Rabu, 22 September 2010

MUI: Tidak Mudah Bangun Masjid di NTT

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Amidhan mengatakan, Peraturan Bersama Menteri (PBM) atau Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yakni Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 masih sangat dibutuhkan untuk mengatur... umat beragama dalam menjalankan kehidupan beragama. Amidhan menilai bahwa tidak ada yang diskriminatif dalam PBM atau SKB Menag maupun Mendagri.

Amidhan mengatakan, PBM atau SKB dua menteri itu sudah jelas mengatur umat beragama khususnya dalam mendirikan/membangun rumah ibadat. Terkait dengan keputusan itu, Amidhan membeberkan juga bahwa dibeberapa daerah, seperti di NTT, Bali, Sulawesi Utara maupun Papua, umat Islam juga kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah karena aturan itu.

"Bagi umat muslim di sebagian wilayah, membangun masjid juga tidak mudah seperti di Papua, NTT, Bali dan Sulawesi Utara. Tidak mudah itu," ungkap Amidhan saat dialog di Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Selasa (21/9).

Amidhan mengisahkan, sebelum ada PBM ini, pihaknya pernah mendapat keluhan dari umat Islam di Bali yang mana menyebutkan kalau mereka kesulitan membangun masjid di pulau Dewata itu. "Waktu itu pemda Bali memberlakukan syarat seratus orang jika ingin mendirikan rumah ibadah. Tapi kata saya, kalau memang peraturannya demikian ya diikuti saja," ujar Amidhan.

Tak hanya itu. Amidhan juga mengisahkan bahwa umat muslim di Timor Timur pernah mendapat bantuan dana untuk membangun masjid di Timtim. Namun disadarinya, tidak akan bisa membangun masjid di Timtim sebab syarat yang diberlakukan untuk membangun masjid tidak terpenuhi. "Akhirnya kami akali dengan membangun madrasah. Ijin madrasah kan sebagai sarana pendidikan, itu bisa. Itu di Timtim," katanya.

Dari beberapa fakta yang dibeberkan itu, Amidhan mengatakan bahwa adanya alasan diskriminatif dalam peraturan tersebut tidaklah mendasar.
Dengan adanya PBM ini, demikian Amidhan, umat beragama akan saling menghormati satu sama lain. Sebab, peraturan tersebut sudah disepakati oleh seluruh majelis agama di Indonesia.
"Kalau soal kebebasan beragama, saya kira bisa mengumumkan kepada dunia, di Indonesia ini untuk menjalankan kebebasan beragama itu sudah dari dulu. Dan benar-benar menjadi surga bagi umat beragama, tidak ada pelarangan, penghadangan, cuma saja tempat-tempatnya itu harus diatur," pungkas Amidhan.

Sebelumnya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Andreas A. Yewangoe mengatakan bahwa, PBM atau SKB dua menteri terkait pendirian rumah ibadah itu masih dibutuhkan, namun perlu ditinjau kembali beberapa pasal yang dinilainya cukup mengekang kebebasan umat mendirikan tempat ibadah.

Pdt. Yewangoe juga tidak menginginkan agar aturan mengenai pendirian rumah ibadah itu dihilangkan sama sekali, sebab didalam negara ini harus ada yang diatur. "Tidak bisa serampangan saja. Membangun rumah tinggal saja perlu IMB, rumah ibadah pun demikian harus ada aturannya. Asal aturannya tidak terlalu mengekang sehingga orang tidak bisa beribadah karena tidak ada rumah ibadah. Konstitusi sudah jelas mengatur kebebesan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara, karena itu negara wajib menjamin kebebasan tersebut," tandas Pdt. Yewangoe.

Sementara itu, Menag RI, Suryadharma Ali mengatakan mendukung agar SKB Menag dan Mendagri tentang pendirian rumah ibadah ditingkatkan menjadi undang-undang sehingga ada sanksi yang mengikat bagi yang melakukan pelanggaran.

"Saya kira kalau ditingkatkan menjadi Undang-undang itu lebih bagus," kata Suryadharma Ali sesaat sebelum mengikuti raker bersama Komisi VIII DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/9).

