Senin, 31 Mei 2010

11 Kabupaten Serahkan Hasil Scanning

KUPANG, Timex-Sebanyak 11 kabupaten telah menyerahkan hasil scan terhadap naskah lembar jawaban peserta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) 2010. Sedangkan batas penyerahan scanning pada minggu kedua bulan Juni.

Demikian dijelaskan Ketua Panitia UN 2010 NTT, Nyoman Mertha Yasa kepada Timor Express, Senin (31/5). Nyoman dikonfirmasi terkait perkembangan proses scanning hasil UASBN 2010 NTT. "Sementara ini naskah sedang discan di masing-masing kabupaten. Dan nanti setelah itu baru diserahkan kepada kita untuk proses selanjutnya yakni skoring. Sekarang baru 11 kabupaten yang menyerahkan hasil scanning," jelas Nyoman.

Nyoman juga menambahkan, dalam proses scanning untuk mengetahui hasil kerja perserta itu, tidak mengalami kendala yang berarti. Sedangkan untuk proses selanjutnya, lanjut Nyoman, setelah terkumpul dari semua kabupaten, Dinas PPO NTT akan melakukan skoring untuk mengetahui nilai masing-masing peserta. "Untuk batas akhir skoring pada akhir bulan Juni,” terang Nyoman yang menambahkan pengumuman hasil UASBN akan dilakukan pada akhir bulan Juni.

Sementara itu, Ketua Rayon III Kota Kupang, Ismael Paulus Non kepada koran ini, Rabu pekan lalu menjelaskan, hasil Ujian Sekolah (US) untuk wilayah Kota Kupang telah diperiksa. Pelaksanaan pemeriksaan dibagi menurut rayon, yakni terdiri dari empat rayon sesuai jumlah kecamatan. "Pelaksanaan US pada tanggal 17 sampai 22 Mei lalu itu juga bertujuan untuk menunjang hasil UASBN. Sehingga siswa kelas enam perlu mengikuti ujian sekolah yang terdiri dari empat mata pelajaran, yakni Agama, IPS, PKn dan Muatan Lokal," jelas Ismael.

Ia menambahkan, pemeriksaan dilaksanakan selama dua hari yakni 25 sampai 26 Mei lalu. Dan di rayon III, terdapat 1.843 peserta yang berasal dari 40 sekolah. Sedangakan untuk sistim pemeriksaan, digunakan sistim nomor sandi, sehingga untuk rayon III, terbagi menjadi empat kelompok untuk kemudian masing-masing kelompok menangani 10 sekolah. Kepala Sekolah SD Negeri Oetete I itu mengatakan, bahan US tingkat SD disusun oleh guru pilihan melalui Dinas PPO dan sesuai standar kelulusan yakni 5,0. (mg9)

Sumber:http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=39917

Undana Tambah Dua Guru Besar

KUPANG, Timex - Universitas Nusa Cendana (Undana) menambah dua guru besar. Sabtu (29/5), Jimmy Pello dan Ricky Gimin dikukuhkan sebagai guru besar oleh Rektor Undana, Frans Umbu Datta di aula Undana. Dengan demikian, Undana sudah memiliki 24 guru besar.

Jimmy Pello mencatat sejarah sebagai dosen pertama Fakultas Hukum Undana yang meraih gelar profesor. Jimmy Pello dikukuhkan sebagai guru besar hukum lingkungan. Sementara, Ricky Gimin adalah guru besar ketiga Fakultas Pertanian Undana. Ricky meraih profesor dalam bidang manajemen produksi pembenihan ikan.

Upacara pengukuhan guru besar kemarin tergolong istimewa bagi Undana, khususnya Fakultas Hukum. Hal itu karena dilakukan untuk dua guru besar sekaligus dan untuk pertama bagi Fakultas Hukum. Ratusan undangan hadir dalam upacara tersebut yang dimeriahkan oleh musik sasando dan paduan suara Undana. Sebelum masuk ke ruang upacara, diawali dengan tarian daerah dari Sumba untuk Ricky Gimin dan dari Rote untuk Jimmy Pello.

Pidato pengukuhan guru besar Jimmy Pello dengan judul, kontradiksi pengaturan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Sementara Ricky Gimin dengan judul, potensi pemanfaatan teknologi perbenihan untuk mendukung akuakultur restorasi dalam rangka konservasi sumberdaya perikanan.

