Kamis, 29 Juli 2010

Siapa yang Menanam, Memelihara dan Membersihkan dan Siapa yang Membakar? (Catatan Reflektif, Edukatif dan Solutif sebagai Dukungan bagi Suksesnya Prog

Oleh: David Natun, S.Pd
(Guru Mata pelajaran Geografi dan Sosiologi SMP Negeri 2 Kupang)

Syukur yang tak terhingga bagi Tuhan atas perkenanan-Nya maka kita masih diberi nafas kehidupan dan menghirup udara segar, sejuk dan membantu kita dalam proses pertukaran udara dalam tubuh lalu kita masih berkarya, berkarsa dan mencipta bagi diri dan bagi sesama khusus bagi saudara dan sahabat dalam Kota Kasih Kota Kupang tercinta.

Syukur berikut kita patut panjatkan pula karena Tuhan menetapkan dan mengutus Duo Dan untuk memimpin Kota Kupang lima tahun dan kemudian kita dipertemukan dengan sebuah ide yang cemerlang dalam rangka menciptakan Kota Kupang sebagai Kota yang Hijau dan bersih dan menciptakan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan lewat kerjasama Pemerintah Kota Kupang dengan harian pagi Timor Express dalam meluncurkan program Kupang Green and Clean ( KGC 2008 ) yang pada hari jumat 26-09-2008 lalu bertempat di Aula Sasando lantai III kantor Walikota Kupang.

Betapa indahnya ide pada awal kepemimpinan Duet Paket Dandan yang pada saat kampanye bersepakat ”Mendandani” Kota Kupang dan tentunya ini sebagai bukti kepedulian dan komitmen pada penghijauan lingkungan, kepedulian dan tekad yang besar dalam menciptakan lingkungan yang hijau dan bersih juga merupakan bagian dari tanggungjawab universal guna memperbaiki kualitas lingkungan serta menanggulangi pemanasan global melibatkan seluruh lapisan masyarakat Kota Kupang yang berada di 49 kelurahan dan bertujuan untuk menyadarkan dan membangun serta meningkatkan kepedulian warga Kota Kupang dalam menjaga lingkungan untuk peningkatan derajat kesehatan sesuai sambutan Bapak Walikota pada saat peluncuran tersebut.

Sebagai warga kota yang bertanggung jawab dan siap mensuksesakan program Kupang grean and clean tersebut saya selalu menyempatkan diri dalam setiap upaya dan aktifitas baik ide maupun tindakan nyata terkait dengan program ini. Karena itu saya mengamati dan memberi apresiasi berupa catatan pada program ini sebagai berikut :

1. Mari kita beri apresiasi atas cantiknya wajah kota lewat berbagai perubahan pada sudut-sudutnya. Dengan terpelihara dan tertatanya taman kota dengan sendirinya meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan, sehingga akan terlihat memiliki nilai estetika. Jika kedepan lingkungan kota kita sehat dengan taman kotanya tertata indah akan menambah daya tarik bagi wisatawan dan memberi kesan tersendiri kepada pengunjung dari daerah lain. Banyak tangan yang terlibat dalam menanam dan memelihara sejumlah pohon dan taman bunga yang tentunya memberikan kontribusi pada cantiknya wajah kota. Sepanjang jalur eltari dari depan toko hero sampai areal jalur belakang kampus undana kelurahan penfui, kelurahan lasiana terlihat sejumlah pohon ditanam, dipelihara dan bakal menjadi paru-paru Kota Kupang.

2. Kita juga tak lelah ketika harus antri di perempatan lampu merah walau matahari menyengat karena kini pandangan kita dibatasi oleh air mancur, taman bunga dan kebersihan lingkungan sekitar sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan pemerintah Kota Kupang khususnya dinas tata kota dan pertamanan yang tentu kian hari akan semakin menunjukan peran aktifnya dengan merubah wajah kota dan membuat lupa akan kota yang panas dan beralih ke kota yang sejuk dan penuh kenangan. Kelak semua tangan pada zaman ini akan dikenang karena jasanya merubah hawa kota dari panas menjadi hijau, sejuk dan nyaman. Lebih lagi tentu ada sejumlah tindakan sampai tingkat RT dengan komitmen one man one tree dengan kontribusi yang sinambung pada kesehatan lingkungan dan pencapaian visi lingkungan hujau dan udara sehat.

3. Jika kita berkesempatan berolahraga pagi pada beberapa jalur utama kota maka kita akan disuguhi pemandangan kagum atas keseriusan para pasukan kuning yang komit untuk selalu mempersiapkan pemandangan dan aroma kesejukan dengan menyapu jalanan, mengangkut sampah pada tempat pembuangan sementara bahkan kita akan melihat kendaraan roda empat bahkan roda tiga berkeliling membersihkan sisi kota dari jalan utama sampai gang buntu sekalipun. Ini bukan kerja yang tak patut mendapat apresiasi! Kita tentu bangga karena walau tanpa masker kita masih dapat berkendara roda dua menyusuri kota kasih tercinta.

4. Mari kita lihat catatan pada halaman media surat kabar yang terisi dengan berita kerjasama dan bahu membahu masyarakat dengan pemerintah sampai pada tingkat kelurahan dengan menentukan hari dan aktifitas pembersihan lingkungan dan penanaman tanaman sebagai bentuk kampanye dan penyadaran pada masyarakat akan pentingnya kesehatan dan penghijauan lingkungan, bahkan melibatkan sejumlah mahasiswa dalam program Kuliah Kerja Nyata di kelurahan di Kota Kupang.

Beberapa catatan diatas adalah bentuk apresiasi dan syukur atas ide cemerlang menuju suksesnya program Kupang hijau dan bersih. Namun sayangnya ada saja yang seperti tak kenal lelah pula dengan mempertontonkan tindakan tak terpuji dan kontra produktif bahkan seperti upaya sistematis tak berpengetahuan menjadikan diri penghalang bagi kesejukan dan masa depan lingkungan bagi anak cucu kita. Beberapa catatan ini diharapkan akan menjadi refleksi karena butuh upaya sistematis dan produktif pula dalam menyikapinya.

1. Kebiasaan membakar sampah dan rumput kering pada sudut-sudut kota masih menjadi santapan harian kita apalagi memasuki musim kemarau. Mulai dari lingkungan rumah tangga sampai pada jalur umum kota yang dapat saja berakibat fatal seiring angin kencang dan cuaca panas kota. Pada beberapa titik di jalur eltari tepat di bagian gudang sinar bangunan bahkan tanaman yang sudah mulai tumbuh subur ikut terbakar dan butuh waktu yang lama untuk merehabilitasinya.

Ada punggung bukit sasando, beberapa titik pada ruas jalan eltari, ujung jembatan Liliba, beberapa titik jalur penfui dan lasiana, bahkan gedung Dekranasda Kota Kupang hampir menjadi sasaran si jago merah. Dari manakah sumber api tersebut dan apa maksudnya membersihkan dengan api? Masih menjadi misteri. Menarik memang spanduk yang dipasang Jiwasraya di depan kantornya yang berbunyi mari menanam dan menyiram, Tuhan menumbuhkan. Banyak ajakan lain untuk menanam, memelihara dan merawat terlihat di setiap jalur jalan kota mulai dari tingkat propinsi, instansi pemerintah, swasta, BUMN, tapi rupanya si penggemar kebakaran ingin merubah isi ajakan dengan bunyi mari menanam, menyiram dan merawat, Tuhan yang akan menumbuhkan dan saya akan membakarnya. Sadis dan tradisionil memang perilaku si penggemar jago merah ini.

2. Suatu saat saya beriringan dengan sebuah mobil mewah dengan kilauan tanda bersih dan sangat terawatnya mobil tersebut lalu terlintas dibenak saya kalau si pemilik kendaraan tentunya adalah kaum yang sangat peduli akan kebersihan sebagaimana tercermin pada kilatan body mobilnya. Tapi betapa kaget saya ketika salah satu kaca mobil tersebut diturunkan kurang lebih 15 cm dan tanpa beban dikeluarkan sejumlah bekas kaleng minuman, tisu, bungkusan plastik lainnya.

Rupanya ia menganggap kota ini sebagai tempat sampahnya yang luas dan ia yakin esok akan ada pemulung yang memungut kalengnya dan sampah lainnya akan dibersihkan petugas kebersihan subuh nanti. Perilaku ini tentunya terekam di sekitar kita dengan pola dan cara yang sedikit berbeda tetapi dengan satu akibat yakni ada sampah di sembarang tempat, ada selokan yang harus tersumbat nanti, ada tanah yang akan menurun produktifitasnya karena sampah plastik yang bertebaran kemana saja. Ironis memang ditengah publikasi dan kampanye menjadikan Kota Kupang indah, bersih dan elok masih ada perilaku mereka yang tak mau tahu dengan orang lain. Mungkin mereka penganut paham ”EGP-isme (Emangnya Gue Pikirin?)”.

Dua fakta kecil ditas diatas membuat saya mengerutkan dahi, mengumpulkan referensi sembari menemukan sejumlah catatan yang kiranya patut kita lakukan sebagai upaya mensukseskan program KGC antara lain :

- Temukan dan gunakan cara-cara berkualitas dan kreatif menangani dan mengelola sampah (Contoh : daur ulang oleh kelompok kreatif binaan Dekranasda Kota Kupang) bahkan diupayakan menjadi kebiasaan/karakter sebagai bagian dari menghindari cara membakar sebagai satu-satunya pilihan. Mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis atau mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup. Metode daur ulang merupakan upaya pencegahan karena kita menggunaan kembali barang bekas pakai , memperbaiki barang yang rusak , mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali. Dalam pengelolaan sampah rumah tangga dengan benar dapat memberikan kontribusi terhadap penyelamatan lingkungan. Dapat dibayangkan kalau seluruh Rumah tangga dipermukaan bumi mampu mengelolah sampah dengan benar maka sumbangan polutan seperti CO (karbononoksida), SOx (Sulfur Oksida) yang berasal dari aktifitas domestik dapat dikurangi. Gas CO, SOx merupakan kelompok Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyelubungi atmosfer sehingga radiasi bumi tertahan dipermukaan bumi yang menyebabkan suhu bumi meningkat.

- Berikut pengkomposan adalah pilihan pengelolaan sampah kreatif dan bernilai yang sangat evektif. Material sampah organik , seperti zat tanaman , sisa makanan atau kertas , bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto Kanada, dimana sampah organik rumah tangga , seperti sampah dapur dan potongan tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk di komposkan.

