bertindak tegas ketika berhadapan dengan ketidakadilan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan. Jika tidak, selamanya kita akan menjadi bangsa yang tertinggal.

Dikutip dari Timex, 11 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan


Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti ”rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan.

Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri.

SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka. Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga.

Di sanggar, Didit menjadi bapak. Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.

Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan perilaku.

”Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini.

Pendidikan perilaku hanya satu dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan.

”Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.

Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan praktis

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga.

Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual.

Lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan.

Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya.

Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya.

”Kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.

Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri.

”Jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit.

Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana.

”Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit.

SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang

Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. ”Kasih sayang,” kata kakek satu cucu ini.

Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat. Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan.

Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.

Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan.

Di balik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan. Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”.

Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit. Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.

Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.

Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan.

”Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit.

Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun lalu, Kompas bertemu Mu’ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun, kini Mu’ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.

Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyarakat.

Sumber:http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/09/09591229/Pendekar.Pendidikan.Anak.Jalanan-14

Masyarakat Tolak Pabrik Pemurnian Batu

Tokoh masyarakat Takari Kecamatan Takari menolak keberadaan pabrik pemurnian batu/galian golongan C milik PT Waskita Karya di Kelurahan Takari. Penolakan ini disampaikan 12 tokoh masyarakat Takari melalui surat yang dikirim kepada Bupati Kupang, Ayub Titu Eki.

Kepala Desa Oesusu Kecamatan Takari, Lewi ORL Bait ketika mendatangi redaksi Timor Express pekan lalu menegaskan, sehubungan dengan beroperasinya pabrik pemurnian bahan galian golongan C (mol batu) milik PT Waskita Karya di wilayah Kelurahan Takari sekira 10 tahun, aktivitas proyek tersebut banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar pabrik.

Dijelaskan, polusi udara yang ditimbulkan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat disekitar pabrik pemurnian menderita berbagai penyakit infeksi saluran pernapasan (ispa).

Selain itu jelasnya, tanaman masyarakat baik tanaman perkebunan maupun palawija/sayur-sayuran banyak yang rusak oleh karena tertutup material debu hasil pengolahan pabrik.
Karena itu, terang Lewi dalam surat yang dikirim kepada bupati Kupang, 12 orang tokoh masyarakat yang terdiri dari A Wellem, H Bisilisin, Benyamin Tanesib, J Natonis, Habel Mbate, Yerry Amalo, Pdt MHV Meko-Gaos, Jefri Ratu, Simeon Pinat, Yohanis Bait dan L Sabu meminta bupati Kupang agar tidak lagi menerbitkan surat izin pertambangan daerah (SIPD) bagi PT Waskita Karya khususnya untuk kegiatan pemurnian batu.

Mereka juga meminta keberadaan pabrik agar ditinjau kembali dan dipindahkan dari wilayah tersebut. Karena, wilayah tersebut sekarang ini telah dipadati oleh pemukiman penduduk dan lokasi pabrik berada ditengah-tengah pemukiman masyarakat.

Diminta juga agar Bapedalda Kabupaten Kupang untuk melakukan analisa dampak lingkungan (Amdal) terhadap aktivitas pabrik tersebut dan memerintahkan PT Waskita Karya untuk bertanggungjawab terhadap terganggunya kesehatan masyarakt. “Hal ini dapat dilihat atau disesuaikan dengan data kunjungan pengobatan masyarakat sekitar pabrik pada puskesmas Takari dan melakukan ganti rugi baik moril maupun materiil terhadap individu-individu masyarakat yang menderita penyakit akibat dari dampak buruk tersebut,” pintanya.

Lewi menyatakan kekesalannya karena tidak ada perhatian serius dari pemerintah dalam hal ini Bapedalda karena hingga kini, pabrik tersebut masih terus beroperasi. Padahal, sudah ada penolakan dari warga. Karennya, dia meminta ada keseriusan dari pemerintah untuk menangani masalah tersebut. Apalagi, sudah ada korban jiwa dalam masalah itu. (lok)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40061

KPK Prioritas Korupsi di NTT

Tingginya temuan penyimpangan keuangan negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ternyata sudah sampai ke lembaga superbody pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dugaan penyimpangan keuangan negara di NTT itu sampai ke KPK berdasarkan laporan sejumlah elemen masyarakat yang menemukan tingginya korupsi di provinsi yang masih didera kemiskinan ini.

Atas berbagai laporan publik itu, KPK telah menjadikan NTT sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang masuk konsentrasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Ada beberapa pengaduan korupsi yang terjadi di NTT yang dilaporkan ke KPK.

Hanya saya tidak bisa sampaikan detailnya, sebab ini telah menjadi konsentrasi khusus KPK untuk penyidikan, apalagi sejauh ini NTT menjadi salah satu provinsi yang belum KPK tangani," ungkap Kepala Biro (Karo) Humas KPK, Johan Budi S.P., saat ditemui Timor Express usai menjadi narasumber dalam kegiatan Workshop bertajuk "Meningkatkan Efektifitas UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Bagi Pemberantasan Korupsi" yang digelar Indonesian Corruption Watch (ICW) di Wisma Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jl. Teuku Umar, Jakarta, Senin (7/6).