Jimmy Pello dalam pidatonya mengatakan, hukum sebagai instrumen lingkungan hidup merupakan suatu upaya untuk melindungi lingkungan hidup di Indonesia. "Upaya pembentukan hukum lingkungan Indonesia harus berkaitan dengan hukum lingkungan internasional dan hukum lingkungan daerah.

Namun, masih dijumpai dalam ketentuan hukum lingkungan Indonesia yang kurang memperlihatkan ciri hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada kepentingan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat," kata Jimmy.

Pengaturan hukum lingkungan di daerah katanya, berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah sering timbul konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya alam setempat. Hal yang sama terjadi di NTT mengenai perburuan satwa yang dilindungi hukum terus berlanjut khusus penyu sisik, ikan paus biru, ikan lumba-lumba, rusa timor dan buaya.

Hal lain yang dikritisi adalah mengenai eksekusi tanah yang dipersoalkan adalah kepemilikan tanah, namun yang dieksekusi termasuk pohon-pohon besar yang ada di atas bidang tanah sengketa tersebut. "Hal ini nampak rendahnya kesadaran hukum masyarakat dan keterbatasan kemampuan memahami ekologi dan lingkungan," kata Doktor jebolan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.

"Patut juga menjadi catatan sering terjadi toleransi yang tinggi dari penegak hukum di daerah terhadap pelaku pengrusakan komponen lingkunagn hidup," lanjutnya. Orasi ilmiah itu juga mengkritisi beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Kupang seperti Perda Kota Kupang mengenai ruang terbuka hijau, Perda tempat pemakaman umum dan Perda pemondokan.

Menurut Jimmy, Perda itu sulit ditegakan aparatur karena materi hukumnya kabur dan bertentangan. "Contoh, pengaturan Pasal 11 Perda Ruang Terbuka Hijau Nomor 7 Tahun 2000 berbunyai, dilarang melakukan kegiatan pembangunan kecuali bangunan yang menunjang RTH. Sedangkan, Pasal 14 dan 15 memberikan izin penebangan pohon," katanya.

Jimmy juga mengkritisi beberapa UU yang menurutnya tidak mendukung UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) antar lain hubungan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH dengan UUD 1945. Dalam UU itu katanya, hal yang dilihat adalah mengenai wewenang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dimana pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nasional dan daerah jelas memperlihatkan azas dekosentarsi dan azas tugas pembantuan.

Sedangkan, aspek wewenang dalam UUPPLH lebih mengedepankan azas desentralisasi dan azas otonomi daerah. "Seharusnya UUPPLH lebih mengedepankan azas dekosentrasi lalu diikuti dengan azas desentralisasi dan azas tugas pembantuan. Dimana akan berpengaruh pula kepada kelembagaan pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia," katanya.

Sementara, Ricky Gimin dalam pidatonya mengatakan, pertumbuhan penduduk dunia menyebabkan permintaan akan produk perikanan semakin besar. Kondisi ini ditambah dengan perubahan diet dari daging ternak ke produk perikanan, terutama di negara maju membuat permintaan akan produk perikanan semakin meningkat.

Di Indonesia lanjut Ricky, pemerintah berusaha meningkatkan konsumsi ikan secara bertahap dari 7 kh/kapita/tahun di awal tahun 2000 menjadi sekira 30 kg/kapita/tahun pada akhir tahun 2010. Untuk mencapai target ini, kata Ricky, telah dilakukan berbagai upaya terutama melalui budidaya perikanan.

Namun, menurutnya stok perikanan tangkap di Indonesia akan terus mengalami penurunan jika tingkat eksploitasi saat ini tidak dikendalikan. Untuk itu diperlukan restorasi habitat. Khusus NTT lanjutnya, overfishing dan kepunahan spesies mendapat perhatian pemerintah pusat dan lembaga independen lainnya. Karena itu ia mengharapkan peran seluruh masyarakat NTT untuk menjaga kelestarian ikan terutama untuk spesies yang terancam pundah.

Rektor Undana, Frans Umbu Datta dalam sambutannya memberi apresiasi khusus kepada dua guru besar tersebut. Umbu Datta mengatakan, penambahan dua guru besar tersebut menambah jumlah guru besar Undana menjadi 24 orang. "Keberadaan guru besar di sebuah lembaga perguruan tinggi sangat penting agar perguruan tinggi itu lebih berwibawa," kata Umbu Datta.