- Sampah menjadi energi (Waste to energy). Ini tentu sebuah hal yang masih sangat langka dimengerti terjadi di Kota Kasih tercinta. Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara menjadikannya bahan bakar atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator.

Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan , dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat , gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif.

Gasifikasi dan gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan listrik dan uap. Nah jika Dewan Perwakilan Rakyat Kota Kupang dan sejumlah dinas terkait melakukan study banding terkait dengan mekanisme pengelolaan sampah menjadi energi dan digunakan bagi kebutuhan warga Kota Kupang tentu sangat terpuji ketimbang sejumlah BIMTEK yang kemudian tak berujung manfaatnya. Ini sekaligus merupakan alternatif pemenuhan energi bagi masyarakat ditengah mahalnya BBM, sering matinya listrik di ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur.

- Mari kita lihat referensi pengelolaan sampah di Bali : Program ini dilaksanakan oleh kelompok wanita PKK di Kutuh Kelod di Ubud, dengan dukungan melalui Yayasan IDEP berkat pendanaan dari Norwegian Student group. Bagaimana Program Sampah Berbasis Masyarakat ini bekerja. Sampai sekarang 160 wanita yang diorganisasi oleh ketua kelompok PKK mereka telah memisahkan sampah plastik dan kertas dirumah masing-masing. Secara rutin wanita-wanita ini membawa sampah daur ulang mereka ke sebuah tempat sampah yang dibangun dengan sumbangan dana dari kepala desa setempat. Ketua proyek, ketua kelompok PKK di desa, telah membuat perjanjian dengan pemulung untuk membeli sampah daur ulang dari kelompok ini. Pemulung ini kemudian membawanya ke depot pengumpulan sampah di Denpasar, yang kemudian dibersihkan dan diproses.

Dari sana sampah-sampah itu kemudian dijual lagi kepada pembeli yang mendaur ulang sampah-sampah tersebut di pabrik-pabrik di Jawa dan / atau menjualnya kepada pembeli dari luar negeri untuk dieksport. Suatu daerah dikatakan maju apabila tampak dalam kesadaran kolektif warganya untuk melakukan tindakan terpuji tanpa diawasi tetapi akibat pergeseran paradigmanya dari tradisional menuju ke modern. Mari kita sepakat memulainya sejak sekarang. Dapatkah kita laksanakan hal ini di kota kasih tercinta?

- Pada daerah yang berpotensi mengalami kebakaran untuk diperhatikan secara khusus dengan cara rutin membersihkannya agar tak ada peluang terjangkitnya api. Karena hutan dan Taman kota mempunyai fungsi yang banyak (multi fungsi ) baik berkaitan dengan fungsi hidrorologis, ekologi, kesehatan, estetika dan rekreasi. Prof.Dr.Ir.H. Sunturo Wongso Atmojo. MS, Dekan Fakultas Pertanian UNS. Solo dalam tulisannnya berjudul Menciptakan Taman Kota Berseri menerangkan bahwa untuk setiap hektar ruang terbuka hijau, mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Sehingga kekeringan sumur penduduk di musim kemarau dapat diatasi.

Sebagai contoh sekarang sedang digalakan pembuatan biopori di samping untuk dapat meningkatkan air hujan yang dapat tersimpan dalam tanah, juga akan memperbaiki kesuburan tanah. Taman yang penuh dengan pohon sebagai jantungnya paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Peran pepohonan yang tidak dapat digantikan pula adalah berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari.

Terkait dengan fungsi ekologis taman kota dapat berfungsi sebagai filter berbagai gas pencemar dan debu, pengikat karbon, pengatur iklim mikro. Pepohonan yang rimbun, dan rindang, yang terus-menerus menyerap dan mengolah gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), ozon (O3), nitrogendioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan timbal (Pb) yang merupakan 80 persen pencemar udara kota, menjadi oksigen segar yang siap dihirup warga setiap saat. Kita sadari pentingnya tanaman dan hutan sebagai paru-paru kota yang diharapkan dapat membantu menyaring dan menyerap polutan di udara, sehingga program penghijauan harus mulai digalakkan kembali.

Tanaman mampu menyerap CO2 hasil pernapasan, yang nantinya dari hasil metabolisme oleh tanaman akan mengelurakan O2 yang kita gunakan untuk bernafas. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Dengan tereduksinya polutan di udara maka masyarakat kota akan terhindar dari resiko yang berupa kemandulan, infeksi saluran pernapasan atas, stres, mual, muntah, pusing, kematian janin, keterbelakangan mental anak- anak, dan kanker kulit. Kota sehat, warga pun sehat.

- Perlu monitoring dan kampanye penyadaran lingkungan pada segala lini kehidupan masyarakat dan bila perlu sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan pada lingkungan sebagai bagian dari upaya meminimalisir terjadinya pengrusakan lingkungan, juga bagian dari upaya mengarus utamakan kepedulian dan kecintaan masyarakat pada kotanya lewat berbagai aktifitas yang pro pada lingkungan hidup. Jalur sekolah perlu di manfaatkan dengan tegas dan terencana. Mulai dari kepala sekolah, guru dan siswa serta unsur penunjang satuan pendidikan lainnya untuk komit pada model pendidikan berciri cinta lingkungan agar sejak dini terbentuk karakter yang cinta lingkungan dan selalu dirangsang untuk berkreasi bagi terciptanya lingkungan sehat dan berkualitas. Demikian pula jalur organisasi keagamaan dengan bangunan komitmen pengarus utamaan gerakan cinta lingkungan dalam segala aktifitas peribadatan. Jika dalam satu hari ada 10 jiwa yang disadarkan dan berlangsung terus menerus maka setiap bulan kita akan punya 30 jiwa dan setahun kita punya 360 jiwa yang dapat menjadi agen perubah paradigma menuju baiknya lingkungan kita bagi anak cucu.

- Perhatian serius terhadap kesuksesan program KGC adalah dengan alokasi anggaran yang memadai dan menyentuh langsung pada peningkatan kapasitas dan sejumlah kebutuhan riil yang menunjang pencapaian tujuan. Misalnya dengan pengadaan alat dan sejumlah kendaraan operasional, alat pengelolaan sampah, peningkatan kapasitas aparat dan pegiat lingkungan sampai pada wilayah pemerintahan terkecil, anggaran untuk pengelolaan persampahan, pemeliharaan ruang terbuka hijau dan program peningkatan sarana dan prasarana taman kota yang adalah program riil perlu diperhatikan ketimbang sejumlah anggaran yang bernuansa belanja tak langsung yang sifatnya tidak urgen dan tak penting.


Ini memang sebuah upaya sistematis dan kampanye serta ajakan bagi seluruh masyarakat untuk menanam, menjaga dan memelihara pohon dan juga menjaga kebersihan lingkungan sekitar sebagai upaya jangka panjang yang hasilnya akan dirasakan di masa depan oleh generasi berikutnya. Butuh keterlibatan, partisipasi aktif, konkrit, kreatif, dan bertanggung jawab semua warga dalam upaya mewujudkan visi tersebut diatas. Mari buat Kota Kupang lebe bae karena bae sonde bae Kota Kupang lebe bae, seiring dengan semboyan kota ”Lil Au Nol Dael Banan” Berarti Bangunlah Aku Dengan Tulus Hati.
Tuhan pemilik alam semesta menyertai dan memberkati kita semua yang peduli dan menjaga keutuhan ciptaan-Nya.

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40579

Minggu, 18 Juli 2010

RUSUNAWA BELUM DIMANFAATKAN



Rumah Susun Sederhana bagi Mahasiswa (Rusunawa) Universitas Nusa Cendana dengan luas bagunan 3.863 meter persegi berlantai 5 dengan 96 kamar ini belum dimanfaatkan. Tau kenapa e??? Mahasiswa bolom tinggal di itu Rusunawa jadi biar kambing pi tinggal tahan sa!!! Biar supaya gedungnya jangan tersinggung!!! Enak to??? Mantap to???

DI TEPI JALAN



Seorang penyandang cacat sedang duduk menanti uluran tangan para pengunjung Flobamora Mall. Ada yang ikhlas merogoh kantongnya namun ada juga yang melirik saja tak pernah.

ANAK GEROBAK



Seorang anak penawar jasa gerobak di Pasar Oeba, Kota Kupang sedang menanti para pembawa barang yang membutuhkan jasanya. Kuatnya lilitan ekonomi membuat seorang anak yang seharusnya menikmati sentuhan pendidikan di sekolah, terpaksa harus bergelut melawan kerasnya hidup

NTT Butuh Guru Berkualitas

Oleh: Damian Paskal Lelo

Mahasiswa Universitas Katolik Lisabon.



Nusa Tenggara Timur sangat terdepak kualitas pendidikannya untuk tahun ini. Hal ini tampak secara gamblang dalam hasil kelulusan yang sangat rendah. Berbicara tentang pendidikan tak terlepas dari dua subjek utama yaitu pendidik (guru) dan subjek didik (siswa). Guru adalah aktor kunci yang menyiapkan generasi muda, untuk membenah anak bangsa menghadapi tantangan zaman ke depan. Karena itu, guru berperan penting. Karena kesadaran akan peran penting guru ini, maka disahkan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, pada tanggal 16 Desember 2005. Undang-Undang ini mengakui kedudukan guru dan dosen sebagai satu profesi. Pengakuan dalam undang-undang ini bertujuan agar para guru dan dosen mengajar secara profesional demi meningkatkan mutu pendidikan.

Pengesahan dan kehadiran Undang-Undang ini belum tampak daya pengaruhnya bagi para guru untuk memberikan titik terang peningkatan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan masih diperbincangkan dan dipersoalkan bahkan dipertanyakan akhir-akhir ini di NTT secara khusus, dan di Indonésia secara umum. Harian ini menurunkan opini Gusti Hingmane yang berjudul Universitas, produksi ijazah atau kuailitas? (TIMEX, 12 Juli 2010), dalam nada skeptis hasil cetakan lulusan guru dari universitas.

Memperbincangkan, mempersoalkan, mempertanyakan menunjukkan adanya ketidakberesan. Linus Lusi dalam opininya yang berjudul ´Empat Masalah Guru` mengemukakan bahwa salah satu akar masalah keterpurukan mutu pendidikan NTT di taraf nasional terletak pada guru. Ada empat persoalan guru yang dikemukakannya yaitu guru terperangkap rutinitas, belum memaksimalkan berbagai teori belajar yang relevan, lemahnya komitmen guru, dan belum optimal kontak akademik.

