Rabu, 25 Agustus 2010

Sistem SKS Diterapkan di SMP dan SMA

Sistem satuan kredit semester atau SKS, seperti di perguruan tinggi, akan diterapkan di jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Penerapan sistem belajar itu dinilai pemerintah memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Sistem SKS menguntungkan siswa karena bisa cepat lulus. Untuk guru, mereka bisa mudah memenuhi beban mengajar minimal 24 jam.
-- Iwan Hermawan

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sudah mengeluarkan panduan penyelenggaraan sistem SKS untuk tingkat SMP/SMA sederajat. Untuk SMP/SMA kategori standar, sistem SKS merupakan pilihan, sedangkan SMA/MTs mandiri dan standar internasional wajib menjalankan sistem SKS.

Wakil Kepala SMAN 9 Bandung Iwan Hermawan, Selasa (24/8/2010), mengatakan, cara belajar SKS justru menguntungkan siswa. Namun, sekolah yang hendak menerapkan sistem SKS mesti menyiapkan infrastruktur, minimal menyiapkan ruang kelas yang cukup untuk terjadinya perpindahan kelas (moving class).

”SKS itu belum terlalu disosialisasikan ke sekolah-sekolah. Sejumlah sekolah berminat untuk menerapkan sistem SKS karena menguntungkan siswa, bisa cepat lulus. Untuk guru, mereka bisa mudah memenuhi beban mengajar minimal 24 jam. Cuma butuh infrastruktur pendukung yang bagus,” kata Iwan.

Ketua BSNP Djemari Mardapi mengatakan, cara belajar di sekolah-sekolah kebanyakan menerapkan sistem paket. Dengan cara belajar ini, siswa diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan.

Adapun cara belajar sistem SKS ini, menurut Djemari, merupakan upaya inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Siswa mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Siswa pintar dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih cepat dari siswa yang berkemampuan standar. Jika IP siswa tinggi, siswa dapat mengambil lebih banyak jumlah SKS. (ELN)

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/09525674/Sistem.SKS.Diterapkan.di.SMP.dan.SMA

BSNP: Sistem SKS Lebih Menguntungkan!

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menilai mengatakan, cara belajar di sekolah-sekolah kebanyakan menerapkan sistem paket. Dengan cara belajar ini, siswa diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan.

Ketua BSNP Djemari Mardapi mengatakan, dengan sistem satuan kredit semester atau SKS, seperti di perguruan tinggi, penerapan sistem belajar itu dinilai pemerintah memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.

Cara belajar sistem SKS merupakan upaya inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Siswa mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Siswa pintar dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih cepat dari siswa yang berkemampuan standar. Jika IP siswa tinggi, siswa dapat mengambil lebih banyak jumlah SKS.

Adapun panduan yang dikeluarkan BSNP meliputi persyaratan penyelenggaraan, komponen beban belajar, cara menetapkan beban belajar, beban belajar minimal dan maksimal, serta komposisi beban belajar. Diatur juga soal kriteria pengambilan beban belajar, penilaian, penentuan indeks prestasi, dan kelulusan.

Beban belajar yang harus ditempuh siswa SMP/MTs yaitu minimal 102 SKS dan maksimal 114 SKS selama enam semester. Untuk siswa SMA, beban belajar minimal 114 SKS dan maksimal 126 SKS pada program IPA, IPS, Bahasa, dan Keagamaan.

Pada semester pertama, siswa mengikuti paket SKS yang sudah ada. Selanjutnya, siswa dapat mengambil sejumlah mata pelajaran dengan jumlah SKS berdasarkan indeks prestasi yang diraih. Sekolah juga dapat melaksanakan semester pendek selama libur. Namun, siswa hanya boleh mengikuti semester pendek itu untuk mengulang mata pelajaran yang gagal. (ELN)

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/10163131/BSNP:.Sistem.SKS.Lebih.Menguntungkan.

Pengamat: Sistem SKS Bukan Prioritas!

Rencana BSNP atau Badan Standar Nasional Pendidikan menggulirkan sistem satuan kredit semester (SKS) pada tingkat SMP dan SMA dinilai sebagian pengamat pendidikan sebagai rencana yang tidak disertai pemikiran matang. Sistem SKS bukan sebuah upaya prioritas untuk meningkatkan pendidikan saat ini.