Karena itu, rektor Undana dua periode ini mengaku sejak tahun 2006 lalu terus mendorong Doktor di Undana untuk berupaya menjadi guru besar. Dalam kurun waktu tersebut kata Umbu Datta, sudah 13 guru besar dikukuhkan. "Saya terus mendorong para Doktor di Undana untuk menjadi guru besar karena akan meningkatkan kinerja akademik dan membawa perubahan kesejahteraan bagi guru besar bersangkutan," ujarnya. (ito)

Sumber:http://www.timorexpress.com/

Sabtu, 29 Mei 2010

Dr. Sirilus Belen: Tas Anak Sekolah NTT Kempes

SEMUA meradang ketika tahu hasil UN NTT jeblok. SLTP maupun SLTA sama saja. Hancur. Semua mata tertuju ke NTT. Sulit dimengerti hasil itu. Karena Papua yang selama ini paling buruk, tahun ini lebih baik hasilnya dari NTT.

Bodohkah anak-anak NTT? Walahualam! Keprihatinan itu juga begitu memukul satu orang NTT di Depdiknas, namanya Dr. Sirilus Belen. Bagaimana tidak terpukul? Sirilus, boleh dibilang, salah seorang mastermind di Balitbang Depdiknas. Merekalah yang berada di dapur Depdiknas yang kerjanya merancang, menyusun dan memperkenalkan kurikulum, metode pengajaran dan juga bahan ajar untuk sekolah- sekolah di Indonesia.

Sirilus sudah sangat menyatu dengan dunia pendidikan. Seperti ikan dan air saja. Dia terbang ke begitu banyak daerah hingga ke pelosok-pelosok tanah air untuk memajukan dunia pendidikan. Masuk akal kalau dia menjerit menyaksikan hasil UN NTT kali ini. Bagaimana pandangannya tentang pendidikan, khususnya pendidikan di NTT? Melalui facebook, Sirilus menjawab sejumlah pertanyaan Tony Kleden dari Pos Kupang.


Hasil UN NTT, baik SLTP maupun SLTA, tahun ini jeblok. Apa komentar Anda?
Benar benar memalukan. Karena prestasi siswa-siswa Papua ternyata lebih baik daripada prestasi siswa NTT. Jika kita browse internet, jelas tergambar bahwa pada hasil UN SMA tahun 2008 NTT juga berada di nomor buntut. Pak John Manulangga waktu itu memberi komentar faktor penyebabnya dan koran koran lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos memberitakan aneka tanggapan dari berbagai kalangan pendidikan yang relevan. Tapi, setelah UN berlalu, seperti biasa orang cepat melupakan tragedi ini. Dan, kita kembali ke business as usual, seperti tak ada apa apa, tak ada masalah.

Apa dan siapa yang salah?
Yang jelas salah adalah komandan pendidikan di NTT. Jika di propinsi, ya Kepala Dinas PPO NTT, dan di kabupaten/kota ya Kepala Dinas PPO kabupaten/kota. Karena, kepala dinas adalah pemimpin dan manejer pendidikan. Kepala dinas punya pasukan, yaitu kantor dinas yang didukung para pengawas yang bertugas membina sekolah. Kepala dinas juga punya wewenang untuk menggelontorkan dana pendidikan untuk berbagai keperluan. Walaupun lebih banyak sekolah swasta di NTT dibandingkan sekolah negeri tapi terbanyak guru sekolah swasta adalah PNS. Dan, yayasan pendidikan swasta kini menjadi macan ompong karena yang membayar gaji mereka adalah pemerintah.

Kalau kita telusuri lagi untuk mencari siapa yang salah, kita wajar bertanya siapa yang mengangkat kepala dinas pendidikan yang kurang kompeten, yang mungkin tidak berlatar belakang karier dari dunia pendidikan, atau yang berlatar belakang karier dari dunia pendidikan tapi kurang memiliki komitmen atau kurang bertanggung jawab. Jika kita lihat dari bawah ke atas, yang salah di tingkat akar rumput, ya kepala sekolah yang paling salah dan kemudian guru yang juga salah.