Pendidikan selalu berkaitan dengan informasi dan formasi. Dan untuk saat ini, pendidikan berhadapan dengan globalisasi. Globalisasi adalah era informasi. Globalisasi membuka ruang bagi siapa saja untuk mengakses berbagai informasi. Perluasan akses informasi yang sangat terbuka tentang berbagai hal dalam beranekaragam aspek, sangat membantu proses pendidikan. Karena itu, peran guru dalam pendidikan bukan lagi sebagai pemindah pengetahuan ke dalam kepala para siswa, melainkan guru harus membentuk kompetensi berpikir para siswa untuk menilai pengetahuan atau informasi secara kritis untuk menggunakannya dalam konteksnya yang konkret.

Pendidikan harus berorientasi pada formasi kompetensi berpikir. Untuk itu perlu ada reformasi orientasi pendidikan. Reformasi orientasi pendidikan ini penting untuk menghadapi tuntutan zaman dan menjawabi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman bukan hanya butuh Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap pakai sebagai tenaga kerja, melainkan juga SDM yang memiliki kompetensi berpikir untuk mengolah pekerjaan.

Merujuk pada pengaruh dan tuntutan zaman ini, pendidikan harus berorientasi untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir. Pendidikan harus beralih orientasinya dari pemindahan informasi kepada formasi kompetensi berpikir.

Terhadap kenyataan ini, metode pengajaran guru-guru pun harus diformat ulang. Metode mentrasfer sejumlah informasi kepada siswa perlu diubah, dan guru harus memberi ruang dan mewadahi peserta didik untuk menemukan persoalan, mensintesis informasi dan menilainya dengan mencari solusi yang baru untuk menerapkan dalam realitasnya. Untuk itu, perlu guru yang berkualitas.

Pendidikan bermutu menjadi cita-cita bersama. Namun cita-cita itu menjadi hampa tanpa adanya guru berkualitas. Guru yang berkualitas adalah guru yang berkompetensi. Kompetensi adalah kemampuan, kesanggupan, kecakapan. Ada empat macam kompetensi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang no. 14 tahun 2005, pasal 10.1. Pertama, kompetensi pedagogik, yang berhubungan dengan kemampuan mengelolah pembelajaran.

Kedua, kompetensi kepribadian yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku dan tata etik guru. Ketiga, kompetensi sosial yang berkaitan dengan kemampuan berelasi antara guru dan guru, guru dan siswa, guru dan orang tua/wali dari siswa, guru dan masyarakat luas. Keempat, kompetensi profesional yaitu kemampuan penguasaan materi yang diajarkan.

Berdasarkan pasal ini, guru yang berkualitas-berkompetensi adalah guru yang serempak pendidik kreatif dan formador inovatif. Guru yang demikian tidak hanya membagikan pengetahuan, memasukan sejumlah informasi ke dalam otak siswa tetapi sekaligus menggugah daya berpikir siswa untuk secara bebas mengungkapkan ide kritis untuk menilai dan menentukan sikapnya sendiri. Karakter guru ini memberi ilmu bukan untuk dikunyah siswa sesaat demi memperoleh nilai dalam ujian, melainkan untuk dikunyah dan dicerna (diinternalisasi) dengan membuka mata para siswa terhadap kenyataan konkret.

Pendidikan bermutu ada, hanya kalau ada guru berkualitas yang kreatif dan inovatif, yang berkompetensi. Guru yang berkompetensi mengetahui apa yang harus ia ajarkan dan apa yang harus ia lakukan. Mengetahui apa yang harus ia ajarkan mendorongnya untuk selalu merajut benang merah dari materi yang diajarkan dengan konteks zaman. Dan mengetahui apa yang harus ia lakukan memacunya untuk mengarah dan membentuk mental-sikap para siswa untuk memilah secara tajam informasi/pengetahuan yang diajarkan.

Guru adalah sekaligus informan dan formador. Ia menghadirkan ide-ide baru dan segar, dan bersama para siswa menakar bobot dan mempertimbangkan untuk kelayakannya. Guru yang demikian tidak menjadi “kuasa” atas pengetahuan. Guru yang berkompetensi adalah guru yang berdialog.

Kompetensi guru yang berdialog ini - mengutip kata-kata Paul Budi Kleden, SVD - terungkap dalam kesetiaan mengajar yaitu kesedĂ­annya untuk terus-menerus memberikan ide-ide bagi para siswa serempak membuka ruang dialog dengan menggugah perhatian para siswa untuk menanggapi, menilainya. Kesetiaan di sini bukan konservasi ide.

Konservasi ide bermuara pada perlakuan peserta didik sebagai konsumen belaka yang siap menelan. Konservasi ide ini dapat melahirkan, oleh Whitehead disebut, inert ideias (ide-ide lembab) yaitu ide yang diterima tanpa dinilai secara kritis. Ide-ide lembab dapat melahirkan siswa pintar yang tidak kreatif dan inovatif. Siswa berada dalam status quo. Siswa yang lahir dari metode ini, susah mencari alternatif fair untuk mengolah masalah dan sulit untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.

Mutu pendidikan NTT terpuruk, NTT butuh guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas harus menjadi prioritas dan harus diperhatikan oleh organisasi profesi guru dan pemerintah. Karena pendidikan bermutu dapat tercapai tujuannya hanya kalau guru-guru berkualitas. Dan usaha yang penting untuk meningkatkan pendidikan bermutu untuk NTT saat ini adalah meningkatkan guru yang berkualitas melalui berbagai pelatihan dan pendidikan, serta terlebih penjernihan visi guru. Pengembangan kualitas guru juga sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan kualitas keguruan.

Karena itu, guru-guru perlu secara intensif diperkuat dalam pelatihan atau pendidikan guru untuk mengenal kapabilitas dan mengembangkan kualitas keguruannya.
Darling-Hammond, menyebutkan lima elemen kapabilitas yang harus dibangun guru-guru untuk mengembangkan kualitas keguruan. Pertama, konten pengetahuan yang diajarkan. Guru harus mampu mengembangkan dirinya dengan meningkatkan konten pengetahuan secara terus-menerus agar pengetahuan itu berkembang. Kedua, konseptualisasi.

Ia harus menerapkan konsep-konsep kreatifnya dalam pengajaran. Ketiga, kemampuan melaksanakan pembelajaran. Guru harus memilih pendekatan, model, metode, dan teknik pembelajaran yang tepat sesuai materi dan karakter siswa. Keempat, komunikasi interpersonal atau kompetensi sosial. Kelima, ego. Ia harus mengetahui diri dan bertanggung jawab terhadap tugas dan peserta didiknya. Ia harus terbuka terhadap berbabagai kritikan dari siswa atau sesama guru dan bersedia membantu para siswa. Ia tidak mengurung diri dalam menara gading dan menganggap diri sebagai yang benar. Tak jarang guru-guru berdiam dalam kemapaman penguasaan pengetahuan dan tidak memandang kemampuan dan situasi konkret siswanya.


sUMBER: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40478

Pemerintah Membiarkan Rakyat Timor Mati Konyol Ratusan Calo Mangan Asal Cina Bergentayangan di Desa – Desa

(Catatan Yusak Riwu Rohi)

Mangan Timor kualitasnya nomor satu di dunia. Ini tentu saja berita menggembirakan sekaligus juga memilukan, karena sudah puluhan rakyat Timor juga mati konyol dalam urusan mangan.
Harga mangan Timor di Tiongkok setelah dimurnikan sekilonya mencapai Rp.180 ribu, demikian penjelasan anggota DPD asal NTT Paul Liyanto, ( Timex, Sabtu 17 /7/2010 ). Paul yang pernah berkunjung ke negeri penduduk lebih dari 1 miliar itu beberapa waktu lalu sempat melihat langsung proses pemurnian mangan asal Timor. Mangan Timor kualitasnya nomor satu di dunia. Ini tentu saja berita menggembirakan sekaligus juga memilukan, karena sudah puluhan rakyat Timor juga mati konyol dalam urusan mangan.


Luar biasa kualitas mangan milik kita di Timor dan mungkin karena itulah maka tak heran kalau saat ini masyarakat kita berlumba-lumba menggali mangan secara tradisional dan harganya juga harga tradisional, tak lebih dari Rp. 50 ribu sekarung putih yang beratnya kira-kira 100 kg.

Pembelinya adalah calo–calo bermata sipit yang sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia juga tak bisa berbahasa Inggris. Mereka masuk hingga ke desa – desa dengan diantar para penunjuk jalan yang menerima upah seadanya. Mereka menemui penduduk desa dan membeli mangan langsung dari masyarakat desa. Padahal, orang asing dilarang berniaga langsung hingga ke desa-desa. Anehnya hal ini diketahui oleh pemerintah setempat, tetapi dibiarkan saja. Inilah yang namanya beta sebut ‘’ Pembiaran Pertama ‘’.

Ada apa ini, demikian saya bertanya dalam hati. Mungkin ada udang di balik batu? Atau ada uang di balik batu mangan yang dikucurkan langsung oleh para orang asing itu atau para calo yang bergentayangan diberikan kepada para pejabat setempat. Tak tahulah, kita bisa terka-terka saja. Tugas pak polisilah sebagai penyidik untuk membuktikannya.

Karena itu kita harus mensuport atau mendukung sepenuhnya Pak Kapolda NTT, Bapak Brigjen Pol Yoris Worang dengan seluruh jajarannya yang mulai unjuk keberanian untuk menangkap dan menahan ribuan ton mangan yang hendak dibawa keluar- ke Jawa – atau juga langsung ke luar negeri. Kita ucapkan ‘’ profisiat ‘’ buat Pak Kapolda. Mudah-mudahan tindakan seperti ini akan terus berlanjut, tidak hanya sekali ini saja.

Sebab, menurut catatan saya, hasil tangkapan 2500 ton mangan yang dimuat di kapal asal Taiwan itu dan sekarng diparkir di Hansisi, Pulau Semau, adalah angkutan mangan recehan yang tercecer sehingga bisa ditangkap. Saya sebut recehan karena sejak tahun 2009 hingga sekarang tak kurang dari ratusan ribu ton mangan ilegal telah keluar NTT dan langsung ke Taiwan dan Cina. Ini semua lolos dan boleh percaya atau tidak selama ini baik dari Atapupu, Kabupaten Belu, maupun dari pelabuhan laut Wini di kabupaten Timor Tengah Utara ( TTU ) dan juga lewat pelabuhan Tenau Kupang sudah ratusan ribu ton mangan ilegal diantarpulaukan dan diekspor keluar negeri, tetapi pemerintah kita bikin diri seakan tidak tahu apa-apa.