Demikian ditegaskan pemerhati dan peneliti bidang pendidikan Erlin Driana kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (25/8/2010). Menurutnya, pemerintah dinilai terlalu cepat untuk memakai sistem ini tanpa memperhatikan realitas yang ada pada kondisi pendidikan di Indonesia yang saat ini begitu timpang.

"Yang utama itu bukan pada sisi jumlah SKS yang harus dipenuhi agar siswa lebih cepat lulus, tapi pada pilihan-pilihan mata pelajaran yang ditentukan berdasarkan minat dan kemampuan siswa. Hal ini nantinya lebih diperlukan siswa untuk kesiapan mereka ke perguruan tinggi," ujar Erlin.

Menurutnya, jauh sebelum rencana tersebut benar-benar digulirkan, sebaiknya pemerintah lebih dulu menyiapkan perangkatnya, yaitu kondisi sekolah dan sumber daya manusianya. Sosialisasi untuk program ini pun harus bagus agar sekolah benar-benar siap menerapkannya.

Pada kesempatan berbeda, Koordinator Education Forum (EF) Suparman mengatakan, dilihat dari konsep idealnya, sistem SKS memang cukup ideal. Hanya, banyak guru belum memahami secara utuh rencana penerapan SKS ini.

"Kalaupun sudah tersosialisasi umumnya mereka masih bingung penerapannya akan seperti apa. Zaman dulu, tahun 1984, juga pakai sistem SKS, cuma penerapannya menggunakan sistem Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK. Nah, kalau ini kan mengadopsi SKS yang ada di di perguruan tinggi," kata Suparman.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/11143790/Pengamat:.Sistem.SKS.Bukan.Prioritas..

Terus Terang, SKS Agak Berat....

Jauh sebelum rencana sistem satuan kredit semester (SKS) benar-benar digulirkan sebagai sistem pembelajaran di sekolah, seharusnya pemerintah lebih dulu menyiapkan perangkat penerapannya, terutama kondisi sekolah dan sumber daya manusianya. Sosialisasinya pun tidak bisa main-main.
Sejauh ini, umumnya sekolah lebih banyak muridnya ketimbang kelasnya. Belum lagi SDM atau gurunya, apakah siap.
-- Suparman

"Terus terang, sistem ini agak berat. Sekolah harus punya moving class, otomatis kelas juga mesti banyak. Sejauh ini, umumnya sekolah lebih banyak muridnya ketimbang kelasnya. Belum lagi SDM atau gurunya, apakah siap?" ujar Suparman, Koordinator Education Forum (EF) Suparman kepada Kompas.com di Jakarta, abu (25/8/2010).

Suparman menilai, rencana penerapan SKS sampai saat ini masih membingungkan banyak guru. Umumnya, guru tidak mengerti bentuk sistem ini, cara penerapannya, atau perangkat pendukungya.

"Prinsipnya, jangan secepatnya gonta-ganti kebijakan ataupun sistem kalau yang di bawah itu belum siap. Nantinya anak-anak didik juga yang dikorbankan," kata Suparman.

Sementara itu, menurut pemerhati dan peneliti bidang pendidikan Erlin Driana, pemerintah dinilai terlalu cepat untuk memakai sistem ini tanpa memperhatikan realitas yang ada, yaitu kondisi pendidikan di Indonesia yang saat ini begitu timpang.

"Yang utama itu bukan pada sisi jumlah SKS yang harus dipenuhi agar siswa lebih cepat lulus, tapi pada pilihan-pilihan mata pelajaran yang ditentukan berdasarkan minat dan kemampuan siswa. Hal ini nantinya lebih diperlukan siswa untuk kesiapan mereka ke perguruan tinggi," ujar Erlin.

Menurutnya, jauh sebelum rencana tersebut benar-benar digulirkan, sebaiknya pemerintah lebih dulu menyiapkan perangkatnya, yaitu kondisi sekolah dan sumber daya manusianya. Sosialisasi untuk program ini pun harus bagus agar sekolah benar-benar siap menerapkannya.

"Yang jelas dululah akan seperti apa dan bagaimana sosialisasinya ke semua sekolah untuk siap menerima sistem ini. Terus ujian nasional (UN) yang mereka (BSNP) ciptakan itu mau dikemanakan, apakah itu singkron?" ujar Erlin.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rabu (25/8/2010), Badan Standar Nasional Pendidikan (SBNP) menyatakan, sistem SKS, seperti di perguruan tinggi, akan diterapkan di jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Penerapan sistem belajar ini dinilai pemerintah memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/12325787/Terus.Terang..SKS.Agak.Berat.....