Apakah hasil itu juga mencerminkan taraf kemampuan intelektual anak anak NTT?
Jika kemampuan intelektual diartikan kecerdasan intelektual yang biasanya disebut IQ, menurut saya, hasil UN ini tidak mencerminkan tingkat kecerdasan intelektual anak anak NTT. Tingkat IQ anak adalah bawaan sejak lahir sehingga hasil ujian apa pun tidak mencerminkan IQ. Tingkat IQ yang tinggi akan terekspresikan jika kondisi lingkungan pendidikan di rumah dan di sekolah mendukung pemupukan dan peningkatan kecerdasan intelektual itu.

Seorang anak yang lahir sebagai insan jenius bisa saja tidak diketahui jika kondisi rumah dan sekolah tidak mendorong munculnya kejeniusan anak. Karena itu, banyak jenius yang berakhir sebagai gelandangan atau orang yang gagal dalam pekerjaan dan kehidupannya. Albert Einstein yang hebat itu pernah tidak lulus ujian SMA di Swiss karena mendapat nilai merah pada ujian matematika dan fisika. Ia harus belajar lagi sambil indekos di rumah kepala sekolahnya di sebuah kota lain dan kemudian baru lulus setelah menempuh ujian SMA pada kali kedua.

Lantas, faktor determinan apa yang jadi penyebab hasil UN yang buruk itu?
Ada banyak faktor. Pertama, inkompetensi kepala sekolah dan guru. Umumnya kepala sekolah diangkat dari para guru. Dan, tidak ada pendidikan khusus guru untuk menjadi kepala sekolah setelah program studi administrasi/manajemen pendidikan dihapus pada tingkat S1 di fakultas ilmu pendidikan universitas, cq. Universitas Nusa Cendana. Untuk guru SD ada PGSD dan untuk guru SMP, SMA, dan SMK ada FKIP universitas. Menurut pengamatan saya, dibandingkan dengan PGSD dan FKIP universitas yang bermutu di Jawa, mutu PGSD dan FKIP universitas-universitas di NTT masih memrihatinkan. Kedua, kurangnya tanggung jawab tugas seorang kepala sekolah dan guru serta kurangnya disiplin di sekolah.

Kedua hal ini disebabkan oleh tidak diterapkannya imbalan (reward) dan sanksi (punishment) yang tegas dan kurangnya pengawasan atau kontrol pengawas sekolah sebagai perpanjangan tangan dinas pendidikan.

Ketiga, kurangnya transparansi keuangan dan akuntabilitas penggunaan dana pendidikan baik dari sumber pemerintah maupun orangtua siswa.

Keempat, strategi pembinaan guru melalui penataran ternyata tidak membawa perubahan signifikan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Jika Anda mengambil guru dan menatarnya di lokasi penataran, Anda hanya mengubah variabel guru tapi tidak mengubah variabel-variabel penentu mutu di sekolah.

Bagaimana mesti membenahinya?
Menurut saya, masalah yang luar biasa harus dipecahkan melalui tindakan yang luar biasa. Pertama, ganti kepala dinas pendidikan propinsi dengan orang yang kapabel, mempunyai visi yang jelas, dan mampu menggerakkan seluruh jajaran pendidikan di NTT yang bertanggung jawab memutar roda pendidikan NTT. Ganti kepala dinas kabupaten/kota yang tidak kompeten yang selama tiga tahun ini menunjukkan penurunan prestasi siswa dalam UN.

Kedua, tutup SMA, SMP, dan SD negeri dan swasta yang para siswanya lulus 0% pada tahun 2008, 2009, atau 2010 ini. Pindahkan guru dan kepala sekolahnya yang berstatus PNS ke sekolah-sekolah lain. Inilah bentuk akuntabilitas dinas dan yayasan pendidikan. Lebih baik siswa tidak bersekolah daripada bersekolah di sekolah yang amat tidak bermutu.

Ketiga, ganti kepala sekolah yang siswa-siswanya menunjukkan penurunan prestasi selama dua tahun berturut turut dalam UN dengan kepala sekolah yang kapabel, transparan, dan akuntabel. Keempat, mengembangkan mutu pendidikan NTT hendaknya dimulai dari SD, dengan fokus pembenahan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) siswa dengan menerapkan pendekatan belajar aktif dan dilandasi manajemen berbasis sekolah.