Di Wini dan Atapupu, sudah bukan rahasia lagi buat masyarakat setempat kalau setiap minggu ada kapal asing yang mengangkut mangan. Juga sudah bukan rahasia lagi kalau orang asing bermata sipit dengan sejumlah calo lokal bergentayangan ke desa- desa membeli mangan langsung dari masyarakat. Menurut saya inilah ‘’ Pembiaran Kedua ‘’ yang dilakukan pemerintah setempat, bupati dan gubernur serta instansi terkait lainnya.

Pulau Timor yang kita diami ini sedang digerogoti isi perutnya secara ilegal. Di sana sini tanahnya tampak mulai berlubang-lubang akibat galian mangan secara tradisional, tapi sistimatis dengan menguntungkan segelintir calo dan sepengetahuan pemerintah. Celakanya lagi ialah sudah puluhan orang yang mati tertimbun tanah longsor saat menggali mangan, tapi mereka yang masih hidup tidak juga kapok. Soalnya inilah hasil bumi yang tak perlu susah payah untuk menanamnya, memeliharanya dan tidak perlu air untuk mengairinya. Tak perlu hujan. Makin tak ada hujan makin bagus, karena penduduk mudah sekali menggali mangan kelas wahid di dunia itu - di tanah Timor yang tandus. Padahal lingkungan menjadi rusak dan inilah yang saya sebut pemerintah malakukan “” Pembiaran Ketiga ‘’

Pemerintah juga sangat tega melihat warganya yang mati tertimbun tanah galian mangan. Ya, bupati, wakil bupati, para kadis dan anggota dewan tingkat kabupaten membisu dan menutup telinga atas kejadian memilukan itu.

Gubernur, wakil gubernur, dan DPRD Provinsi NTT juga turut membisu dan menutup mulut, mata dan telinga atas semua kejadian yang memilukan ini. Mungkin karena yang meninggal bukanlah sanak famili atau anggota keluarga mereka. Inilah yang namanya ‘’ Gerakan Pembiaran Keempat ‘’ yang dilakukan oleh pemerintah. Ya, pembiaran-pembiaran itu ialah membiarkan penggalian mangan secara ilegal, membiarkan antarpulau mangan dan ekspor mangan secara ilegal dan membiarkan rakyat mati konyol tertimbun tanah galian mangan, membiarkan orang asing berdagang langsung ke desa-desa dan mungkin juga membiarkan pungli memungli oleh aparat pemerintah.

Lebih celaka lagi membiarkan tanah atau lingkungan Pulau Timor ini rusak berantakan akibat galian mangan. Ya, ada berita duka, tapi ada juga berita gembira. Duka karena kematian anggota keluarga yang terimbun tanah. Gembira karena ternyata mangan Timor adalah nomor wahid di dunia, tapi sayangnya pemerintah daerah belum berbuat sesuatu untuk melindungi semua pihak yang terkait dengan mangan Timor. Memilukan karena pemerintah membiarkan Rakyat Timor mati konyol dalam perdagangan mangan ilegal

Hingga saat ini baik pemkab maupun Pemprov NTT masih dalam angan-angan saja untuk membuat sebuah regulasi yang namanya Peraturan Daerah ( Perda ) yang berkaitan dengan masalah mangan di NTT. Pemprov dan pemkab yang empunya lahan mangan seharusnya bertindak secepatnya demi melindungi harta kekayaan yang terkandung di bumi Flobamora ini, melindungi warganya untuk menentukan harga mangan dari permainan calo, memberi kemudahan bagi investor dan menindak tegas yang melakukan penyimpangan terhadap regulasi pertambangan. Berapa kerugian negara, daerah dan rakyat NTT akibat tutup mata, tutup telinga pemerintah dan aparat terkait - dan hanya buka tangan manakala ada yang memberi imbalan.

Kita menyadari karena hingga saat ini Pemprov NTT masih eoforia dengan berbagai macam program ‘’ Anggur Merah – anggaran untuk rakyat menjadi sejahtera, dengan mengandalkan slogan-slogan ‘’ provinsi jagung ‘’, provinsi koperasi ‘’, provinsi kepulauan ‘’, dan ‘’ provinsi ternak ‘’. Padahal jagung mati karena hujan sedikit, koperasi hanya satu dua yang berhasil, sementara nasib ratusan KUD tak jelas lagi rimbanya. Provinsi kepulauan digugat daerah lain karena bertentangan dengan sistem UU. Provinsi ternak, tak jelas ternaknya, apakah kambing, domba, kuda, kerbau atau sapi. Kalau sapinya sudah semakin menurun. Apakah provinsi kucing agar bisa menangkap hama tikus yang mengegrogoti padi milik rakyat ? Mungkin perlu diperjelas.

Kembali ke masalah penahanan 2500 ton mangan di kapal Taiwan yang kini berlabuh di Hansisi, terbetik kabar bahwa sang pengusaha memanfaatkan ijin usaha pertambangan ( IUP ) di Kalimantan dan IUP di Manggarai. Untuk diketahui, ijin produksi mangan di Manggarai telah dibekukan dan sang pengusaha memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan mangan di Pulau Timor.

Mengapa mereka berlumba-lumba mengeruk mangan di Pulau Timor? Tidak lain karena mangan Timor sudah diyakini nomor satu di dunia. Itulah sebabnya ratusan warga Cina daratan rela tinggal di kos-kosan lalu masuk hingga ke desa-desa memburu mangan hasil galian penduduk yang tak dilindungi hak-haknya oleh pemerintah.

Beberapa makelar asal Cina yang sempat ditemui mengakui kalau mangan Timor nomor satu di dunia dan harga beli juga sangat murah dari tangan masyarakat. Walau kebanyakan dari mereka melanggar regulasi perdagangan mangan, namun mereka mengatakan bahwa kendala-kendala semacam itu dapat mereka atasi dengan uang. ‘’ Kami sodorkan sedikit uang saja sama petugas, barang milik kami sudah bisa lolos dengan alasan antar pulau padahal kami bawa langsung keluar negeri, Cina. Orang Indonesia kan sangat lemah kalau sudah ditawari uang untuk menyelesaikan masalah, dan ini kami lakukan berulang-ulang, ‘’kata beberapa makelar asal Cina dalam bahasa mandarin yang diterjemahkan seorang teman dekat saya.

Soal IUP dari Kalimantan dan dari Manggarai yang digunakan pengusaha untuk mengeruk mangan Timor menjadi soal tersendiri dan tantangan bagi Bapak Kapolda dan jajarannya. Bukankah sebuah Ijin Usaha Pertambangan hanya berlaku di daerah di mana pemerintah setempat mengeluarkannya. Tidak dapat digunakan di daerah lain seperti yang terjadi saat ini. Yang dapat berlaku di seluruh Indonesia hanyalah SIUP ( Surat Ijin Usaha Perdagangan ), sedang IUP hanya berlaku di daerah pemda setempat mengeluarkan IUP tersebut. Di Timor baru pada taraf ijin eksplorasi dan belum ada ijin produksi dan penjualan. Eksplorasi hanya untuk kepentingan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan study kelayakan. Sedangkan IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan

Karena itu sekali lagi kita mendukung Bapak Kapolda NTT, Bapak Brigjen Pol Yoris Worang dan jajarannya untuk menuntaskan kasus mangan di kapal Taiwan tersebut dan terus mengamankan perdagangan mangan ilegal dari daratan Timor. Hampir setiap minggu ribuan ton mangan ilegal lolos dari Wini dan Atapupu, inilah pekerjaan berat buak Pak kapolda ke depan.

Karena itu meskipun Bapak Kapolda sudah paham betul soal UU No 4 Tahun 209 tentang pertambangan, ada baiknya kita juga sedikit mengingatkan saja beberapa pasal yang menyangkut ketentuan pidana, dan apakah Pak kapolda akan menjerat mereka dengan ketentuan pidana dimaksud ,antara lain sbb;

Bab XXIII; Ketentuan Pidaana

Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP,IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3),Pasal 67 ayat ( 1), Pasal
74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 159
Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (1), pasal 70 huruf e, pasal 81 ayat (1), pasal 105 ayat (4), pasal 110, atau pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar ripiah).

Pasal 160
(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batu bara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK,atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (20, Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 162
Setiap orang yng merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dalam pasal 136 ayat (2) dipidana dengan kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun penjara atau denda pasling banyak Rp.100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ).

Pasal 163
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersaebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 ( satu per tiga ) kali dari ketentuan maksimun pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Selain pdana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 138, pasal 139, pasal 160, pasal 161 dan pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa : a. Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana. b. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan/atau, c.kewajiban membayar biaya yang timbul akibat pidana.

Pasal 165.

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, PR atau IUP yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 ( dua ) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40476

Lagi, Warga Mengadu

Pengaduan warga masyarakat Kota Kupang yang anaknya tak lulus Penerimaan Siswa Baru (PSB) tak hanya dilakukan di tingkat pemerintah saja, melainkan karena sangat berharap anaknya mendapat pendidikan yang layak, serta murah, maka... ada orang tua yang nekad mendatangi Redaksi Harian Pagi Timor Express, untuk menyampaikan keluhannya.

Salah seorang warga RT 11/RW 03 Kelurahan Lasiana, Constan Nataniel Waang, nekat mengadukan nasib anaknya yang tak diterima masuk ke SMAN 4 Kupang. Saat mendatangi redaksi koran ini, Sabtu (17/7), Waang mengatakan lulusan siswa di SMPN 10 tak melebihi 200 orang tapi mengapa anak-anak mereka tak terakomodir semuanya untuk masuk ke dua SMA yang ada di kelurahan tersebut.

"Kelulusan siswa di SMPN 10 tak melebihi 200 orang tapi mengapa tak semua anak terakomodir dengan baik, sementara kehadiran dua SMA yang ada di Lasiana dan Penfui untuk apa. Atas kendala ini, maka sekarang kami kewalahan harus kemana lagi,"tandas Waang.