Menurut Johan Budi, untuk pemberantasan korupsi, selaku Karo Humas KPK, dirinya mendengar secara langsung dari para komisioner KPK, bahwa kasus-kasus dugaan korupsi di NTT masuk prioritas kebijakan KPK. "Untuk semua provinsi di Indonesia pastilah akan ada satu dua kasus yang ditangani KPK. Tapi masalahnya situasi sekarang di KPK yang tak mendukung," kata Johan.

Yang dimaksudkan suasana tak mendukung oleh Johan Budi sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dua pimpinan KPK yang dipraperadilkan Anggodo Widjoyo gugatannya dikabulkan di Pengadilan Tinggi Jakarta, sehingga energi KPK terkuras untuk menyikapi berbagai hal ini.
Meski demikian, lanjut Johan, sudah menjadi tekad dan komitmen KPK untuk konsen menangani dugaan korupsi di NTT dalam tahun 2010 ini, walaupun tidak serta merta semua pengaduan yang masuk harus langsung disikapi dengan segera.

Johan Budi mengungkapkan, dari laporan-laporan masyarakat yang masuk ke KPK terkait dugaan korupsi di NTT, kebanyakan soal dugaan penyimpangan dana APBD di NTT. "Ia kebanyakan dugaan penyimpangan itu dana APBD," kata Johan menjawab
pertanyaan Timor Express kemarin.

Johan mengungkapkan, bukti bahwa KPK tetap berkomitmen untuk mengusut semua kasus-kasus korupsi di daerah yang merugikan negara, misalnya proses pengusutan dugaan kasus korupsi hingga ke Papua, Aceh dan daerah lainnya. "Jadi semua daerah pasti diperhatikan, namun perlu kesabaran karena SDM KPK terbatas sehingga harus melihat satu per satu," jelasnya.

Terpisah, peneliti yang juga pimpinan Indonesia Budget Centre (IBC), Roy Salam yang dimintai komentarnya terkait korupsi di NTT dan sikapnya terhadap komitmen KPK mengatakan, yang terpenting adalah KPK memberikan kepastian kepada publik bahwa NTT menjadi prioritas untuk pengananan berbagai dugaan korupsi.

Nah soal waktu/timing, IBC serahkan kepada KPK. Namun apa yang disampaikan publik ke KPK terkait dugaan korupsi, KPK harus merespon dan mewujudkan komitmennya itu kepada publik dengan memberantas dugaan korupsi itu hingga tuntas. "Ini agar aparat penegak hukum ditingkat bawah, misalnya kejaksaan tinggi NTT atau Polda NTT agar tidak main-main dengan proses hukum terhadap aparat pemerintah yang suka melakukan korupsi. Mestinya kedua lembaga penegakkan hukum ini bisa bersinergi dengan KPK untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi di NTT.

Ini harus bisa dipastikan," tandasnya. Menurut Roy, sejauh ini, IBC sudah melakukan berbagai upaya bekerjasama dengan Save NTT dalam melakukan pengawasan dugaan penyimpangan keuangan di NTT, dan diperoleh data bahwa hampir 70 persen dana yang ada di APBD NTT digunakan

untuk pembiayaan aparatur negara dibanding fokus untuk pembiayaan terhadap kepentingan masyarakat. "Hal-hal inilah yang harus diperbaiki oleh aparat birokrasi dan penegakkan hukum di NTT. Inilah yang dilakukan IBC bekerjasama dengan teman-teman di NTT untuk terus memperkuat data dan informasi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat," jelasnya.
Saat ditanya apakah IBC dan Indonesian Corruption Watch (ICW) sudah bekerjasama untuk menyampaikan laporan dugaan penyimpangan keuangan di NTT ke KPK?

"Mmemang, soal waktu belum dipastikan, namun koordinasi sudah jalan tinggal memantapkan agenda dan bertemu KPK untuk menyampaikan berbagai temuan-temuan tersebut," pungkas Roy.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Badan Pemeriksa Keungan (BPK) RI perwakilan NTT selama periode 2007 – 2009 menemukan penyimpangan keuangan di NTT yang menyebabkan negara rugi senilai Rp 76,45 miliar. Nilai kerugian sebesar ini ditemukan BPK pada 392 kasus penyimpangan dari hasil proses auditing.

Selain temuan BPK, IBC pimpinan Roy Salam, dalam diskusi bertajuk "Ironi Daerah Miskin Dengan Korupsi Tinggi" yang dilaksanakan ICW belum lama ini di Jakarta menyebutkan bahwa berdasarkan catatan BPK pada hasil audit APBD NTT tahun 2009 atas 20 dari 22 entitas se-NTT terungkap bahwa, dari 20 LKPD TA 2008 menunjukkan 19 dengan opini wajar dengan pengecualian (WDP) dan satu dengan opini tidak memberikan pendapat (TMP).