Anda keliling Indonesia melihat dan membenahi pendidikan di tempat lain. Bagaimana Anda melihat mutu pendidikan di NTT dibanding dengan daerah lain?
Indikator mutu pendidikan saya pilih berikut ini. Pertama, tulisan anak-anak kelas 3 SD. Belum pernah saya lihat tulisan anak SD kelas 3 di propinsi-propinsi yang amat tertinggal di bidang pendidikan, seperti Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua, yang seburuk tulisan anak anak kelas 3 SD NTT. Terbanyak masih menggambar huruf dan angka. Jelas anak-anak ini tidak bisa membaca dan memahami soal atau tugas kalau menulis saja masih pontang panting. Kemampuan membaca anak-anak kelas 3 dan kelas 5 SD juga parah di daerah-daerah tertentu di NTT.

Kedua, berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya merintis inovasi di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan siswa-siswa NTT pukul rata dua tahun tertinggal di belakang dibandingkan kemampuan para siswa di Jawa. Jika saya cek kemampuan siswa kelas 5 SD di Kota Kupang, misalnya, ternyata masih setaraf kemampuan siswa kelas 3 SD di Malang. Kemampuan siswa kelas 3 SMP di Ende masih setaraf kemampuan siswa kelas 1 SMP di Solo. Kemampuan siswa kelas 3 SMA di Maumere masih setaraf kemampuan siswa SMA kelas 1 di Yogyakarta. Ini kesimpulan sementara saya pada awal tahun 2000. Dengan mengamati hasil UN tahun 2008-2010, mungkin perbedaan itu sudah melebar menjadi 3 tahun.

Ketiga, dari segi ketersediaan dan keterjangkauan buku pelajaran bermutu, tampaknya para siswa NTT amat sulit memiliki buku pelajaran mata-mata pelajaran kunci yang diuji dalam UN. Dinas Pendidikan NTT tahun-tahun terakhir ini lebih memilih menggunakan dana BOS untuk membeli buku sekolah elektronik (BSE) yang bermutu rendah, sedangkan untuk membeli buku-buku pelajaran terbitan-penerbit swasta yang bermutu tampak tak ada kemauan dinas pendidikan menggunakan dana APBD. Indikator sederhana yang kasat mata adalah melihat sebesar dan seberat apa tas sekolah yang dibawa para siswa di NTT. Jika kita lihat para siswa SD, SMP, dan SMA bermutu di Jawa dan Bali tampak mereka terbungkuk bungkuk membawa tas sekolah berisi buku. Sebaliknya di NTT, kita lihat para siswa sekolah bermutu di NTT hanya bawa sedikit sekali buku pelajaran. Tas mereka tampak kecil dan kempes.

Kalau begitu terobosan apa yang perlu dilakukan?
Pertama, rintis sekolah model belajar aktif dan TQM (Total Quality Management) di tiap kabupaten/kota. Mulailah dengan 1 atau 3 sekolah per jenjang (SD, SMP, dan SMA). Pengembangan model dilakukan melalui inhouse training dengan mendatangkan konsultan dari PGSD dan FKIP di Undana, Unwira, Unkris, Uniflor, STKIP Ruteng, bekerja sama dengan pengawas dan tim perekayasa kurikulum yang telah dirintis Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas.

Kedua, dinas pendidikan propinsi dan kabupaten bekerja sama dengan universitas membentuk teacher centers di FKIP Undana, Unwira, Unkris, Uniflor, dan STKIP Ruteng. Tugas teacher centers adalah mendiseminasi gagasan baru, melalukan pendampingan sekolah, dan menatar para guru dan kepala sekolah potensial secara berjenjang dari tingkat elementary, intermediate sampai advanced.

Ketiga, dalam waktu dua tahun ini dinas pendidikan propinsi dan kabupaten melalui policy gubernur dan bupati membuka dan memperluas jaringan internet sampai ke sekolah-sekolah di pelosok, bekerja sama dengan jaringan internet Kemdiknas. Keempat, Papua telah menyalib NTT karena mutu pendidikan Papua paling tidak dapat didongkrak melalui pendirian sekolah-sekolah berasrama yang dibiayai dengan dana OTSUS. Walaupun dana pendidikan NTT terbatas, tapi apa salahnya kita membantu tarekat suster dan frater serta organisasi Kristen dan Islam yang selama ini telah menyelenggarakan sekolah berasrama yang bermutu agar menambah sekolah- sekolah berasrama untuk siswa SMP, SMA, dan SMK?