Dikatakan Waang lagi, alasan yang mereka peroleh saat mengadukan nasib anak-anak mereka ke dua SMA tersebut, adalah ruangan terbatas serta nilai tak mencukupi. Padahal sesuai dengan pembagian wilayah yang ada dari walikota Kupang, dua SMA yang ada di Penfui dan Lasiana harus bisa mengakomodir semua anak-anak yang berdomisili di wilayah tersebut. "Apakah anak-anak kami tidak diperhatikan lagi untuk melanjutkan pendidikan? Sementara pemerintah tak juga mengambil kebijakan agar semua anak kami bisa diakomodir,"imbuh Waang lagi.

Lebih lanjut, Waang mengurai, kalau dua SMA tersebut harus bisa mengakomodir semua semua anak yang lulus dari SMPN 10 Kupang. Kalau untuk sekolah swasta, tandas Waang, uang pembangunanya sangat mahal, sementara sekolah negeri saja sudah mencapai Rp. 750 ribu dan kemungkinan akan naik lagi tahun ini.

"Yang saya harapkan kepada para anggota dewan agar bisa memperjuangkan nasib kami sehingga kami tidak mengalami hal seperti ini yaitu anak-anak kami tidak diakomodir,"beber Waang sembari mengurai kalau sebelumnya mereka nekat mendatangi Dinas PPO Kota Kupang untuk mengadukan nasib anak-anak mereka, tapi malah mereka diarahkan lagi ke SMAN 10 dan setelah kesana, malah terdapat pengumuman yang berisikan bahwa tidak ada Juknis penerimaan siswa baru.

Sementara itu, Kepala Dinas PPO Kota Kupang, Maxwell Halundaka saat diwawancarai beberapa hari lalu di ruangan kerjanya terkait siswa yang tak lulus PSB di Kota Kupang mengatakan, untuk beberapa sekolah swasta di Kota Kupang yang memang sudah tutup pendaftaran serta ada kemungkinan anak mendaftar pada dua sekolah sehingga siswa yang tak lulus bisa mengisi kekosongan pada salah satu SMA atapun SMP yang ada karena siswa yang bersangkutan sudah lulus di salah satu SMP atapun SMA. "Saya mau katakan bahwa warga jangan takut bayangan sebelum masuk ke sekolah swasta, karena semua sudah kami motivasi untuk meningkatkan standar pelayanan baik di sekolah swasta maupun negeri,"jelas Maxwell.

Dikatakan lebih lanjut, pemerintah dengan segala keterbatasan juga berusaha memberi perhatian kepada semua siswa lewat dana BOS, serta beasiswa dan itu ditujukan untuk semua siswa baik swasta maupun negeri. "Guru-guru pada sekolah negeri juga akan diperbantukan pada sekolah swasta serta untuk sekolah swasta jika yayasanya setuju, maka kepala sekolahnya akan diangkat menjadi PNS dalam arti bahwa gaji serta tunjungannya akan dibayar oleh pemerintah,"tegas Maxwell.

Masih menurutnya, ada juga sertifikasi untuk guru-guru swasta sehingga kalau ada guru-guru yang memenuhi standar sertifikasi, akan disertifikasi juga. Di akhir wawancaranya, Maxwell juga meminta kepada semua warga agar benar-benar menggunakan fasilitas sekolah swasta yang ada di Kota Kupang.

"Sesuai dengan rapat yang telah dilakukan beberapa hari lalu, saya minta kepada semua kepala sekolah agar mengecek keberadaan fasilitas yang ada di semua sekolah, sehingga kalau bisa, maka lakukanlah penerimaan lagi dan itu kalau memang masih ada lowongan,"beber Maxell lagi.

Seminggu kedepan, jelasnya, kalau animo masyarakat masih tinggi untuk masuk sekolah negeri maka dengan terpaksa sekolah yang masih bisa menambah kelas itu terpaksa harus menambah kelas walau sangat terbatas. (mg-10)

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40482

Rabu, 14 Juli 2010

Masa Orientasi Siswa dan Kultur Institusi

Oleh: Meksianis Zadrak Ndii

Penulis adalah dosen FST Undana, Anggota Forum Academia NTT

Opini berjudul “Masa Orientasi Siswa (MOS)” yang dipublikasi oleh Harian ini (9 Juli 2010), sangat menarik untuk ditanggapi. MOS sendiri sudah menjadi semacam ritual tahunan pada sekolah menengah.

Bagian pendahulan dari tulisan ini pada intinya menekankan pada bagaimana sekolah perlu membuat kesan yang baik pada anak didik yang baru sebab jika tidak, kenyamanan siswa baru terusik.

Selanjutnya, penulis artikel ini mengemukakan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah pada hari pertama siswa masuk sekolah yang diasumsikan sebagai masa orientasi siswa. Pada dasarnya apa yang dikemukakan adalah untuk kebaikan siswa. Maksudnya, siswa dibentuk sehingga lebih berkarakter: bagaimana bersikap dan berperilaku sebagai bagian dari masyarakat terdidik.

Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah selesai masa orientasi siswa berakhir?. Apakah ada jaminan bahwa pandangan siswa yang dibentuk selama masa orientasi tersebut, akan bertahan lama? Apakah nilai-nilai yang diajarkan selama masa orientasi akan terbatinkan dalam diri siswa?

Kultur Insitusi

Saya berpendapat bahwa kesan yang terbentuk hanyalah kesan sesaat, apabila absennya kultur sekolah yang baik. Selama masa orientasi, misalnya, siswa diajarkan baris-berbaris untuk membina kedisiplinan dan bertanggungjawab, dan bahkan diusulkan ditambahkan dengan prosesi pengibaran bendera, namun, dalam kesehariannya, siswa berhadapan dengan ketidakdisiplinan dan kurangnya rasa tanggung jawab guru, maka nilai manfaat dari kegiatan tersebut akan memudar. Akibatnya, anak didik mungkin saja enggan mempraktekan nilai-nilai yang telah diajarkan dalam keseharian mereka.

Institusi pendidikan tampaknya terjebak dalam pola-pola mendidik, yang sepintas terkesan bermanfaat, tetapi tak mempunyai pengaruh jangka panjang. Memang model-model seperti itu tidak sepenuhnya salah, tetapi perlu dipikirkan cara agar prinsip-prinsip baik yang telah dikomunikasikan dapat terbatinkan dalam diri anak didik.

Pembentukan perspektif siswa terhadap tempat ia bersekolah akan tertanam secara kuat bila siswa merasakan bahwa dia berada dalam kultur sekolah benar-benar baik sehingga dapat diteladani. Menumbuhkan perspektif siswa yang positif terhadap institusi pendidikan dimana dia belajar bukan sekedar pada kesan pertama ketika dia masuk sekolah. Kesan pertama lambat laun akan memudar bilamana mereka merasakan suasana sekolah yang tidak menjiwai seperti yang telah diajarkan atau tak memenuhi harapan tulus mereka.

Selain itu, pembentukan karakter siswa adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu. Siswa dapat saja dibekali dengan materi “budi pekerti”, tetapi ini tidak akan efektif. Nilai-nilai yang diajarkan hanyalah sebatas pengetahuan apabila nilai tersebut tidak secara konsisten diterapkan disekolah. Oleh karena itu, penerapan nilai-nilai tersebut membutuhkan komitmen semua member (anggota) institusi pendidikan tersebut.

Bila perlu dibuat regulasi tertulis yang mengatur soal ini. Sikap guru, siswa dan anggota sekolah lainnya diatur dalam suatu aturan ketat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan peran antara siswa dan guru.

Jadi, tidak hanya siswa dituntut menghargai atau bersikap yang benar, tetapi para pendidik memiliki tanggung jawab yang sama. Andaikan siswa yang terlambat masuk sekolah diberikan sanksi tertentu, tentu ini juga harus berlaku buat guru. Hal yang sama juga dapat diterapkan pada siswa yang tidak masuk karena alasan yang tidak dapat diterima atau guru yang bermalas-malasan masuk sekolah dan mengajar. Ini yang sejujurnya belum sepenuhnya dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Tuntutan penerapan nilai-nilai tersebut lebih sering dititikberatkan pada anak didik dibanding anggota sekolah lainnya, karena mereka sering dianggap sebagai pribadi yang masih dalam proses pembentukan karakter.

Padahal, kultur sekolah terbentuk dari integrasi karakter-karakter individu dalam sekolah. Oleh sebab itu, pembentukan kultur sekolah adalah tanggung jawab semua anggota sekolah. Sikap semua anggota akan menentukan kultur sekolah itu sendiri. Bila semua anggota sekolah, misalnya, selalu membuang sampah pada tempatnya, maka kultur kebersihan tercipta.

Jadi, Masa Orientasi Siswa (MOS) hanya menyentuh sampai pada tingkat pengetahuan siswa, belum sampai menginternalisasi nilai-nilai itu dalam pribadi anak didik. Untuk itu, penciptaan kultur sekolah yang baik sangat menolong dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai yang ditanamkan selama MOS. Tentunya, ini akan terasa lengkap ketika masyarakat juga menciptakan budaya yang sama dalam kesehariannya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita dalam berdiskusi.


sUMBER: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40421

Universitas, Produksi Ijazah atau Kualitas?

Oleh: Gusti O. Hingmane

Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana


”Jebloknya persentase kelulusan di NTT saat ini salah satu sebabnya adalah output Perguruan Tinggi sangat rendah, khusunya sarjana pendidikan.. Bagaimana mau mengajar siswa kalau para guru yang lulus PNS tahun ini lulus dengan nilai yang sangat rendah”, kata Walikota Kupang, Daniel Adoe.

Mendengar atau membaca pernyataan di atas, banyak di antara kita yang mungkin kebakaran jenggot, atau bahkan bermuka tebal, khususnya para pendidik yang berada di Fakultas Keguruan. Tetapi sebenarnya, ini adalah cambukan, dan bahan refleksi untuk kita. Karena Fakultas Keguruanlah yang melahirkan para sarjana pendidikan (para guru), yang kemudian mengajar di sekolah-sekolah.

Dari pada itu, muncullah pertanyaan-pertanyaan, apakah benar Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) biang keladi dari jebloknya prosentase kelulusan di NTT ini? Apakah yang telah kita lakukan selama ini terhadap calon guru di Fakultas Keguruan? Dan, apa yang seharusnya segera dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada di Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Keguruan, agar output-nya dapat memanusiakan manusia dan tidak mengecewakan masyarakat, dan khususnya para pejabat seperti pak Daniel Adoe ?