Hal tersebut, kata Roy, sedikit mengalami kemajuan dalam hal pencatatan/akuntasi APBD dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan catatan hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa sampai dengan akhir semester II T A 2009 terdapat 1.804 temuan pemeriksaan dengan sebanyak 3.305 rekomendasi sebesar Rp 5,29 triliun.

Sebanyak 1.568 rekomendasi telah ditindaklanjuti dengan nilai Rp 2,98 triliun. Dan sebanyak 437 rekomendasi sebesar Rp 252,93 miliar sedang dalam proses tindak lanjut. Sedangkan sisanya sebanyak 1.300 rekomendasi sebesar Rp 2,06 triliun belum ditindaklanjuti.

Adapun mengenai jumlah kasus dan nilai kerugian di lingkungan Pemda dan BUMD, sampai dengan akhir semester II tahun 2009, sebut Roy, terdapat 392 kasus kerugian senilai Rp 76,45 miliar.

Yang telah diselesaikan sebanyak 112 kasus dengan adanya pengembalian ke kas negara Rp 18,40 miliar. Sehingga masih terdapat 280 kasus kerugian dengan nilai Rp 58,08 miliar yang be1um diselesaikan.(aln/fmc)

Sumber:http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40035

Lima Kota di NTT Raih Adipura Mateus Bere dan Yohanes Ebo Raih Kalpataru

Lima kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sukses meraih Anugerah Adipura Tahun 2010 sebagai lambang kesuksesan dalam mendorong peningkatan kebersihan dan keteduhan kota. Lima kota itu adalah Kota Kupang, SoE (TTS), Atambua (Belu), Kalabahi (Alor), dan Maumere (Sikka).

Dari lima kota ini, Kota Kupang meraih trofi Adipura untuk kategori kota sedang, sedangkan empat lainnya untuk kategori kota kecil. Penyerahan trofi Adipura ini diserahkan langsung Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono disaksikan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, bertempat di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/6).

Acara yang digelar bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia itu dihadiri Menteri LH, Gusti Muhammad Hatta, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP & PA), Linda Amelia Sari Gumelar, serta sejumlah tamu perwakilan negara asing.

Selain anugerah Adipura, Presiden SBY juga menyerahkan Kalpataru kepada 12 orang/kelompok yang telah berperan dan berjasa dalam perjuangan menyelamatkan dan melestarikan lingkungan hidup. Diantara 12 individu/kelompok itu, dua orang berasal dari NTT, yakni Mateus Bere Bau, warga Desa Kewar, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu yang berhasil meraih Kalpataru kategori Perintis Lingkungan dan Yohanes Ebo, warga Kelurahan Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur sebagai peraih Kalpataru ketegori Pengabdi Lingkungan.

Tak hanya itu, satu-satunya SMA di NTT, yakni SMA Katolik Syuradikara Ende sukses meraih prestasi sebagai Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan sehingga berhak atas trofi Adiwiyata yang diserahkan langsung Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta di Flores Room, Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (8/6) siang.

Trofi ini diterima langsung Kepala Sekolah SMA Katolik Syuradikara Ende, Pater Kanis Bhila. Presiden SBY saat acara penyerahan trofi Adipura menyerukan kepada semua pihak agar menghentikan kebiasaan menebang dan membakar hutan. "Memang benar Indonesia masih harus memberantas kemiskinan, namun tidak dengan cara merusak lingkungan," katanya.
Karena itu, kepada seluruh pemimpin daerah penerima Adipura, SBY meminta untuk tetap menjaga amanah tersebut. "Semua kota penerima Adipura saya catat, jika ada yang kotanya menjadi rusak atau jorok, maka piala ini (Adipura) wajib untuk dicabut lagi," tandas SBY.

Terpisah, Menteri LH, Gusti Muhammad Hatta saat jumpa pers di Hotel Borobudur sebelum penyerahan piagam Adipura dan Adiwiyata kemarin mengatakan, tahun ini jumlah kota penerima Adipura meningkat 11 persen menjadi 140 kota dibanding tahun sebelumnya yang hanya 126 kota.

Menurut Gusti, peningkatan ini tak semata karena perjuangan untuk meraih Adipura, namun secara nyata sudah ada kesadaran daerah dan masyarakatnya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, termasuk upaya pengelolaan sampah menjadi benda bernilai ekonomis.

"Sedangkan untuk Program Adiwiyata, Dewan Pertimbangan Penghargaan Adiwiyata Tahun 2010 telah menetapkan 25 sekolah Adiwiyata Mandiri, 67 sekolah Adiwiyata dan 37 sekolah calon Adiwiyata," sebut Gusti.

Sementara itu, menjawab pertanyaan Timor Express untuk para peraih trofi Adipura, adakah semacam reward (penghargaan) dari KLH untuk kota yang secara berturut-turut meraih Adipura?

Menjawab ini Gusti Muhammad mengatakan, selama ini penghargaan itu belum ada, sehingga Gusti berjanji ke depan akan mempertimbangkan untuk memberi reward kepada mereka yang mampu mempertahankan trofi Adipura selama lima tahun berturut-turut. "Usulan ini positif dan kita akan mempertimbangkannya tahun depan termasuk rencana untuk merevisi aturan penilaian Adipura," ungkap Gusti.