Minggu, 22 Agustus 2010

Ke Mana Rekening Gendut Polri?

Oleh: Reza Syawawi *
Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang diungkap ke publik akan keberadaan rekening gendut sejumlah petinggi Polri tidak menemukan penyelesaian apa pun.

Klarifikasi yang disampaikan ke hadapan publik (16/7/2010) seolah-olah menjadi penyelesaian dan pembenaran sepihak Polri akan keberadaan rekening tersebut. Hasil ini dianggap final oleh Kapolri dan tidak akan berlanjut ke arah penyelidikan.

Jamak diketahui, keberadaan sejumlah uang di rekening petinggi Polri atas alasan apa pun tetap dicurigai bermasalah karena rekening gendut itu tidak sepadan dengan profil seorang petinggi Polri. Apalagi pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup oleh internal Polri dan penolakan intervensi pihak luar semakin meyakinkan bahwa rekening tersebut memang bermasalah.

Kecurigaan publik semakin memuncak manakala klarifikasi yang disampaikan hanya sebatas menyatakan bahwa sebanyak 17 rekening dianggap wajar dan sisanya masih diteliti. Tidak ada penjelasan mengapa rekening tersebut dianggap wajar, dan ketika publik meminta penjelasan apa yang menjadi kriteria kewajaran dimaksud Polri justru berlindung di balik UU Pencucian Uang yang mengatur tentang kerahasiaan informasi tertentu.

Sejumlah petinggi Polri yang memiliki rekening gendut pun angkat bicara, keberadaan uang itu dianggap wajar, walaupun diketahui aliran dana berasal dari beberapa pengusaha. Tafsir kewajaran ini nyaris membuat publik semakin yakin institusi Polri memang resisten dalam upaya pemberantasan korupsi di lembaga pengayom masyarakat ini.

Peter Verhezen (2009) mengungkapkan ambiguitas pemberian hadiah, di satu sisi ini bentuk penghargaan dalam pergaulan sosial, tetapi pada sisi yang lain akan mengarah kepada praktik suap jika melibatkan pejabat publik di dalamnya. Pemberian hadiah sebagai bentuk penghargaan sosial dalam masyarakat telah menjadi budaya, misalnya dalam pesta pernikahan, pesta adat, maupun bentuk kegiatan lain. Dalam filsafat hadiah tidak dapat dimungkiri, pemberian hadiah akan membuat penerima memiliki rasa untuk membalas di kemudian hari (reciprocity).

Jika dikaitkan dengan pemberian sesuatu kepada pejabat publik, diakui atau tidak akan memunculkan rasa untuk melakukan sesuatu kepada si pemberi. Praktik semacam ini akan semakin mengkhawatirkan jika ”balas budi” pejabat publik dikaitkan dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jika ini terjadi, maka di sinilah peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.

Dalam konteks hukum, pemberian sesuatu kepada pejabat publik menurut UU 31/1999 jo UU 20/2001 dikategorikan sebagai suap, bahkan menjanjikan sesuatu saja sudah dapat dianggap suap. Tidak ada ruang untuk menginterpretasikan, pemberian hadiah kepada pejabat publik adalah sebuah kewajaran.

Jika saja pemerintah konsisten dengan penegakan hukum, seharusnya keberadaan ”rekening gendut” diproses hukum karena memang terindikasi korupsi. Penyelesaian secara internal sama sekali tidak memberikan penyelesaian hukum karena proses maupun hasilnya tidak memberikan kepastian hukum apa pun.

Pidato kosmetik

Pidato SBY (16/8/2010) mengungkapkan pentingnya pemberantasan praktik korupsi di lingkungan birokrasi negara, termasuk kolusi yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha yang nyata-nyata melanggar hukum. SBY mencoba tidak jujur dalam melihat situasi bangsa hari ini, terutama menyangkut institusi Polri. Padahal, banyak peristiwa menggambarkan memang ada masalah di tubuh Polri.

Sebut saja kasus kriminalisasi pimpinan KPK, dugaan rekayasa kasus Gayus Tambunan, sampai kasus kepemilikan rekening gendut oleh beberapa petinggi Polri. Bahkan indikasi kebohongan Polri akan keberadaan rekaman pembicaraan antara Ary Muladi dan Ade Rahardja dalam kasus Anggodo Widjojo begitu membuat publik semakin miris.