Berangkat dari pernyataan Daniel Adoe di atas, memang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dihindari bahwa para guru selalu dikambinghitamkan, jika kelulusan sangat merosot. Ketika dikambinghitamkan para guru yang ada di bangku pendidikan, seperti TK, SD, SMP, SMA, bahkan PT juga saling menyalahkan. Dalam pada itu, kata pantas atau memang ikutserta dibunyikan dalam lingkungan pendidikan, yang dikenal dengan lingkaran setan dunia pendidikan.

Sebagai contoh, ketika seorang anak yang tamatannya dari suatu SD atau SMP tertentu ketika melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi lagi, dan dalam studinya tersebut, ditanya oleh seorang guru dari suatu mata pelajaran tertentu, baik atau buruk dari jawaban yang diberikan pasti mendapat tanggapan dari guru tersebut, dan jawabanya pasti berbunyi pantas atau memang. Dimana ada penilaian yang baik dan buruk yang menyertainya, baik itu menggunakan majas ironis atau majas hiperbola.

Pendidik di Fakultas Keguruan
Saya sering membayangkan ketika mengikuti mata kuliah Micro Teaching yang diasuh oleh Dr. Clemens Kollo, MAT., dan membandingkan cara mengajar yang diajarkan oleh beliau dengan dosen/guru saya yang lain, baik itu di SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, beliau sungguh sangat profesional dalam mengajar, mengapa? Karena saat beliau mengajar, lantai yang begitu kotor pun beliau duduk di atasnya. Beliau sangat tidak merasa gengsi sedikitpun. Ketika beliau mengajar, beliau menggunakan berbagai cara dengan berbagai variasi. Kita yang awalnya malas belajar dibuatnya menjadi senang, tertarik, bahkan sampai-sampai lupa waktu untuk matakuliah berikutnya.

Dari gambaran mengajar yang diberikan di atas, Dr. Clemens Kollo, MAT mengajarkan kepada kita, baik itu yang sudah guru atau dosen, maupun calon guru, agar benar-benar menerapkan cara mengajar yang baik, benar, menarik, tidak membosankan, bahkan membuat para peserta didik selalu rindu untuk belajar, selalu rindu untuk pergi ke kampus atau sekolah, dan selalu rindu guru/dosen. Dan ketika guru/dosen tidak masuk, mereka merasa kehilangan sesuatu. Inilah tiga kunci filosofi untuk meningkatkan qualitas yang baik.

Hal yang senada juga, pernah disampaikan oleh Prof. Mans Mandaru (dalam kuliahnya) bahwa seorang guru/dosen dikatakan tidak berhasil dalam mengajarnya ketika usainya kegiatan belajar mengajar, para peserta didik berteriak hore, atau ekspresi yang sangat bahagia ketimbang saat belajar mengajar. Karena dalam pada itu, di mata peserta didik, mereka telah keluar dari penjara, karena cara mengajar yang sangat kurang ideal di mata peserta didik. Cara mengajar dosen/guru yang sangat membosankan. Bersambungan dengan hal di atas, ada seorang teman saya pernah berkata bahwa soal mengajar semua orang bisa mengajar, tetapi untuk membuat peserta didik itu mengerti, atau senang atau menggairahkan dibutuhkan orang-orang tertentu.

Di samping itu, Clemens Kollo dalam kuliahnya mengatakan bahwa cara mengajar yang harus diterapkan oleh semua dosen/guru dari setiap matakuliah, yakni misalkan matakuliah yang 2 SKS, berarti harus tiga kali pertemuan. Maksudnya, 100 menit untuk tatap muka (antara guru/dosen dengan peserta didik), 100 menit untuk tugas terstruktur (khusus untuk peserta didik), dan 100 menit untuk tugas mandiri (khusus untuk peserta didik). Karena menurut beliau, kebanyakan dalam proses belajar mengajar, para pendidik menggunakan waktu seluruhnya hanya untuk 2 SKS untuk tatap muka.

Di samping itu pula, cara mengajar yang masih menjadi tradisi dalam dunia pendidikan adalah, peserta didik masih dianjurkan membaca (hasil belajar hanya 10%),dan jika ditambah dengan mendengar, yang hasil belajarnya menjadi 20%, dan jika ditambah lagi dengan melihat (melihat vidio atau melihat demo) maka hasilnya hanya 30%. Dan jika ditambah lagi dengan diskusi, hasilnya akan menjadi 50%, dan jika ditambah lagi presentasi, hasilnya akan menjadi 75%, dan jika ditambah lagi dengan stimulus dan role play/praktek yang hasilnya akan menjadi 80%, dan ditambah lagi dengan melakukan hal nyata, yang hasilnya akan menjadi 90% (berdasarkan Teori Dale’s Cone of Experience ).

Itulah belajar abstrak ke belajar konkrit yang secara otomatis proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan sesuatu, karena melakukan sesuatu sampai hal yang konkrit, dimana peserta didik juga dilibatkan langsung. Prof Mans Mandaru pun senada (dalam kuliahnya) dengan pernyataan tersebut, beliau mengatakan bahwa “tell me so I remember, teach me so I know, and involve me so I learn”

Calon Guru di Fakultas Keguruan
Banyak di antara kita (calon guru) yang merasa senang bahkan bangga dengan nilai yang tinggi. Tetapi sayang, kalau nilai berbicara lain dengan otak (intelektualitas). Sebagai contoh, nilai yang diberikan oleh guru atau dosen yang tanpa diketahui ujung pohonnya, dari mana datangnya nilai tersebut, dan pantas dikatakan ”nilai misterius” karena tugas dan hasil ujiannya mahasiswa/i tidak dikembalikan, baik itu tugas harian, mid, maupun final. Karena menurut saya, itu adalah cermin buat calon guru dalam membangun intelektualitasnya. Namun, hal ini yang paling disukai oleh banyak mahasiswa. Apalagi, nilai yang diberikan adalah 4 (A). Dan jika mendapat nilai 1 (E), atau 2 (D), maka banyak mahasiswa/i yang kebanyakan pergi ke rumah dosen untuk mengemis nilai seperti pengemis.

Pertanyaannya adalah, apakah kita kuliah ini hanya untuk mencari nilai? Atau mencari pengetahuan? Inilah yang perlu kita hayati bersama dan aplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Dalam pada itu, para mahasiswa harus lebih kritis, bukan membeo apa yang disampaikan oleh guru atau dosen sebagai kebenaran yang mutlak. Jika salah katakan salah, jia benar katakan benar.

”Namanya saja manusia” begitulah kata yang pantas untuk dijadikan sebagai patokan kita untuk berpikir kritis, apalagi UUD telah menjamin setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya. Artinya, setiap orang yang mengajar atau berbicara tidak selamanya benar melulu. Dan inilah tempat buat kaum intelektual menjalankan keintelektualannya, bukan membeo pada apa yang salah. Kampus seharusnya dijadikan tempat untuk brainstorming antara guru/dosen dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan mahasiswa. Bukan dosen/guru yang menjadi sumber pengetahuan satu-satunya. Dan pendidik jangan menggunakan otoritasnya untuk menekankan cara hidup berdemokrasi!

Di samping itu pula, hal yang selama ini telah membudaya di kalangan mahasiswa adalah, ketika ada seorang teman yang bertanya, kita selalu identikkan dengan orang yang bodoh. Dalam kacamata saya, hal ini yang perlu diluruskan bahwa orang yang bertanya bukan berarti mereka bodoh, tetapi mereka menganalisis atau merasa asing dengan setiap pernyataan yang disampaikan oleh guru/dosen. Dan jika mereka bertanya, berarti mereka hanya bodoh sesaat saja. Sedangkan, yang menertawakan adalah mereka yang menertawakan kebodohan mereka. Mereka tanpa menganalisis setiap kata atau pernyataan yang disampaikan oleh dosen/guru. Ketika kita menganalisis, itulah salah satu cara terbaik (vitamin) untuk meningkatkan serta mengaktifkan otak kita.

Dalam pada itu, satu hal yang sangat menyedihkan, adalah lembaga pendidikan tidak peduli dengan kehidupan pelajar yang sebenarnya. Dimana lembaga pendidikan menuntut para pelajarnya untuk menguasai semua bidang studi. Inilah penjara buat pelajar, karena semua pelajar yang ada tidak mempunyai lebih dari satu talenta.

Bagaimana pelajar bisa berkembang, jika mata pelajaran yang tidak disukai juga dituntut harus mengnguasainya. Laksana pungguk merindukan bulan. Mata pelajaran itu akan mubasir walaupun dituntut harus mengnguasai oleh pendidik. Agar, pendidikan tidak menjadi penjara buat para peserta didik, maka yang harus dilakukan adalah memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan talentanya. Jika tidak mereka hanya terpaksa karena lingkungan meminta ijasah, mau tidak mau, terpaksa harus mau. Maka dari itu, sebagai seorang pendidik, kita pun harus memahami ”siapa kita sebenarnya”, dimana kesempurnaan tidak ada pada kita semua. Dan jika peserta didik yang mengikuti mata kuliah tertentu lalu diminta untuk menguasainya, tetapi tidak dapat dikuasainya, saya pikir pendidik harus memahami, jangan memaksa mereka untuk mengikuti apa yang pendidik maksudkan.

Hal itu senada dengan Thomas Jeffereson (dalam Har Tilaar, 2003) bahwa setiap manusia dikaruniai dengan kemampuan intelektual yang berbeda. Dan itu merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan bersama manusia. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka sistem pendidikan harus memberikan tempat untuk perkembangan bakat dan intelektual yang berbeda tersebut. Ini, tentunya dibutuhkan suatu seleksi dan evaluasi mengenai kemampuan dan bakat mereka setelah pendidikan dasar.

Senada dengan hal di atas, Prof. Felix Tans (dalam makalahnya ”Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Apa Yang Salah”) mengatakan bahwa seorang peserta didik yang berminat dan/atau berbakat dalam suatu bidang, biarlah dia belajar itu saja, jangan paksakan juga untuk belajar yang lain. Inilah yang menurut Felix Tans disebut pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs), minat (interst), dan bakat (talent) peserta didik. Felix Tans juga katakan, supaya berhasil model pembelajaran ini, peserta didik dengan bantuan guru/dosennya perlu menanamkan dalam dirinya imajinasi dan oto-sugesti yang kuat, bahwa mereka bisa kalau mereka belajar lebih rajin, punya tekad yang kuat, dan disiplin yang tinggi, pasti berhasil dalam bidang apapun.