Sebuah Kebanggaan

Prestasi yang diukir Kota Kupang untuk ketiga kalinya secara berturut-turut ini direspon positif Walikota Kupang, Daniel Adoe. Kepada Timor Express di Jakarta usai penyerahan trofi Adipura oleh Presiden SBY, Daniel Adoe mengaku bangga. Walau demikian, kata Daniel Adoe, kebanggaan ini menjadi sebuah tantangan dan juga motivasi tersendiri untuk terus berjuang mempertahankan prestasi ini.

Daniel Adoe yang saat itu didampingi Kepala Bagian Humas Pemkot Kupang, Noce Nus Loa mengatakan, prestasi yang diraih Kota Kupang ini tak semata kerja pemerintah, tapi kerja keras bersama seluruh elemen masyarakat Kota Kupang, pemuda, pelajar, mahasiswa, PNS, pegawai swasta, komunitas kerohanian, TNI/Polri, karang taruna, sekolah, perguruan tinggi, ibu rumah tangga, PKK, dan elemen masyarakat lainnya.

"Semua inilah yang berhasil menjadikan Kota Kupang meraih trofi Adipura," ungkap Daniel Adoe. Terkait dengan itu, Daniel Adoe berharap agar seluruh komponen masyarakat tetap berupaya meningkatkan kesadaran menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan, sehingga tidak saja prestasi ini dipertahankan namun lebih daripada itu tercipta lingkungan yang sehat dan lestari di Kota Kupang.

Untuk diketahui, peraih Kalpataru kategori perintis lingkungan yang diraih Mateus Bere Bau karena selama kurang lebih 35 tahun memotivasi masyarakat menanam dan memelihara pohon pada lahan kering dan berbatu, di daerah yang berbatasan langsung dengan Distrik Bobonaro, Negara Timor Leste. Mateus memulai aktifitasnya dengan membangun 35 hektar wanatani sebagai demplot, dan kini berhasil berkembang menjadi 160o hektar hutan rakyat.

Sebagai raja Kewar, Mateus menerapkan hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan kesuksesan Yohanes Ebo lantaran selama 24 tahun dia bekerja sebagai penyuluh pertanian dengan menggerakkan masyarakat menjaga kelestarian lingkungan baik secara formal maupun non formal. Strategi yang ditempuh adalah melalui pengembangan sekolah lapang pertanian terpadu, pembuatan pupuk bokhasi dan pestisida nabati, penghijauan lahan kritis, kajian teknologi lahan basah dan penyelamatan sumber mata air.(aln/fmc)

Sumber:http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40051

Senin, 07 Juni 2010

8 Ton Mangan Ditahan

Maraknya penambangan mangan saat ini di Kabupaten Belu kembali bermasalah. Saling serobot antarpengusaha di kawasan penambangan menjadi pemicunya.
Rabu (2/6) lalu, Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kabupaten Belu kembali mengamankan 8 ton mangan di kawasan penambangan mangan Ainiba Kecamatan Kakuluk Mesak.
Ironisnya, masalah saling serobot lahan bukan saja dilakukan para pengusaha mangan, namun antara Sat Pol PP dan aparat kepolisian pun ikut-ikutan saling 'merampas lahan' dalam penanganan.

Kasie Ops Sat Pol PP Kabupaten Belu, Yoseph Manuel Bau Willy yang diwawancarai Timor Express, Kamis (3/6) terkait diamankannya 8 ton mangan di depan kantor Sat Pol PP yang diangkut menggunakan sebuah truk fuso mengatakan, Sat Pol PP melakukan pengamanan setelah mendengar informasi adanya saling serobot kawasan penambangan antarpengusaha.
"Sat Pol PP bertindak sesuai dengan surat perintah bupati untuk mengamankan mangan-mangan bermasalah di Kabupaten Belu," jelas Yoseph.

Dikatakan, 8 ton mangan itu terpaksa diamankan, karena dua pengusaha mangan masing-masing, John Tanur dan Winarto terlibat saling serobot. "Dua pengusaha ini sudah bermasalah dua kali. Kali pertama sudah ada pernyataan untuk berdamai. Namun masalah yang sama masih terulang lagi, maka alangkah baiknya kalau mangan tersebut diamankan," ujar Yoseph.

Ketika ditanya terkait penyelesaian akhir dari mangan tersebut, Yoseph mengatakan, pihaknya telah melapor ke bupati melalui wakil bupati. "Kami langsung lapor wakil bupati dan dua pengusaha ini akan dipanggil untuk menyelesaikan masalah ini," terangnya.

Yoseph kepada Timor Express menjelaskan, Rabu malam lalu saat ia dan anggota Sat Pol PP yang lain kembali dari daearah operasi dari Ainiba, terjadi insiden 'adu mulut' dan nyaris berlanjut adu jotos antara Sat Pol PP dan Kapolsek Kakuluk Mesak di Pospol Ainiba.