Dalam beberapa kesempatan kita menyaksikan Presiden terkesan tidak tegas memerintahkan kepada Kapolri untuk menyelesaikan kasus itu secara hukum. Pernyataan Presiden pun hanya jadi semacam imbauan sehingga terkesan basa-basi.

Sikap abai SBY akan kondisi ini sangat tidak konsisten dengan apa yang disampaikannya dalam pidato. Presiden sebagai pemimpin pemerintahan seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas semua kasus yang menghinggapi Polri, termasuk kasus kepemilikan rekening gendut. Pidato hanya akan menjadi ”kosmetik” pelengkap dalam pencitraan yang biasa dilakukannya jika SBY tidak serius menyelesaikan kasus ini dengan membawa ke proses hukum.

Sejujurnya kita tidak ingin kasus rekening gendut ini menguap dan sengaja dibiarkan hilang seperti kasus Bank Century yang telah tenggelam (Kompas, 31/5/2010). Jika ini terjadi, maka reformasi terhadap institusi Polri yang telah dimulai 11 tahun yang lalu akan menemui kegagalan yang sama karena kelalaian Presiden.

*Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency Internasional Indonesia

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/08/23/08463955/Ke.Mana.Rekening.Gendut.Polri-8

Siswa SMPN 2 Kupang Wajib Beli Rantangan

Berdalih untuk pengembangan drum band, siswa-siswi SMPN 2 Kupang diwajibkan membeli 'rantangan' makanan seharga Rp 100.000. Hal ini membuat orang tua siswa-siswi protes.

"Sebenarnya kami mendukung pengembangan drum band di SMPN 2. Tetapi kami kurang setuju karena setiap anak wajib mengambil rantangan. Nah, kami juga tidak tahu, rantangan itu isinya apa. Tetapi nilainya cukup besar bagi orang tua siswa," kata orang tua siswa yang meminta namanya tidak dikorankan, saat ditemui Sabtu (21/8/2010).

Orang tua siswa lainnya, saat ditemui Jumat (20/8/2010) mengungkapkan, sebenarnya tidak boleh diwajibkan. Kalau ada tidak mampu maka jangan dipaksakan. Menurut mereka, kehadiran dari drum band itu terlalu dipaksakan, harusnya dilakukan secara bertahap.

Kepala SMPN 2 Kupang, Joel Oematan, saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (21/8/2010) mengatakan, orang tua tidak boleh mengeluh kepada wartawan.

"Kalau mereka tidak setuju maka sebagai keluarga besar SMPN 2, harusnya disampaikan ke sekolah, bukan kepada wartawan. Kalau hanya lima orang tua siswa saja yang mengeluh maka keluhan ini tidak mewakili orang tua sebab jumlah siswa di sini seribu lebih," kata Oematan.

Lebih lanjut Oematan mengungkapkan, orang tua yang mengeluh adalah orang tua yang kemungkinan tidak mengikuti sosialisasi padahal pihaknya sudah melakukan sosialisasi bersama dengan komite sekolah sebanyak dua kali.

"Untuk drum band ini butuh biaya yang cukup besar. Dalam rantangan itu, tidak wajib orang tua harus membeli, tetapi setiap siswa mencari satu rantangan, dia bisa menjual kepada siapa saja, kepada tetangga, om atau tante atau keluarga lainnya. Jadi tidak harus orang tua yang mengambilnya," ungkap Oematan.

Oematan menjelaskan, kehadiran dari marching band ini sebenarnya permintaan juga dari orang tua untuk mendukung potensi yang ada di dalam siswa. "Masa' sekolah sebesar ini tidak memiliki drum band," ujarnya.

Ditemui terpisah, Kepala Dinas PPO Kota Kupang, Drs. Maxwell H Halundaka mengaku belum mendengar mengenai adanya keluhan orang tua terkait siswa-siswi diwajibkan mengambil rantangan makanan. "Nanti saya cek dulu," ujar Halundaka. (ira)

Sumber: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/51904/siswa-smpn-2-kupang-wajib-beli-rantangan

Di Atambua, Bensin Rp 10 Ribu per Liter

Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa bensin dan minyak tanaha di Kabupaten Belu, khususnya di Atambua, sejak seminggu terakhir ini mulai mengalami kelangkaan.
Hal yang sama terjadi di Kefamenanu, ibukota kabupaten Timor Tengah Utara. Akibatnya antrian kendaraan di SPBU yang ada terlihat padat.
Pantauan Timor Express, di beberapa SPBU yang ada di Atambua, kelangkaan masih saja terjadi.