Suryadharma menolak jika SKB dua menteri itu harus dicabut. Alasannya, persoalan yang terjadi di Ciketing, Kota Bekasi bukan karena SKB dua menteri, namun karena tidak adanya kepatuhan terhadap aturan.

"Ada usulan agar SKB dua menteri itu dicabut. Bagi saya, persoalannya bukan di situ. Karena SKB di tempat-tempat lain, oke-oke aja. Ciketing itu sekali lagi, bukan persoalan SKB, bukan persoalan konflik antar agama. Ini harus digarisbawahi. Tetapi persoalan kepatuhan tentang rumah ibadah," jelasnya.

Suryadharma menjelaskan bila terjadi pelanggaran oleh sekelompok orang terhadap aturan bukan aturannya yang lantas dicabut. "Sekarang bagaimana kalau sekelompok orang lagi yang melakukan Undang-undang atau peraturan, (apakah) lalu peraturan yang di rubah. Jadi tidak ketemu logikanya," tegasnya.

Suryadharma menekankan bahwa SKB yang ada itu tidak dilakukan sepihak hanya antara Menag dan Mendagri, namun didasarkan pada musyawarah dan melibatkan majelis-majelis agama se Indonesia.

Dibagian lain, pada rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II kemarin (21/9), sejumlah anggota DPR mendesak pemerintah agar SKB dua menteri itu dikaji ulang.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, sejumlah anggota melakukan interupsi untuk menyampaikan pendapatnya untuk mengkaji ulang SKB tersebut.

Mereka yang melakukan interupsi itu antara lain, Edison Betaubun, Melchias Markus Mekeng, Anton Sihombing yang berasal dari Fraksi artai Golkar, dan Teguh Juwarno dari Fraksi PAN.
Edison Betaubun (F-PG) mengatakan, SKB dua menteri tersebut bertentangan dengan konstitusi. "Isi SKB itu bukan mengatur pembangunan rumah ibadah tetapi membatasi pembangunan tempat ibadah," ungkapnya.

SKB, kata Edison, idak memiliki daya ikat secara hukum. Hal itu yang harus menjadi perhatian dari pemerintah. Dia menambahkan, pemerintah harus segera mencabut SKB karena isinya bertentangan dengan semangat kebebasan beribadah. "Mari kita bersama-sama mencari solusi yang baik agar negara tidak dikalahkan oleh kelompok tertentu," paparnya.

Sementara itu, Melchias Marcus Mekeng menyebutkan bahwa dirinya akan menginisiasi anggota dewan untuk menyusun UU tentang tempat beribadah. "kita akan segera menginisiasi seluruh anggota dewan agar membuat UU tempat beribadah, apabila kita masih mau mengakui UUD 45 dan Pancasila kita tidak boleh diam saja dan hanya memikirkan sesuatu yang parsial tetapi tidak melihat hal yang mendasar," katanya.

Sedangkan Teguh Juwarno (F-PAN) mengharapkan agar interupsi anggota dewan dapat menjadi catatan bersama, dan berharap agar seluruh anggota dewan memiliki perspektif yang sama terkait persoalan penusukan jemaat HKBP Ciketing-Bekasi. "Kita sepakat, kekerasan apapun tidak boleh terjadi di negeri ini. Persoalan ini sungguh menjadi keprihatinan bersama. Persoalan melaksanakan beribadah merupakan hak konstitusional dan individu," ungkapnya.
Menyikapi ini, Wakil Ketua DPR, Pramono Anung mengatakan bahwa, persoalan SKB dua menteri tersebut lebih tepat dibahas di Komisi VIII yang membidangi agama.

Untuk diketahui, dalam PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan No 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, dalam pasal 13 ayat (1) disebutkan, pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

Dalam pasal 14 ayat (2), pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus yakni, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Selain itu, dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang, mendapatkan rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.(aln/fmc)

http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40971

Selasa, 14 September 2010

Kronologi Penusukan Jemaat HKBP

Kapolres Bekasi Kombes Pol Imam Sugiarto mengatakan masih terus melakukan penyelidkan kasus penusukan Hasean Lumbantoruan Sihombing (sebelumnya Afian Sihombing) jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi.