Pemicunya jelas Yoseph, Pospol Ainiba sedang menahan mangan yang diangkut menggunakan sebuah truk dari daerah Ponu di Pospol Ainiba. Saat itu, jelas Yoseph, Sat Pol PP yang hendak mengecek mangan yang ditahan langsung dicegat oleh Kapolsek Kaluk Mesakh.

Kapolsek Kakuluk Mesak saat itu katanya, bersihkeras agar Sat Pol PP tidak campur tangan dengan penahanan mangan dari Ponu Kabupaten TTU. Karena pihak kepolisian masih bersihkeras, maka terjadilah pertengkarana antara Sat Pol PP dan Kapolsek Kakukul Mesak.

"Kami sempat bertengkar karena sesuai aturan yang berlaku di Kabupaten Belu, polisi bisa menahan mangan, namun harus melakukan koordinasi dengan Sat Pol PP untuk urusan selanjutnya. Karena sesuai dengan surat perintah bupati, hanya Sat Pol PP saja yang berhak menahan mangan-mangan yang bermasalah di Kabupaten Belu," terangnya.

Hingga saat ini, kata Yoseph, truk yang memuat mangan masih ditahan pihak kepolisian Kakuluk Mesak di Pospol Ainiba. Sementara, Wakapolres Belu, Kompol Simson Kolis BWK yang dikonfirmasi Timor Express, Minggu (6/6) terkait masalah penahanan mangan di Pospol Ainiba, mengatakan, pihaknya belum mendapat informasi terkait masalah tersebut.

"Saya akan konfirmasi ke Kapolsek Kakuluk Mesak terkait informasi ini," janji Simson. Informasi terkahir dari Kabag Ops Sat Pol PP Kabupaten Belu, Yose Manuel Bau Willy mengatakan, kedua pihak yang terlibat masalah penyerobotan KP telah menandatangani kesepakatan damai dengan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. (onq)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40022

Minggu, 06 Juni 2010

Enam Warga TTU Tewas Tertimbu Mangan

Yulius Nono,18 warga perkampungan Bakitolas Desa Motadik Kecamatan Biboki Anleu Kabupaten Timor Tengah Utara, Sabtu, 5/6 tewas tertimbun batu mangan. Pemuda desa itu ditemukan tewas dalam lubang sedalam kurang lebih dua meter di lokas tambang mangan Oekam Kelurahan Ponu.
Tewasnya Yulis menambah panjang daftar korban tewas tertimbun mangan di TTU. Sebelumnya sudah ada lima korban meninggal, masing-masing, seorang ibu hamil, Ny. Ida Radja Alunpah, Oktovianus Bani, Ny Adelfina Kaet dan Agustinus Sila dan Ny. Martha Lay Toto.

Artinya hingga kini sudah ada enam orang warga TTU yang meregang nyawa saat mencari mangan. Korban diduga meninggal akibat patah tulang belakang saat tertindis bongkahan mangan dalam lubang.

"Kami baru mau suntik infus, napasnya sudah putusjadi terpaksabuka kembali infusnya," ungkap salah seorang petugas Puskesmas Ponu saat ditemui Timor Express Sabtu (5/6) sore lalu.

Menurut sang petugas, dari hasil pemeriksaan visual korban mengalami patah tulang punggung. Selain korban Yulius Nono, sebelumnya petugas Puskesmas Ponu memastikan ada warga lain, yaitu Ny. Martha Lay Toto yang meninggal karena tertimbun mangan.

Dari dua korban tambang Mangan tersebut menurutnya kondisi paling parah dialami korban pertama. Sejumlah keluarga korban yaitu, Aloysius Sasi dan Alfons Taeki yang ditemui wartawan di ruang jenazah Puskesmas Ponu Sabtu sore lalu menjelaskan korban yang adalah warga Desa Motadik meninggal di wilayah tambang Mangan Kelurahan Ponu.

Menurut mereka ayah korban, Marselinus Nono sudah dua tahun menjalani perawatan di Puekesmas Ponu. "Mungkin dia (korban) mau gali mangan untuk mendapatkan uang guna membeli obat untuk bapaknya," ujar Alfons disamping jenazah korban.

Menurutnya, korban sudah lebih dari dua tahun menjadi penambang mangan secara manual untuk menghidupi kedua orangtuanya. Ibu kandung korban jelas Alfons juga sudah berumur.
Karena itu korban menjadi satu-satunya tumpuan harapan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Jenazah kami terpaksa semayamkan di rumah bapak kecilnya di Kampung Baru Ponu. Kalau kami bawa pulang ke Motadik juga disana tentu sulit dapat orang untuk urus tuntas masalah ini," ujar Alfons.

Senada dengan itu Aloysius Sasi membenarkan kondisi ekonomi keluarga korban. "Dia ini (korban) masih keluaga dekat saya dan saya tahu persis keadaan mereka,lebih baik jenazahnya kami bawa dan semayamkan di rumah saya saja," ungkapnya.(ogi)

Sumber:http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40014

Semangat Itu Tidak Menular?