Hal seperti ini juga diilustrasikan oleh kak Seto dalam buku dongengnya (dalam opininya Yeverson di Timex, 23-06-2009) ”sebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang lebat, di sana akan terselenggarakan sebuah sekolah untuk para binatang yang ada dalam hutan tersebut. Ada pun mata pelajaran pokok yang akan diajarkan adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Dengan demikian, semua murid yang berprestasi diharapkan mampu menguasai keempat mata pelajran pokok di atas.

Namun bagaimana kenyataan di lapangan mari kita lihat: Si kucing hutan amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat, namun sayangnya ia tidak pandai/kesulitan dalam mata pelajaran berenang dan terbang, berkali-kali coba pun tetap mengalami kegagalan. Berkali-kali ia memanjat pohon yang tinggi kemudian meloncat agar bisa terbang seperti burung yang terbang namun tetap gagal dan sebagai akibatnya kucing terjatuh dan terguling-guling di tanah dengan mengeong kesakitan.lain halnya dengan si bebek, ia cukup mahir dalam berenang.

Terbang pun untuk jarak yang tidak terlalu jauh masih mampu melakukan. Namun, berlari dengan cepat mengalami kesulitan, apalagi untuk memanjat”
Dari semua penomena yang di atas, semuanya dapat teratasi, apabila guru/dosen benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Tugas yang baik itu seperti, mengajar yang menyenangkan para peserta didik, sehingga mereka benar-benar rindu pergi ke sekolah/kampus, rindu guru/dosen, dan yang secara otomatis mereka akan terlibat dan terus termotivasi untuk belajar. Di samping itu pula, kalau benar-benar Perguruan Tinggi, dalam hal ini Fakultas Keguruan mau menciptakan calon guru yang ber-SDM maka salah satu cara yang selama ini telah membudaya adalah tidak dikembalikan hasil kerja calon guru karena dalam benak saya, pasti tidak diperiksa. Bagaimana calon guru dapat menilai akan potensi dirinya jika hal ini (tidak ada pengembalian hasil kerja calon guru) terus terjadi.

Dengan pengembalian hasil kerja calon guru disertai dengan pengkoreksian, secara otomatis, Universitas bukan menghasilkan ijasa saja tetapi disertai dengan kualitas yang handal. Dalam pada itu, para mahasiswa akan terus tertantang untuk belajar dan saling bersaing dalam ranah intelektualitas.

Dan yang terakhir, buat pak Daniel Adoe, jangan hanya menyalahkan Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) saja dalam menentukan kelulusan, tetapi harus melihat ke bawah. Banyak tenaga guru yang bukan berasal dari Fakultas Keguruan. Sebagai contoh, adanya program akta mengajar. Mereka-mereka yang mengikuti akta mengajar itu hanya menikmati ujungnya saja, dan mereka itu sebenarnya masuk jadi guru karena tidak ada pilihan lagi. Mereka itu terpaksa. Oleh karena itu, program akta mengajar harus segera ditutup. Di samping itu pula, adakan perombakan besar-besaran dong, kalau ternyata sekolah-sekolah tertentu selalu mandul tingkat kelulusannya.

Dan posisikan orang-orang yang benar-benar berkompoten dalam dunia pendidikan. Jangan memposisikan orang-orang yang sejalan dengan bapak atau pengikut bapak, apalagi mereka yang di posisikan itu tidak berkompoten dalam mengurus pendidikan! Mari kita jangan saling menyalahkan, tetapi bahu-membahu membangun pendidikan NTT! Merdeka!

sUMBER: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40412

Masa Orientasi Siswa (MOS)

Oleh: Matias A. Nenometa, S.Pd dan Frangky Amalo, S.Pd

Penulis adalah Guru SMA Negeri 4 Kupang dan Guru SMA Kristen 1 Kupang




A. Pendahuluan
Sebelum memasuki satu jenjang pendidikan formal tertentu baik pada tingkatan menengah pertama, menengah atas ataupun menengah kejuruan, seluruh siswa baru diwajibkan untuk mengikuti kegiatan masa orientasi siswa. Secara umum orientasi adalah proses mengenali dan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan baru yang akan dimasukinya.

Pandangan awal seorang siswa baru akan sangat ditentukan oleh penerimaan pihak sekolah pada hari pertama siswa bersangkutan memasuki satu lembaga pendidikan formal tertentu. Bila hari pertama memasuki lembaga pendidikan itu diasumsikan sebagai masa orientasi siswa maka sekolah perlu mempersiapkannya dengan sangat baik, jika tidak maka persepsi atau pandangan siswa terhadap lembaga pendidikan formal tersebut akan berubah menjadi negatif sehingga siswa merasa tidak nyaman.

B. Kepanitiaan Masa Orientasi Siswa (MOS)

MOS dapat berlangsung dengan baik bila terdapat kepanitiaan yang mengaturnya. Biasanya kepanitiaan MOS terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu pertama : Dari unsur guru sebagai panitia inti MOS dan kedua : Dari unsur pengurus Osis. Yang perlu dicermati adalah kepanitiaan dari unsur pengurus osis. Secara jujur perlu diakui bahwa pengurus osis adalah perwakilan dari tiap kelas per-angkatan.

Kebanyakan pengurus osis belum matang dari sisi pengendalian emosi dan perilaku. Sebelum pengurus osis yang terwakili dalam kepanitiaan MOS dilibatkan dalam penanganan siswa baru, sebaiknya mereka diberikan “training” tentang etika dalam berkata dan bertindak, apalagi jika mereka langsung berhubungan dengan siswa baru maka perlu diawasii secara ketat oleh panitia MOS dari unsur guru.

C. MOS dan Aturan Main

Kebanyakan MOS yang dilaksanakan oleh setiap sekolah memiliki aturan yang berbeda-beda, tetapi secara kasat mata terdapat persamaan yaitu siswa baru diperlakukan sebagai “obyek” binaan yang dapat diperlakukan sesuka-suka oleh panitia MOS. Contoh yang dapat dikemukakan yaitu menyangkut atribut yang harus dikenakan oleh siswa baru selama MOS berlangsung sebagaimana misalnya penggunaan atribut penutup kepala yang terbuat dari bahan gardus berbentuk segitiga dengan tinggi dan lebar yang telah ditentukan atau bahkan menggunakan bola kaki plastik yang dibelah menjadi 2 (dua) bagian kemudiaan diambil 1(satu) bagiannya untuk dipasangkan ke kepala peserta MOS dengan menggunakan tali raffia. Contoh diatas dapat menimbulkan pertanyaan menggelitik “apa hubungan antara atribut penutup kepala yang “aneh” tersebut dengan esensi MOS seperti yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan sebelumnya” ?.

Jika esensi MOS adalah mengenali dan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan baru, maka sebaiknya menggunakan saja atribut penutup kepala berupa topi sekolah yang bersangkutan karena lebih dapat menumbuhkan perasaan memiliki daripada menggunakan atribut yang “Aneh-aneh”.

Pada sisi lain setiap peserta MOS terikat dengan “The rules of the game”. Bila mereka melakukan pelanggaran maka oleh panitia MOS dapat memberi sanksi dan hukuman. Menurut hemat penulis sanksi lebih bersifat mendidik, sanksi yang diberikan kepada peserta MOS dapat berupa : teguran lisan, menyanyikan lagu agama, lagu daerah dan lagu nasional ataupun menyebutkan bagian ayat-ayat kitab suci. Dengan penerapan sanksi seperti diatas sebenarnya panitia MOS dapat melihat potensi dan bakat yang dimiliki oleh para peserta MOS.

Yang perlu diawasi dengan teliti adalah penerapan hukuman. Jika terdapat peserta MOS yang melanggar aturan dan harus dikenai hukuman, maka hukuman yang bersifat pendekatan fisik seperti “pus-up” atau “sit-up” harus dihindari, hal ini untuk mencegah terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan karena secara pasti tidak semua siswa baru memiliki riwayat kesehatan yang baik.

Hukuman fisik sebaiknya diganti dengan hukuman seperti membersihkan halaman sekolah, ruangan kelas, mengisi air ke bak “kamar kecil” ataupun menyirami bunga di sekeliling halaman sekolah. Hukuman jenis ini dimaksudkan untuk mengadaptasikan siswa tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan menumbuh kembangkan kecintaan terhadap alam sekitar.

D. Sosialisasi NAPZA

Masa Orentasi Siswa baru dapat dipergunakan sebagai media yang efektif untuk memberikan sosialisasi tentang bahaya penggunaan Narkotika dan zat-zat adiktif lainnya. Bila siswa baru diandaikan sebagai sehelai lembar putih kosong yang belum ditulisi maka MOS merupakan tempat awal untuk mengisi kekosongan tersebut secara baik dan terarah. Bila sekolah tidak memiliki SDM yang memahami dengan baik tentang “NAPZA” dimaksud maka dapat mengadakan kerja sama dengan pihak Polda ataupun Polres setempat atau kalau boleh di sarankan oleh penulis kalau memang memungkinkan seharusnya dari pihak Polda atau Polres setempat mengambil inisiatif untuk melakukan sosialisasi terhadap bahaya penggunaan “NAPZA” dimaksud. Hal ini amat penting karena siswa baru kelak akan menjadi “tulang punggung” daerah bahkan pembangunan nasional. Di sini peran aktif dari Badan Narkotika Daerah dianggap amat strategis.

Sosialisasi tentang “NAPZA” ini dapat lebih menyentuh perasaan siswa baru jika metode sosialisasi dapat dibuat “sedikit” lebih bervariasi. Jika pada waktu lalu para pemateri lebih banyak berceramah dalam bentuk tutorial sebaiknya menurut penulis bisa dikembangkan dengan menggunakan sentuhan TIK (baca : Teknologi Informasi dan Komunikasi ) seperti penggunaan Over Haed Proyektor untuk menampilkan gejala dan jenis penyakit yang diderita oleh pengguna “NAPZA” atau kalau boleh bahkan melalui pemutaran film tentang “NAPZA” itu sendiri. Jika hal ini dapat dilaksanakan maka dapat dipastikan perhatian siswa lebih terfokus dan tidak membosankan dibandingkan dengan hanya mendengar ceramah semata.