Sekolah-sekolah misi dulu sangat hebat. Mengapa tidak diadopsi sekarang?
Satu demi satu sekolah misi berasrama ditutup karena masalah biaya. Para pejabat gereja berpikir bahwa pemerintah sekarang mengelola banyak dana dan mampu membuka sekolah-sekolah baru. Karena itu, tongkat estafet itu diserahkan kepada pemerintah. Kalau pemerintah telah mampu, gereja mundur ke belakang dan hanya memotivasi. Tapi, kita tahu sikap mental birokrat itu cenderung korup dan kejujuran atau transparansi keuangan itu sulit ditegakkan. Disiplin sekolah berantakan. Gereja terlalu cepat mundur ke belakang, padahal awam belum sepenuhnya mampu. (*)

Sumber: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/48270/tamukita/2010/5/24/dr-sirilus-belen-tas-anak-sekolah-ntt-kempes

Diresmikan, Program USO Internet Kecamatan

SOE, Timex – Kecamatan Kota SoE yang berada diwilayah Kabupaten TTS merupakan salah satu daerah pertama di NTT penerima program USO internet kecamatan. Peresmian program tersebut oleh Menteri Kominfo, Ifatul Sembiring secara serentak, Selasa (25/5) yang dipusatkan di Riau.

Usai peresmian, untuk mengecek apakah program tersebut sudah bisa dimanfaatkan atau belum, Wakil Bupati TTS, Benny A Litelnoni didampingi Direktris Lintas Artha, Bambang Priantono, Camat Kota SoE, Yohanis Oematan, wakil kepala SMAN 1 SoE, Jibrael Issu melakukan wawancara langsung dengan Menteri Kominfo melalui teleconference.

Sat itu, Menteri menanyakan apakah Kabupaten TTS baik-baik saja. Wabup Benny Litelnoni mengatakan, TTS merupakan salah satu daerah yang berdekatan dengan negara Timor Leste dan kondisinya baik-baik saja.

Masyarakat TTS berterima kasih atas perhatian dari pemerintah pusat yang mana tidak melupakan masyarakat yang berada diwilayah Indonesia bagian timur.
Hal yang sama diungkapkan Camat Kota SoE, Yohanis Oematan saat komunikasi langsung dengan Menteri kemarin. Dengan ketersediaan fasilitas internet diharapkan pendidikan bagi masyarakat di TTS tertolong menuju kemajuan.

Frangki Neonane, siswa kelas II SMAN 1 SoE mewakili teman-temannya berkesempatan berbicara langsung dengan Menteri Kominfo mengucapkan terima kasih dan gembira bisa mendapat fasilitas internet kecamatan. Dengan ketersediaan fasilitas tersebut, Frangki berjanji, dia dan teman-teman bisa mengakses hal-hal penting menyangkut pendidikan. Sehingga, mereka tidak ketinggalan dan dapat bersaing dengan pelajar didaerah lain.

Kepada Frangki, Menteri berharap tidak gunakan fasilitas internet untuk game, tapi dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi pendidikan. Termasuk soal-soal latihan ujian nasional dapat diakses di internet. (dek)



Sumber: Timex, 26 Mei 2010

Kepsek SMKN1 Juara Pertama

KUPANG, Timex-Harian Pagi Timor Express (Timex) akhirnya mengumumkan juara poling kepala sekolah favorit dan karya ilmiah (KI), Kamis (27/5) di Aula Komodo, Dinas PPO NTT. Sebanyak 24 kategori juara diumukan pada kesempatan itu.
Untuk kepala sekolah favorit, kategori SD, juara pertama diraih Ismael P. Non (kepala sekolah SD Negeri Oetete I), juara dua Yustina Mudin (SDN Batuplat I), juara tiga Ahmad Songge (SDN Bonipoi II), juara empat Kornelia Kore Tome (SDN Nunhila), dan juara lima Hj. Nur Nelly Pua Upa (SD Muhamadiyah II).

Untuk tingkat SMP, juara pertama sampai lima berturut-turut diraih Hendrik Adu (SMPN I Kupang), Yoel Oematan (SMPN 2 Kupang), Budi Darmo (SMPN 8 Kupang), Sarlota Koroh (SMPN 10) dan Tri Sulistina (SMPN 3 Kupang). Sementara untuk tingkat SMA berturut-turut adalah, Maxen Mauk (SMKN 1 Kupang), Martinus Rona (SMKN 5 Kupang), Adam Asrakal (SMAN 8 Kupang), Daniel Bolle (SMAN 9) dan Alexander Giri (SMKN 2 Kupang).