Refleksi terhadap Himbauan Moral "Satu tekad satu tujuan, satu toko satu pohon"

Oleh: Theo Kosapilawan

Lingkungan adalah anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan dilestarikan agar tetap berkelanjutan demi masa depan generasi yang akan datang. Kita tentu tidak ingin mewariskan lingkungan yang gersang,rsak dan tercemar mengakibatkan penderitaan bagi anak, cucu serta generasi berikutnya.

Bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan dambaan semua orang karena merupakan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawah perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah Daerah, termasuk di bidang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Kota Kupang sebagai sebuah daerah otonom diharapkan dapat melaksanakan secara baik kewajiban-kewajiban yang dipersyaratkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada lima belas kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota, salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah kota adalah melestarikan Lingkungan sesuai pasal 22 butir (k) UU No. 32 tahun 2004, dengan demikian berbagai upaya telah dan akan terus dilakukan oleh Pemerintah untuk mempertahankan lingkungan dan kelestarian.

Pemanasan global yang terjadi saat ini merupakan akibat menurunnya kwalitas lingkungan hidup disebabkan tingginya aktifitas manusia melebihi ambang batas toleransi, penggunaan berbagai produk dari berbagai merek dan jenis ikut memicu terjadinya pemanasan global (global warming). Kwalitas lingkungan hidup yang semakin menurun membuat kekhawatiran terhadap masa depan generasi yang akan datang, dan oleh karena itu tanggungjawab semua orang untuk ikut menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Di sini membutuhkan komitmen moral yang tulus dalam diri setiap orang untuk mewujudkan impian sebuah lingkungan yang asri, seimbang, lestari dan berkelanjutan.

Beberapa waktu yang lalu pada penghujung bulan Oktober 2009 telah dilakukan upaya untuk menghijaukan pertokoan sekitar Kuanino dan Nunleu dengan maksud agar Kelurahan Kuanino dan Nunleu lingkungannya menjadi hijau dan sejuk karena ruas jalan tersebut memberikan akses lalulintas yang padat dan ramai namun tidak ramah lingkungan. Sangat disayangkan upaya tersebut tidak didukung oleh masyarakat pelaku usaha, bahkan ada tangan-tangan jahil ikut mencabut batang-batang pohon yang mudah tumbuh tersebut.

Kalau saja masyarakat sadar bahwa masalah lingkungan adalah tanggungjawab bersama, maka upaya yang dilakukan untuk menghijaukan wilayah pertokoan Kuanino dan Nunleu mendapat sambutan dan ikut menjaga, memelihara, namun ibarat membuang garam di laut, bahkan para pelaku usaha merasa bahwa merawat sebatang pohon di lingkungan tidak memberikan keuntungan secara ekonomi.

Ada saja alasan klasik yang dipertahankan jika pohon besar di sekitar toko akan mengundang pencuri, mungkin saja para pelaku usaha belum merasakan teriknya matahari karena berada di ruang AC, di jalan pun sejuk karena mobil yang digunakan full AC, namun mereka lupa bahwa jika lingkungan yang sejuk juga akan memberikan keuntungan karena pelanggan akan membeli barang dagangan mereka tanpa memikirkan teriknya panas matahari pada siang hari.

Kembali pada judul tulisan tentang "Semangat itu tidak menular", memang menjadi sebuah keprihatinan kita semua, bahwa seolah lingkungan dan permasalahan adalah tanggungjawab pemerintah, sementara para pelaku usaha dengan sadar maupun tidak sadar mengabaikan lingkungan hidup. Sampai dengan saat ini planet bumi yang tengah dihuni ini masih menjadi tumpuan satu-satunya makluk hidup termasuk manusia.

Belum ada planet lain yang menjadi target jangka menengah maupun jangka panjang manusia berpindah tempat dan beraktifitas dan oleh karena itu menjadi kewajiban moral setiap individu ikut menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, lingkungan hidup menjadi urusan wajib dan oleh karenanya pemerintah senantiasa memberikan arahan dan petunjuk teknis tentang pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan aktifitas dunia usaha yang semakin berkembang, namun kurang memperdulikan lingkungan dan kelestariannya.

Manusia seperti Angin yang Tak Dapat Dibaca

Seruan moral tentang satu tekad satu tujuan, satu toko satu pohon tampaknya tidak menggugah, ibarat syair lagu 'angin tak dapat membaca atau awan tak dapat berkata-kata', demikian juga lingkungan bisu yang tengah dihuni tidak dapat berkata-kata tentang apa yang tengah dirasakan. Jika bumi atau lingkungan dapat berkata, maka ia akan menyampaikan ungkapan kekesalan dan ancaman atau peringatan yang berbunyi: sampai hati, buah labu masih memiliki hati, tapi manusia tidak, tungggu bagianmu."