Selama sepekan terakhir antrean kenderaan roda dua dan empat di SPBU-SPBU yang ada menjadi pemandangan biasa.
Bahkan, sejak Sabtu (21/8) sampai Minggu (22/8) kemarin, empat unit SPBU yang ada di Atambua terpaksa ditutup untuk sementara karena stok bensin habis.

Sementara itu harga eceran bensin di Atambua, harganya cukup mencekik. Beberapa penjual eceran menaikan harga sampai sepuluh ribu rupiah per liter. "Selama satu minggu terkahir ini di tingkat pengecer menjualnya dengan harga setengah liter lima ribu rupiah.

Sama dengan satu liter sepuluh ribu rupiah," keluh Oris Tahao, warga Atambua di bilangan Simpang Lima.
Bukan hanya itu, kelangkaan minyak tanah di Atambua saat ini pun masih terjadi.

Warga sampai saat ini masih mengeluhkan masalah kelangkaan ini. Kelangkaan BBM, berupa bensin dan minyak pun diakui oleh Vinsen Apaula Kehi Lau, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Belu.

Vinsen kemarin, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Belu tidak boleh menutup mata terhadap masalah kelangkaan BBM berupa bensin dan minyak tanah ini. Pemerintah Kabupaten Belu melalui dinas tekhnis terkait, ujar anggota Fraksi Belu Bersatu ini, perlu melakukan pemantauan lapangan untuk segera mengatasi masalah kelangkaan ini.

"Saya kira Pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas terkait dalam hal ini Dinas Perdagangan dan Perindustrian perlu melakukan pemantauan lapangan. Pemerintah Kabupaten Belu ini, memang terkesan lamban dan selalu membiarkan kelangkaan ini terjadi begitu saja.

Kalau memang ada kelangkaan maka segera umumkan di SPBU-SPBU yang ada sehingga masyarakat tidak bingung, kuatir serta mengeluh," tandas Vinsen.
Vinsen dengan tegas meminta pemerintah agar tidak "cuci tangan" dengan masalah kelangkaan BBM ini.

"Pemerintah jangan lamban dan hanya mau cuci tangan di atas pengeluhan banyak orang. Segera cari jalan keluar," tegasnya.
Hal serupa terjadi juga di Kefamenanu, ibukota kabupaten TTU.

Pelayanan BBM khususnya premium dan solar di SPBU Naisleu kota Kefamenanu selama dua hari belakangan langka. Antrian kendaraan bermotor dari berbagai jenis terlihat padat di SPBU yang ada. Hal itu disebabkan adanya keterlambatan mobil tangki dari Pertamina Kupang.

Pengawas SPBU Naisleu, Finsen Taneka yang ditemui Timor Express tadi malam membenarkan peristiwa tersendatnya pelayanan BBM kepada konsumen di wilayah kabupaten TTU dua hari terakhir.

"Kapal tanker minyak katanya terlambat sandar di pelabuhan sehingga mobil tangki yang selama ini datang antar minyak juga terlambat," jelasnya di dampingi isterinya di kediaman mereka tadi malam.

Meski demikian volume pelayanan BBM di SPBU Naisleu kata Finsen tetap stabil bahkan sedikit meningkat dari biasanya. Diakui selama dua hari belakangan sejak Jumat (20/8) hingga Sabtu kemarin dulu BBM yang masuk ke tangki SPBU Naisleu mencapai 45 ton.

"Hari Jumat sore kami dapat jatah 25 ton dan Sabtu 20 ton," jelasnya.
Meski demikian stock BBM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama dua hari lalu tetap tidak mencukupi.

Ini disebabkan oleh lambatnya pelayanan mobil tangki Pertamina di SPBU yang bersangkutan.
"Biasanya minyak belum habis di tangki mobil tanki sudah datang antar, jadi tangki selalu terisi minyak sehingga pelayanan masyarakat tetap normal," jelas pria berdarah Tionghoa itu.