E. Pendidikan Budi Pekerti

Seringkali dijumpai di Kota Kupang yang kita cintai bersama ini perilaku siswa/i sedikit menyedihkan dimana ada siswa/i yang tidak mengetahui nama gurunya sendiri. Paling yang dikenalinya hanyalah guru yang mengajar dikelasnya atau mungkin yang sejurusan dengannya. Jika guru sudah tidak dikenali oleh muridnya maka jangan pernah berharap sang murid akan memberi salam. Sebagai contoh ada murid yang datang ke ruang guru kemudian bertanya kepada petugas piket harian, Bapak, itu Ibu guru yang mengajar Biologi tu, ada datang ko Pak ? atau sebaliknya, Ibu, itu Pak yang mengajar Matematika ada di mana ee ??.

Hal ini berbanding terbalik dengan siswa yang berada di wilayah pinggiran Kota atau bahkan di wilayah Pedesaan di mana etika mereka masih tetap terpelihara dengan baik dan bahkan boleh dikategorikan amat baik. Berdasarkan penggambaran di atas maka menurut hemat penulis selama MOS berlangsung perlu dipertimbangkan untuk menyisipkan materi tentang Budi Pekerti. Hal ini didasari dengan pemikiran sederhana yaitu inti dari pembelajaran adalah perubahan dan perubahan haruslah kearah yang lebih efektif.
Pendidikan tentang budi pekerti ini telah lama menghilang dari kurikulum sekolah dan di gantikan dengan pendidikan kewarganegaraan serta bimbingan dan konseling. Tetapi pada kenyataannya belum terjadi perubahan yang signifikan terhadap perilaku dan kebiasaan siswa yang tidak menghormati guru sebagai pengajar sekaligus sebagai “orang tua” di sekolah.


F. Kegiatan Baris-berbaris

Biasanya selama pelaksanaan MOS terdapat kegiatan baris-berbaris. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk perilaku siswa yang disiplin dan bertanggungjawab. Kedisiplinan dalam berbaris dan bergerak bersama dalam kelompok-kelompok kecil dengan system satu komando. Seharusnya menrut penulis perlu dikombinasikan dengan prosesi pengibaran bendera hal ini menjadi penting adanya karena yang terjadi selama ini adalah kebanyakan institusi hanya mengadakan upacara bendera pada moment tertentu saja, sebagaimana misal pada saat memperingati HUT institusi tersebut atau hanya pada saat HUT kemerdekaan semata.
Dampak yang timbul adalah memudarnya “Semangat Nasionalisme” dimana upacara bendera hanyalah dimaknai sebagai “ Ceremony” belaka.

Secara acak bila ditanyakan kepada siswa menyangkut sila-sila yang terdapat didalam Pancasila maka dapat dipastikan ada yang menyebutnya secara terbalik bahkan mungkin lupa. Hal ini telah terjadi dimana sebulan yang lalu ketika Wartawati Metro TV mewawancarai beberapa anggota “DPR” yang terhormat bahkan tidak mampu menyebutkan secara berurutan sila-sila yang terdapat didalam Pancasila secara baik baik dan benar. Sesuatu yang amat disayangkan.

G. Penutup

Dengan mengikuti kegian MOS diharapkan kepada siswa baru memiliki pandangan baru tentang bagaiman bersikab dan berperilaku sebagai bagian dari masyarakat yang terdidik dan tetap beretika yang baik dan benar. Selamat mengikuti kegiatan MOS semoga mendapatkan pengalaman baru yang berguna dan bermanfaat dikemudian hari. Tuhan Memberkati 


Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40391

Guru Non PNS

Penulis adalah mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana

Guru bantu, guru honorer, guru kontrak, atau apapun istilahnya yang adalah guru non PNS sebenarnya memuat suatu kesamaan yakni mereka yang menyandang status itu hanya menerima penghargaan finansial eceran. Finansial yang tiada artinya dalam sebulan saat kita berada di saat sekarang ini.

Kalau kita mendengar cerita mereka dalam mendapatkan penghasilan, mereka akan bercerita bahwa kisaran penghasilan mereka per bulan dari Rp 75 ribu sampai dengan Rp 600 ribu (hitungan maksimal jika seorang guru non PNS mengajar 30 jam seminggu dikalikan Rp 20 ribu sebagai honorarium per jam pelajaran).

Sungguh sangat menyedihkan, apalagi tanpa tunjangan keluarga, tanpa gaji 13, tanpa dana pensiun. Mereka yang mengajar 24 jam pelajaran sebulan paralel akan membawa pulang honor Rp 240 ribu, jika sekolah tempatanya mengajar menghargai per jam Rp 10 ribu rupiah. Honorarium sebulan guru tersebut hampir sama harganya dengan upah tukang batu yang bekerja dari senin sampai sabtu dalam seminggu.

Saya tidak menyebut penghargaan untuk mereka sebagai gaji, karena gaji memuat berbagai tunjangan, dan hanya diberikan kepada guru tetap, baik dalam dinas yayasan swasta maupun pemerintah. Istilah pembayaran eceran untuk mereka bisa bermakna dibayar semampunya, seadanya, atau semaunya sekolah tempat mereka bekerja.

Ada yang dibayar berdasarkan kemampuan komite sekolah, berdasarkan uluran belas kasih orang tua siswa, berdasarkan keuangan yayasan, berdasarkan feeling kepala sekolah, berdasarkan hitungan jumlah jam mengajar, atau berdasarkan upah minimum provinsi layaknya standar untuk buruh. Bahkan, pembayaran untuk mereka pun bisa tidak jelas kapan terjadi.

Apalagi, gaji para guru yang PNS yang terlambat dalam pembayaran gaji yang terjadi baru-baru di Kupang ini yang mengundang protes habis-habisan. Dalam pada itu, ada satu pertantanyaan, bagaimana dengan gaji tenaga guru yang bukan PNS pasti dilipatgandakan keterlambatannya alias tidak penting?

Guru honorer, guru bantu (guru bukan PNS) menjadi bagian penting dalam jagat pendidikan dasar dan menengah di NTT ini, namun diingat ketika akan ada perekrutan pegawai negeri. Itu pun sebatas harapan agar mereka diprioritaskan. Akan tetapi, sebagaian besar dari mereka tetap tersaruk-saruk di posisinya sampai melewati batas usia penerimaan pegawai negeri, lebih dari 20 tahun terus sebagai guru honorer.

Meski sudah teruji mengajar puluhan tahun, toh banyak dari mereka tidak diloloskan untuk menyandang status pegawai negeri. Keberadaan para guru kelompok di atas sangat membantu dan dibutuhkan oleh sekolah-sekolah untuk tetap melangsungkan kegiatan pendidikan. Pendidkan untuk memanusiakan manusia. Tidak jarang mereka mengajar penuh dan masih ditambahkan lagi tugas-tugas mendampingi siswa dalam berbagai kegiatan.

Bahkan mereka acapkali ditempatakan sebagai “ban serep” yang harus siap sewaktu-waktu jika ada guru tetap yang berhalangan, entah karena penataran berhari-hari, pergi rapat, melayat, atau sekedar malas bekerja. Guru tetap atau senior merasa berhak memperlakukan mereka sebagai pembantu. Guru tetap yang memperoleh penggajian lengkap dan kesempatan penataran ke sana ke mari mestinya bekerja lebih sungguh dari pada mereka. Akan tetapi, terjadi justru sebaliknya.

Dengan membiarkan begitu banyak para guru berstatus honorer dan sejenisnya, pemerintah atau yayasan swasta telah bertindak akal-akalan secara tidak adil. Maunya mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, tetapi pekerjaan semua terlayani. Adakah perbedaan dalam bekerja dan melayani siswa di kelas antara guru tetap dan eceran? Apakah siswa melihat kesungguhan guru di kelas berdasarkan guru tetap atau eceran? Jika menilik jam-jam mengajar mereka penuh, maka di lembaga tersebut secara faktual kekurangan guru.

Ada ratusan jam pelajaran yang tidak terlayani oleh guru tetap. Ironisnya yang jamak terjadi di lapangan, para guru tetap, entah negeri maupun swasta, ingin mengajar sedikit mungkin. Guru tetap tidak dimanfaatkan sepenuhnya, sementara guru enceran dipenuhkan kewajiban mengajarnya. Ini sebentuk pemborosan keuangan Negara yang perlu disikapi bersama.

Lain halnya dengan guru honorer yang bekerja di lembaga swasta, mereka lazim disebut sebagai guru magang. Artinya, ada harapan untuk berstatus sebagai guru tetap, meski setiap yayasan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Perlakuan swasta terhadap para guru demikian layaknya untuk disimak, terutama ketika menimbang untuk menghitung penggajian dan honorarium. Setiap usaha untuk menaikan angka kesejahtraan selalu memperhitungkan agar seluruh guru memperoleh perlakuan yang adil, baik yang magang maupun yang tetap. Menaikan honorarium per jam pelajaran hanyalah guru honorer yang merasakan, sedangkan menambahkan tunjangan beras hanyalah dirasakan yang berstatus tetap.


Dalam konteks seluruh negara, pola berpikir generalisasi pun selalu mewarnai setiap perbincangan yang berusaha memperjuangkan kesejahtraan para guru. Seolah-olah seluruh guru di negeri ini akan menikmati kenaikan gaji atau menerima gaji ke-13, jika pemerintahan mengumumkan kenaikan gaji para guru. Seolah–olah dengan menyebut guru menganggap telah mencakup semua orang yang mengajar di depan kelas. Padahal, itu hanya menyangkut mereka yang berstatus sebagai guru PNS atau negeri. Jumlah mereka yang bukan guru negeri sekurang-kurangnya dua kali lebih banyak daripada yang negeri.

Akhirnya, pemerintah jangan merasa telah menyejahtrakan guru dengan menaikkan berbagai tunjangan, dan kemudian menyalahkan guru ketika ketidaklulusan yang terbelakang terjadi di propinsi kita ini. Tunjangan itu hanya baru separoh saja yang menikmati. Tunjangan itu bisa jadi juga berasal dari setoran pajak sekolah-sekolah swasta nonprofit.

Pemerintah jangan berdalih tidak mampu membayar gaji atau enceran seluruh guru apa pun statusnya, karena baik guru PNS atau non PNS, mereka adalah penyelamat bangsa yang harus perlu diperhatikan kesejahtraan mereka. Bukan pemerintah menutup mata terhadap salah satu dari mereka. Merdeka!