Sementara kategori karya ilmiah, tingkat SD juara satu diraih Hj. Nur Nellys Pua Upa, juara dua Kornelia Kora Tome dan juara tiga Ahmad Songge. Untuk tingkat SMP, juara satu Hendrik Adu, juara dua Budi Darmo dan juara tiga Sarlota Koroh. Sementara untuk tingkat SMA/SMK, juara satu Maxen Mauk, juara dua Martinus Rona dan juara tiga Adam Asrakal.

Pengumuman pemenang itu melalui beberapa tahapan yang diagendakan panitia. Kegiatan yang digelar rutin Timex dengan tema ‘Untukmu Kepala Sekolahku’ itu dimulai Maret 2010 lalu dengan melibatkan kepala sekolah dari seluruh jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK di daratan Timor dan Rote Ndao.

Sekretaris Dinas PPO NTT, Klemens Meba dalam sembutannya mengatakan, kegiatan yang melibatkan kepala sekolah tersebut merupakan salah satu motivasi untuk mengelola dan membangun manajemen sekolah yang baik. Karena pengembangan sekolah menurut Klemens harus berangkat dari dasar manajemen yang baik. Pengelolaan manajemen sekolah yang baik, lanjut Klemens, yakni pembagian tugas kepada semua bawahan sesuai kemampuan dan profesionalismenya. "Pembagian tugas itu harus sampai habis kepada semua bawahan dan harus menurut kemampuan dan profesionalisnya," ujar Klemens.

Dikatakan Klemens, untuk memenuhi standar kelulusan, harus melalui suatu perencanaan yang strategis. Hal itu, lanjut dia, dikarenakan penentuan standar isi masih melalui keputusan secara nasional. Sehingga Klemens mengharapkan adanya rencana yang strategis dari kalangan kepala sekolah dalam rangka memenuhi standar tersebut.

Pada kesempatan itu, Klemens juga mengungkit soal keterpurukan hasil UN 2010 di NTT yang masih membutuhkan banyak evaluasi. Menurutnya, dalam situasi seperti ini, tidak perlu saling menyalahkan, namun hendaknya pemerintah bersama masyarakat dan pelaku pendidikan bersama-sama mencari titik lemah dari persoalan itu.

"Sampai sekarang kita belum mengetahui titik lemahnya. Sehingga tidak perlu saling menyalahkan. Bisa jadi, guru yang belum memenuhi kualifikasi standar. Atau pengelolaan manajemen yang diskriminasi oleh kepala sekolah. Setiap tahun pusat sudah mengirim SHL. Tinggal bagaimana guru melihat ini. Dan perlu juga kita benahi program extra learning karena hasilnya belum memenuhi target," ungkap Klemens.

Klemens juga mengharapkan komitmen dari semua kepala sekolah dalam rangka pengelolaan sekolah. "Kalau bapa ibu bisa hadir di sini karena hasil kerja keras dalam mengelola sekolah. Dan secara khusus kepada Timex, kita beri apresiasi karena kegiatan ini merupakan bentuk dukungan terhadap pendidikan di daerah ini," terangnya.

Sementara itu, Koordinator Panitia Pelaksana, Denny Missa mengatakan, kegiatan tersebut merupakan kegiatan ke-empat yang dilaksanakan Timex. Hal ini, lanjut Denny, sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan di daerah ini. "Tujuan kita agar pendidikan itu harus mendapat penilaian dari bawah ke atas. Dan poling ini kita harapkan ada penilaian secara aspiratif," kata Denny.

Denny menjelaskan, setelah para kepala sekolah masuk dalam pemenang poling, panitia kemudian membuat sebuah kompetisi karya ilmiah untuk menguji kualitas kepala sekolah yang masuk dalam lima besar hasil poling. "Setelah menang poling, perlu juga mengetahui kemampuan mereka dalam bentuk tulisan. Dan memang terbukti, hasil penilaian juri menunjukan juara satu dalam poling bisa menjadi juara satu juga dalam lomba menulis karya ilmiah, kompetensi manajerial sekolah (KMS)," terang Denny. (mg9)

Sumber: Timex, 29 Mei 2010

Rabu, 26 Mei 2010

Perbatasan RI-RDTL Belum Tuntas

Rabu, 26 May 2010, | 31

JAKARTA, Timex--Sengketa perbatasan di daerah masih terus terjadi. Hingga saat ini Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mencatat sebanyak 846 sengketa perbatasan yang belum terselesaikan.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemdagri Saut Situmorang menyebutkan, dari 946 sengketa lahan, 100 diantaranya telah tuntas. Dikatakan, dari 100 segmen batas yang telah selesai tersebut meliputi sengketa segmen batas daerah di empat provinsi dan 81 kabupaten/kota.