Diakui pelayanan BBM kepada warga yang menggunakan jeriken maupun media lainya tetap dilakukan selama ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Langkah ini tetap dilakukan mengingat aneka alasan yang disampaikan konsumen ketika berhadapan dengan pegawai pengisi BBM di SPBU.

"Kalau kami tidak layani mereka marah, katanya mau pakai untuk sensor, genzet, tracktor dan lain-lain. Jadi kami layani saja daripada terjadi konflik mulut atau bahkan fisik dengan masyarakat," aku Finsen.

Untuk mengurangi macetnya pelayanan BBM kepada masyarakat menurut dia, mulai pagi ini pihaknya tidak akan melayani pembeli yang menggunakan jeriken. Alasanya selain jatah BBM yang akan diantar tadi malam lebih sedikit juga untuk menghindari terjadi penumpukan massa di sekitar SPBU Naislue.

"Katanya malam ini Pertamina hanya antar 10 ton jadi besok pagi kami hanya layani kendaraan saja," katanya.(onq/ogi)
Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40788

Pencemaran Laut Timor Tragedi Kemanusiaan

Upaya untuk mendapatkan penyelesaian yang wajar dan manusiawi terhadap semua kerugian akibat pencemaran di laut Timor terus dilakukan semua pihak.


Bahkan, Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) bersama beberapa komponen masyarakat dan nelayan serta warga pesisir yang dirugikan menggelar diskusi ilmiah, Sabtu kemarin di hotel Sasando Internasional.

Momentum satu tahun tumpahan minyak Montara di laut Timor itu menghadirkan, ketua YPTB, Ferdi Tanoni, Frans Tulung, P Gregor Neonbasu, SVD, P David Amfotis, SVD, Willem Wetan Songa, Damianus Talok, Yusak Riwu Rohi, Frans Sarong, Kornelis Bria, Donatus J Manehat, Hesron Hailitik serta ketua Aliansi Nelayan Tradisional Pulau Timor (Antralamor), H Mustafa dan beberapa anggotanya.

Dampak pencemaran di laut Timor saat ini bukan sekedar urusan politik dan diplomasi semata, tapi jauh lebih penting adalah persoalan kemanusiaan. “Warga kita yang tidak tahu politik dan diplomasi jadi korban permainan elit Jakarta. Karena itu berbagai perjanjian yang telah dilakukan perlu dikaji ulang,” ujar P Gregor Neonbasu, SVD.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini (pencemaran, red) merupakan bukti dari kelemahan di masa lalu dan diteruskan hingga kini.

Pernyataan doktor lulusan Australia itu kemudian menjadi salah satu dari enam poin pernyataan sikap yang dihasilkan dalam diskusi yang berlangusng kurang lebih empat jam itu.
Dalam kesempatan itu juga disepakati membentuk tim yang beranggota semua komponen yang hadir pada diskusi itu.

Pernyataan sikap ditandatangani 14 inisiator itu ditujukan kepada Presiden RI, Pemerintah Federal Australia, PTTEP Australasia dan Pemprov NTT. Dalam diskusi disimpulkan, pertama, tragedi Montara bukanlah merupakan urusan politik ataupun urusan diplomasi, juga bukanlah urusan illegal fishing dan pelintas batas.

Akan tetapi murni masalah lingkungan dan kemanusiaan yang bersifat universal yang sama kita junjung, tanpa ada batas-batas wilayah, negara dan perbedaan suku bangsa dan etnis.

Kedua, menolak cara penyelesaian ganti rugi yang disepakati oleh Tim Advokasi Pemerintah Indonesia bentukan Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.

Ketiga, menuntut PTTEP Australasia untuk membatalkan pemberian 5 juta USD sebagai uang muka ganti rugi kepada Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, dana 5 juta USD tersebut digunakan untuk mendanai sebuah investigasi independen yang menyeluruh, komprehensif dan ilmiah.

Keempat, Pemerintah Federal Australia harus bertanggungjawab sepenuhnya atas tragedi Montara dengan mendesak PTTEP Australasia untuk melakukan hal yang sama terhadap rakyat Indonesia sebagaimana juga yang dilakukan terhadap Australia yakni dengan mendanai sebuah investigasi independen yang menyeluruh, komprehensif dan ilmiah dengan melibatkan para ahli dari Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, PTTEP Australasia dan masyarakat yang selama ini diadvokasi oleh Yayasan Peduli Timor Barat beserta jaringan dan aliansinya.