Aku bumi tempat hunianmu, tempat berlindung, dari kecil hingga besar, dari memiliki sedikit uang sampai memiliki banyak uang, dari tidak memiliki sesuatu, sampai memiliki sesuatu, dari memiliki bangunan satu lantai sampai lebih dari beberapa lantai, tetapi apa yang aku dapatkan, hanya memikul dan menampung kekayaan dan kejayaan semu semata. Tapi alam tidak mungkin tinggal diam, ia terus berproses dan hasil proses itulah yang akan kita rasakan, suhu udara yang panasnya sangat menyengat, banjir, kekeringan dan sebagainya.

Angin tak dapat membaca, tetapi manusia dapat membaca surat kabar, iklan bisnis yang sangat kecil terbaca dengan jelas, namun himbauan moral tentang peduli lingkungan dengan tulisan berukuran lebih besar sekalipun, dan sengaja ditempatkan pada tempat yang strategis dengan maksud untuk dibaca dan manjadi motivasi ternyata tidak terbaca atau sengaja karena beranggapan bahwa suhu udara yang panas adalah hal yang biasa dan bukan urusan.
Himbauan, reklame, pamflet dimaksudkan untuk mengingatkan, melaksanakan serta mewujudkan harapan dan keinginan. Harapan dan keinginan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yang terencana, terintegrasi, bersinergis untuk menghasilkan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan dan bermanfaat bagi orang banyak serta generasi yang akan datang.

Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup telah diperbaharui dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memberikan arahan yang jelas serta sangsi hukum yang tegas bagi pelanggar dan perusak lingkungan hidup, jika Undang-undang nomor 23 tahun 1997 hanya mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup, sehingga tidak dapat dipungkiri bila sumber daya alam dan lingkungan diekploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan banyak orang tetapi meninggalkan kerusakan lingkungan serta dampak yang menyengsarakan banyak orang pula (ingat lumpur Porong-Sidoardjo), sementara Undang-undang nomor 32 tahun 2009 lebih menitikberatkan pada perlindungan lingkungan hidup, keberpihakan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 terhadap lingkungan hidup sangatlah beralasan tentu berdasarkan fakta lapangan dan beberapa kajian yang memperkirakan bahwa naiknya suhu rata-rata udara di permukaan bumi akan terus bertambah (pemanasan global) sejalan dengan aktifitas manusia yang tidak memperdulikan lingkungan dan kelestarian serta keberlanjutannya. Mengantisipasi pemanasan global tersebut tidak saja mengandalkan peraturan perundang-perundangan tetapi berbagai diskusi, seminar, sosialisasi, iklan, himbauan moral tentang bagaimana memperlakukan lingkungan secara arif dan bijak.

Namun sampai sejaumana keberpihakan dan kepedulian memerlukan kesadaran semua pihak dan tanggungjawab bersama. Kegiatan KGC yang telah berlangsung dua tahun berturut-turut di Kota Kupang merupakan gerakan moral terhadap masalah lingkungan yaitu menghijaukan kota Kupang dan menjaga kebersihan lingkungan. Dengan semangat mengabdi yang tinggi tanpa pamrih para Lurah se-Kota Kupang dan jajaran menggerakan seluruh warga Kota Kupang beraksi untuk menanam pohon dan membersihkan lingkungan di wilayah masing-masing. Beberapa elemen masyarakat serta lembaga lain pun tidak tinggal diam.

Semua mengambil bagian dalam upaya menghijaukan Kota Kupang seperti yang terlihat pada ruas jalan El Tari I, II dan III di belakang Undana Penfui, maupun jalur 40 Kelurahan Fatukoa. Inilah yang dimaksud dengan "SEMANGAT ITU MENULAR", ibarat gayung bersambung semua tergugah, semua empati, semua merasa memiliki lingkungan, semua bertanggungjawab atas lingkungan dan keberlanjutannya. Himbauan moral tentang satu tekad satu tujuan, satu toko satu pohon, hendaknya diwujudkan sebagai bentuk tanggungjawab moral dan sebagai ganti untung terhadap lingkungan yang telah memberikan manfaat yang luar biasa bagi para pelaku usaha di wilayah Kelurahan Kuanino dan Nunleu, khususnya dan masyarakat Kota Kupang pada umumnya.

Himbauan moral sebenarnya sebuah gugahan pada nurani yang tertidur lelap di bawah sengatnya matahari sambil bermimpi tengah berada dalam rumah kaca tak berventilasi juga tak ber-AC. Ketika terbangun dari mimpi buruk tersebut, maka yang ada dalam benak pikiran adalah tidak ingin hal itu terjadi dan berjanji untuk ingin hidup dalam suasana yang ramah lingkungan dengan pepohonan yang hijau dan sejuk.

Tragedi Bersama

Masih segar dalam ingatan kita tentang semburan lumpur panas Porong-Sidoardjo, Jawa Timur, yang menenggelamkan beberapa desa bahkan kecamatan, akibat semburan gas yang menjamur. Peristiwa tersebut sampai saat ini tidak dapat diatasi. Jutaan meter kubik material keluar dari perut bumi. Hal ini berarti sedang terjadi kekosongan dalam perut bumi dan dikhwatirkan akan ada dampak lain selain kerugian material berupa harta benda maupun tanah hak milik warga tidak terpakai lagi.