"Kami masih terus melakukan penyelidikan dengan memeriksa saksi dan keluarga korban,"katanya saat dihubungi okezone, Minggu (12/9/2010).

Kapolres kemudian menyebutkan kronologis penusukan tersebut. Dimana sekitar pukul 08.40 Wib korban bersama jemaat lainnya yang berjumlah sekitar 100 orang berjalan ke Ciketing Asem untuk menuju tempat ibadah.

Namun dari tiba-tiba dari arah berlawan ada sekitar empat motor yang dikemudikan dengan saling berboncengan melintas. Selanjutnya dari delapan orang tersebut, satu orang turun dan langsung menusuk Hasean.

Melihat kejadian tersebut pendeta Luspida langsung mencoba menolongnya karena berdekatan. Pelaku kemudian langsung melarikan diri dan korban langsung dilarikan ke rumah sakit.

"Ini merupakan kriminal murni," katanya.

http://news.okezone.com/read/2010/09/12/338/371772/kronologi-penusukan-jemaat-hkbp

Penusukan Jemaat HKBP Bisa Jadi Momentum SBY Buktikan Retorikanya

Penusukan pada jemaat yang duduk dalam majelis HKBP Pondok Timur Indah Asia Sihombing dikecam berbagai kalangan. Namun peristiwa ini dinilai bisa menjadi momentum bagi Presiden SBY untuk membuktikan retorikanya.

"Ini adalah momentum bagi pemerintahan SBY untuk membuktikan retorikanya untuk merawat dan menjaga perdamaian dan keberagaman di tanah air," ujar Ketua Setara Institut Hendardi dalam keterangan tertulisnya kepada detikcom, Minggu (12/9/2010).

Kepolisian pun didesak agar segera mengusut tuntas tindak kekerasan tersebut. Setara Institute khawatir peristiwa kriminal yang menimpa jemaat HKBP akan menjadi gelap dan tidak terusut.

"Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada Harian Tempo dan aktivis ICW," sambung Hendardi.

Meski mendapat kekerasan, namun Hendardi berharap jemaat HKBP bisa menahan diri dan tetap memperjuangkan hak-hak sipilnya dengan damai. Dia pun menyuport para jemaat agar terus maju.

Sebelumnya, pada Minggu (12/9) sekitar pukul 09.05 WIB, Asia Sihombing, anggota majelis HKBP Pondok Timur Indah, Bekasiyang sedang berjalan beriringan dengan jemaat lainnya ditusuk perutnya oleh orang tidak dikenal. Pelaku berboncengan mengendarai sepeda motor. Lokasi kejadian di sekitar daerah Ciketing Mustika Jaya. Akibat peristiwa tersebut, Sihombing kehilangan cukup banyak darah. Kini dia masih dirawat RS Mitra Bekasi.

Selain menusuk Sihombing, pelaku juga memukul Pendeta Luspida Simanjuntak hingga terluka. Usai melakukan aksi kekerasan tersebut, para pelaku langsung kabur.

http://us.detiknews.com/read/2010/09/12/180608/1439567/10/penusukan-jemaat-hkbp-bisa-jadi-momentum-sby-buktikan-retorikanya?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Presiden Bahas Penusukan Pemuka HKBP

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (14/9/2010) memanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri untuk meminta laporan terkait penanganan kasus kekerasan terhadap dua pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Hasian Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak.

Menko Polhukam dan Kapolri dijadwalkan menghadap Presiden di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa pagi. "Presiden ingin mendapatkan laporan penanganan peristiwa HKBP," kata Julian ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (14/9/2010).

Selain itu, Presiden juga akan menerima para pemuka agama yang ada di Indonesia. Rencananya, Presiden akan memberikan pernyataan terkait insiden yang terjadi pada Minggu (12/9/2010) di Mekarjaya, Bekasi.