Kelima, mendesak Pemerintah Australia untuk mengalihkan dana-dana bantuan Ausaid untuk Indonesia Timur melalui kantor perwakilannya di Kupang menjadi dana bantuan kemanusiaan untuk diberikan kepada masyarakat NTT yang terkena dampak dari tumpahan minyak Montara.
Keenam, mendesak Pemerintah Provinsi NTT agar bersama YPTB dan jaringan serta aliansinya untuk memperjuangkan hak-hak korban serta ganti rugi ekonomis dan ekologis. (mg9)
Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40782

H2C


Harap-harap cemas menanti roda berputar. Akankah nomor jarum menunjuk pada nomorku ketika roda berhenti berputar???

TASESE..


Ko mama ju koko ade ko batasese buat apa di situ??

NENEK JANTUNG HATI


Seorang nenek menyuapi cucunya...

Minggu, 01 Agustus 2010

PERGI KE SEKOLAH


ANAK-ANAK SEKOLAH DI DESA FATUNISUAN, MIOMAFO BARAT, TIMOR TENGAH UTARA, BERPAYUNG DAUN PISANG KE SEKOLAH

MENATAP SENJA



MENATAP SENJA DI PANTAI KELAPA LIMA, KUPANG

Ketika Orang Tua Murid vs Guru

(Sebuah Refleksi dari Hari Anak Nasional dan Tahun Ajaran Baru)
Sejak keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional, 23 Juli dikukuhkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan HAN diselenggarakan setiap tahun sejak 1986 hingga kini. Pada 23 Juli 2010, HAN dirayakan untuk ke 24 kali. Tema perayaan HAN kali ini adalah “Anak Indonesia Belajar Untuk Masa Depan” dan subtemanya "Kami Anak Indonesia, Jujur, Berakhlak Mulia, Sehat, Cerdas Dan Berprestasi". Subtema HAN tersebut mencerminkaan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas).
Tema dan subtema di atas menggambarkan kobaran tekad para anak Indonesia untuk meraih masa depan yang gemilang. Dalam konteks ulasan ini, yang dimaksud dengan anak Indonesia yakni para siswa-siswi atau murid yang sementara menggeluti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan. Para anak ini dalam proses belajar demi masa depan serta dalam proses belajar untuk jujur, berakhlak mulia, sehat, cerdas dan berprestasi, mereka membutuhkan salah satu komponen pendidikan yaitu guru.
Guru tentu dibutuhkan oleh mereka karena guru merupakan salah satu elemen pendidikan yang menjalankan roda pendidikan. Guru yang adalah pendidik bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan (ayat 2, pasal 39 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas). Tugas guru memang seperti itu namun entah apa jadinya ketika guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, terpaksa harus berurusan dengan aparat hukum karena menjadi pelaku atau korban kekerasan.
Dalam momentum perayaaan HAN dan perguliran proses belajar mengajar dalam tahun ajaran baru ini yang sudah berjalan, ada satu berita kekerasan dalam dunia pendidikan yang menggelikan namun patut direfleksikan para guru serta orang tua murid dimanapun dan kapanpun berada. Seorang guru SDN Oepoi, Kota Kupang dilaporkan ke polisi lantaran menarik rambut muridnya yang membuat keributan di kelas walau sudah ditegur. Sementara itu, sang guru juga melaporkan orang tua siswa bersangkutan karena telah menamparnya. Orang tua siswa itu menampar guru tersebut setelah si anak mengadu kalau telah dianiaya gurunya (Timor Express, 22 Juli 2010).
Beranjak dari tragedi komedi pendidikan tersebut, ada tiga pertanyaan yang patut direnungkan. Pertama, mengapa murid itu membuat keributan di kelas walau sudah ditegur? Keributan di kelas yang berakar dari para murid saat pembelajaran berlangsung adalah pemandangan biasa yang sering dan harus dihadapi para guru, mulai dari kelompok bermain sampai jenjang SMA. Menurut Dr. Marthen Pali, M.Psi dalam artikelnya Tinjauan Psikologi tentang Remaja dan Permasalahannya, anak memiliki beberapa dorongan (wishes) dan salah satunya adalah dorongan untuk mendapat perhatian atau mendapat balasan dari orang lain (the wish for response). Ketika ada dorongan maka keributan bisa menjadi salah satu pilihan agar mendapat respon dari orang lain.