Hal itu terjadi akibat perbuatan segelintir orang tetapi dirasakan secara bersama-sama oleh masyrakat dan pemerintah. Itulah tragedi bersama. Wilayah Kelurahan Kuanino dan Nunleu merupakan daerah pertokoan dan jika saja setiap pemilik toko relah menanam 1 pohon setinggi satu setengah meter, usia 2 tahun berdiameter 5 cm, 50 persen berpotensi hidup, tidak perlu diperhitungkan sebagi pengeluaran yang merugikan tetapi lebih diperhitungkan sebagai bentuk konpensasi dunia usaha terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutannya.

Jika semangat itu menular menembus kegersangan hati, kelak merubah gersangnya Kota Kupang menjadi satu-satunya kota sedang di Nusa Tenggara Timur yang memiliki lingkungan yang asri dan berseri dambaan semua orang. Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada kabinet bersatu, Rachmad Witular, pada kuliah umum di aula Undana Kupang, mengatakan bahwa bila semua orang menggunakan kemerdekaannya dan kesempatan yang ada untuk menggunakan dan memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas secara berlebihan, maka akan terjadi apa yang disebut "tragedi bersama" (the tragedy of the commons).

Sumber daya alam yang kita maksud antara lain pemanfaatan ruang secara bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Perda nomor 7 Tahun 2000 tentang Ruang Terbuka Hijau di Kota Kupang. Jika disimak secara baik, Perda tersebut mengabaikan penghijauan di daerah perdagangan sebagaimana kita temukan pada pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 8 tidak mengatur tentang kriteria vegetasi untuk kawasan perdagangan, sementara kita sangat membutuhkan pohon yang cukup di daerah perdagangan karena terjadi penumpukan arus kendaraan dan orang yang beraktifitas membutuhkan banyak suplai oksigen (O2) sebanyak-banyaknya untuk kesehatan.

Alternatif pilihan untuk mengurangi suhu udara yang menyengat adalah dengan cara menghijaukan wilayah perdagangan dan semua sudut kota dalam wilayah Kota Kupang.
Jika semangat itu menular, setiap individu memandang lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dan mengambil bagian dalam pengelolaan secara baik dan bertanggung jawab maka kita akan terhindar dari apa yang disebut sebagai tragedi bersama? (the tragedy of the Commons).

Yang dimaksud dengan tragedy bersama dalam konteks lingkungan hidup merupakan sebab akibat yang terjadi karena semua aktifitas manusia yang dilakukan tidak memperhitungkan daya tampung dan daya dukung lingkungan baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang,ketika lingkungan dieksploitasi secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab maka pada suatu ketika bumi atau lingkungan akan sampailah pada titik jenuh, pada titik jenuh itulah alam tidak lagi memberi toleransi kepada manusia sebagi pelaku perusakan dan pelaku Pencemaran lingkungan.

Kita tentu tidak inginkan terjadinya musibah tragedy bersama itu, tanpa diminta, tanpa diketahui tragedi itu muncul kemudian dengan begitu gampang kita memfonis bahwa peristiwa itu adalah sebuah takdir, atau adalah sebuah cobaan dari Tuhan pencipta alam semesta, dengan begitu menjadi bahan diskusi yang tidak habis-habisnya dibicarakan oleh banyak orang, kemudian muncullah berbagai ragam tanggapan dalam masyarakat apa sesungguhnya yang sedang terjadi.

Pemanasan Global bukan sekedar Isu, tetapi Semakin Nyata

Pemanasan global (global warming) saat ini sedang mengancam kehidupan makluk hidup di planet bumi dan gejala alam itu saat ini sudah terjadi dimana-mana membuat orang semakin cemas. Kecemasan hendaknya tidak perlu menjadi momok yang berkepanjagan tetapi perlu ada upaya mencari solusi untuk paling tidak meminimalisir hal yang paling menakutkan itu.

Agar tidak terjadi salah tafsir seolah-olah kegersangan di wilayah pertokoan Kuanino-Nunleu adalah penyebab terjadinya kenaikan suhu rata-rata melebihi ambang batas dan mengakibatkan penurunan kwalitas lingkungan hidup atau dengan kata lain jika wilayah tersebut berubah menjadi hijau dan sejuk dengan serta merta menghilangkan isu pemanasan global, tetapi jika semangat menghijaukan Kota Kupang juga dilakukan diwilayah pertokoan Kuanino adalah sesuatu yang memiliki nilai positif baik dari segi estetika lingkungan maupun dari sisi ekonomi juga sangat menunjang karena pelanggan merasa nyaman berbelanja di daerah yang sejuk dan menyenangkan bahkan wisatawan asing maupun domestik juga betah berlama-lama tinggal dikota Kupang berarti dunia parawisata juga mendapat keuntungan begitu juga para pelaku usaha lainnya ikut merasakan manfaat dari adanya wisatawan asing maupun domestik yang ada di Kota Kupang. S e m o g a.

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=39998