Sebelumnya, Presiden memang dikritik karena tidak memberikan pernyataan tegas terkait kekerasan yang menimpa kedua pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah. Padahal, ketika rencana pembakaran Al Quran yang akan digelar di Florida, Presiden menyempatkan diri memberikan pernyataan tegas.

Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadi, misalnya, melalui situs mikrobloging Twitter, mempertanyakan sikap Presiden terhadap kemelut kebebasan beragama di Indonesia. "Responmu cepat sikapi pendeta Jones. Highly appreciated for that. Tapi, mengapa kau tak pakai standar yang sama untuk meredam anarkisme terhadap Ahmadiyah dan HKBP," tulis Burhanuddin.

Di situs jejaring sosial Facebook, para facebooker juga ramai menulis di status mereka soal sikap Presiden terhadap peristiwa yang terjadi di negeri sendiri. Seorang facebooker, Widyaputranto, misalnya, menulis pada status-nya, "SBY berani enggak bikin jumpa pers mengecam pembakaran gereja di Indonesia, kekerasan terhadap Ahmadiyah, kebebasan beragama, kebebasan membangun rumah ibadat di Indonesia? Jangan cuma numpang isu untuk kepentingan pencitraan aja...giliran urusan pencitraan cepet banget reaksinya...langsung pidato...."

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/14/09322723/Presiden.Bahas.Penusukan.Pemuka.HKBP

SBY: Saya Prihatin dengan Insiden HKBP

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya buka suara terkait insiden penganiayaan terhadap dua pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Mekarjaya, Kota Bekasi, yang terjadi hari Minggu (14/9/2010). Presiden mengaku prihatin atas tindak kekerasan yang menimpa Hasian Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak.

"Mengapa saya prihatin? Karena justru kita harus senantiasa menjaga kerukunan dan hubungan baik di antara umat beragama dan kita mencegah aksi-aksi kekerasan di masyarakat," kata Presiden kepada para wartawan seusai menerima Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Kepala Polri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, dan Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat.

Pada kesempatan itu, Presiden sempat menjelaskan duduk perkara sebenarnya berdasarkan laporan yang diterima dari Menko Polhukam dan Kapolri. "Secara garis besar, sebagaimana yang dilaporkan kepada saya pagi ini, ada permasalahan berkaitan dengan tempat ibadah bagi jemaat HKBP. Sebenarnya, rumah yang dijadikan tempat ibadah agama itu, oleh warga di kompleks perumahan itu, selama 19 tahun telah diberikan, katakanlah, toleransi untuk melakukan ibadah kegiatan agamanya karena masyarakat berpedoman perumahan tentu bukan tempat ibadah," kata Presiden.

"Sembilan belas tahun tidak ada masalah apa-apa. Walau demikian, ketika jemaat itu makin besar dan kegiatan ibadahnya makin intens, maka warga berpendapat, sebaiknya dicarikan tempat lain untuk menjalankan ibadah itu. Sampai titik itu, sebenarnya, tidak ada kekerasan apa pun. Yang diinginkan adalah sebuah solusi," kata Presiden.

"Namun ternyata solusi juga tidak selalu mudah didapatkan sehingga pemerintah daerah telah melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi masalah itu. Tetapi kenyataannya memang belum ditemukan solusi yang tepat. Pada tingkat pemerintah pusat, dipimpin Menko Polhukam, sebenarnya sudah dilakukan pertemuan yang lebih terpadu dengan tujuan mencari solusi yang paling tepat. Sementara solusi yang diinginkan belum didapatkan, ketegangan masih ada. Jemaat HKBP yang ada di situ memilih untuk beribadah di tempat tertentu. Ini ternyata juga masih menyisakan ketegangan. Terjadilah insiden pada hari minggu 12 September itu," kata Presiden.

Menyusul adanya insiden ini, Presiden meminta kepolisian, Pemerintah Kota Bekasi, Bupati Bekasi, PGI, dan para pemuka agama untuk mengambil langkah-langkah lanjutan.

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/14/12320723/SBY.Saya.Prihatin.dengan.Insiden.HKBP-4