Di sisi lain, keributan yang selalu dilecutkan para murid patut dimaknai sebagai sinyal bagi seorang guru untuk cepat mengoreksi cara mengajarnya. Apakah membosankan atau menyenangkan? Salah satu akibat dari kebosanan murid dalam belajar yakni membuat keributan di kelas seperti dengan bercerita bersama temannya atau mengganggu temannya.
Kedua, mengapa guru mencubit siswa? Guru adalah manusia yang memiliki batas kesabaran. Ketika sang guru sudah berulang kali menegur muridnya yang ribut tetapi murid itu masih saja ribut maka kesempatan bagi guru untuk naik tangan terbuka lebar. Cubitan serta hukuman lain yang dilakukan guru terhadap siswa yang dinilai tidak disiplin atau melanggar aturan merupakan sebuah prinsip belajar dari Burrhus Frederic Skinner, seorang tokoh behaviorisme. Prinsip belajar tersebut yaitu punishment yang merupakan pemberian situasi tidak menyenangkan untuk menurunkan tingkah laku (Baharudin dan Wahyuni, 2008:74) seperti terurai dalam buku Teori Belajar & Pembelajaran. Dengan demikian, ketika seorang guru mencubit atau menjewer muridnya yang membuat keributan di kelas agar kelakuan murid tersebut dikurangi atau jangan diulangi lagi. Apesnya kalau punishment tersebut divonis sebagai kekerasan terhadap anak.
Kalau akhirnya punishment dihakimi sebagai sebuah tindakan kekerasan, bukankah masih ada prinsip belajar lain yakni reinforcement. Prinsip belajar ini sebagai konsekuensi yang menguatkan perilaku. Misalnya, setiap kali pelajaran sedang berlangsung ada murid yang sering membuat kegaduhan, guru dapat memberi mengatakan kepadanya jika anak itu disiplin mengikuti pelajaran maka akan ditraktir jajan. Saat reinforcement berhasil maka harus dipenuhi dengan benar membelikan jajan baginya. Apabila reinforcementnya gagal, guru perlu mengganti reinforcement sesuai kebutuhan siswa.
Selain hal di atas, kalau guru sudah tahu bahwa gaya mengajarnya membosankan atau membuat siswa tertekan sehingga siswa membuat ulah di kelas, guru hendaknya menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan kreatif (PAKEIM). Ada juga satu metode pembelajaran modern dengan pola belajar menyenangkan yang diperkenalkan oleh Pdt. Pdt. Johny Kilapong, S.Th, MA yaitu medote GATIF (Gampang, Asyik dan Kreatif). Kalau pelajarannya gampang, akan ada keasyikan atau kesenangan. Untuk itu guru harus kreatif mengelola suasana di kelas misalnya ada games ketika guru mengajar (Pos Kupang, 23 November 2008). Penciptaan suasana seperti itu telah diamanatkan dalam ayat 2, pasal 40 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas bahwa pendidik wajib menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Ketiga, mengapa orang tua langsung memukul guru lantaran laporan anaknya atau mempolisikan guru?
Entah berapa banyak guru yang sudah babak belur dihajar orang tua siswa dan entah berapa banyak pula guru yang telah dijebloskan ke penjara karena telah menjewer sampai menampar muridnya. Sejak terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, berita tentang guru yang menjadi korban pemukulan oleh orang tua siswa bahkan berstatus tersangka selalu kita jumpai di media massa. Apakah mentang-mentang ada UU tersebut lalu baru menjewer telinga muridnya saja, seorang guru harus dipolisikan orang tua murid? Terlalu tergesa-gesa kalau orang tua langsung membawa masalah seperti itu ke pihak kepolisian. Alangkah baiknya jika diselesaikan secara internal di sekolah. Orang tua harusnya bersikap lebih dingin bukannya terprovokasi dengan rengekan anaknya bahwa telah dianiaya gurunya di sekolah. Kalau sampai terprovokasi dan tidak mengontrol emosi maka orang tua dapat menghajar guru bersangkutan. Akhirnya orang tua itu harus berurusan dengan polisi.
Kiranya peristiwa saling melaporkan kepada polisi antara orang tua murid dan guru tersebut dalam momentum perayaan Hari Anak Nasional dan di awal tahun ajaran baru, membuat para guru dan orang tua murid sejenak merenung, menghikmahinya serta memilih tindakan yang tepat demi kecerahan masa depan si murid atau si anak.