Saut mengatakan diperlukan penyelesaian penegasan batas daerah yang cepat dan paralel secara nasional terhadap 846 segmen batas yang belum terselesaikan.
Saut mengungkapkan, Kemdagri sedang berupaya untuk menyelesaikan sekitar 763 segmen batas antar daerah pada 2010-2014.

"Kebutuhan alokasi anggaran untuk penyelesaian persoalan segmen batas tersebut mencapai Rp 641,5 miliar. Sementara, sisanya sebanyak 83 segmen batas akan diselesaikan pada 2015," jelas Saut kepada wartawan di Jakarta akhir pekan lalu.

Menurutnya, percepatan penegasan segmen batas antar daerah berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan masyarakat. Antara lain, mencegah terjadinya konflik batas daerah yang dapat menimbulkan korban harta, benda dan jiwa serta ekonomi biaya tinggi, serta tercatatnya kode wilayah administrasi pemerintahan.

Selain itu percepatan penyelesaian sengketa perbatasan akan mendukung pengoptimalan fungsi pemerintahan dan pembangunan di daerah, serta terlaksananya penyaluran dana perimbangan (DAK dan Dana Bagi Hasil) yang tidak menimbulkan konflik. Untuk mendorong partisipasi daerah, lanjut Saut, Kemdagri mendorong peran gubernur dalam memfasilitasi penyelesaian segmen batas antar kabupaten/kota di wilayahnya.

Sebelumnya, senator NTT, anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Emanuel Babu Eha dengan tegas meminta kepada pemerintah untuk menuntaskan persoalan perbatasan darat antara Indonesia-Timor Leste di Timor Barat-NTT.

Eman Babu Eha menyebutkan, hingga kini sejumlah masalah di wilayah perbatasan RI-RDTL belum tuntas, salah satu diantaranya adalah belum tuntasnya penyelesaian lima titik di wilayah perbatasan NTT (Indonesia)-Timor Leste.

Titik-titik itu, kata Babu Eha adalah Subina Suni (Desa Inbate), Pistana (Desa Naibaban dan Desa Sunkaen), Tubu Banat (Desa Nailulat dan Desa Tubu), Nunpol/Fautben (Desa Haumeni Ana), Oelnasi (Desa Manusasi) serta Desa Oepoli (Perbatasan Citrana, Kabupaten Kupang dan Oecusi-Distrik RDTL). "Titik-titik yang masih bermasalah ini karena belum ada kesepakatan batas antar kedua negara. Masing-masing pihak mengklaim sebagai wilayahnya. Hal ini berpotensi konflik," katanya. (aln/fmc)

sumber: Timex, 27 Mei 2010

Veky Ditahan Enam Jam

KUPANG,Timex--Bukan karena takut tapi karena hak tersangka untuk mendapatkan penangguhan penahanan sehingga Polresta Kupang akhirnya memberi penangguhan kepada Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik, Selasa (25/5) tadi malam.
Orang nomor satu di DPRD Kota Kupang ini sempat ditahan selama enam jam sejak pukul 12.40 Wita sebelum akhirnya dibebaskan pukul 19.00 Wita. Kapolresta Kupang, AKBP Heri Sulistianto kepada koran ini, Selasa (25/5) tadi malam membenarkan penangguhan penahanan kepada Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik yang akrab disapa Veky Lerik. "Benar, Veky Lerik yang sempat ditahan, sudah ditangguhkan penyidik," ujarnya.

Ia mengatakan penangguhan penahanan diberikan karena hak tersangka sehingga melalui pertimbangan hukum dan kemanusian akhirnya memberi penangguhan penahanan.
Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik didampingi istri tercinta Yovita Lerik-Rebo yang ditemui di kediamannya tadi malam nampak santai dengan senyuman khasnya mengatakan, penangguhan penahanan diberikan setelah Polresta Kupang menyetujui permohonan penangguhan yang diajukan.

Ditanya soal penahanan terhadap dirinya oleh penyidik Polresta Kupang yang terkesan sarat dengan muatan politik, Veky Lerik sambil tertawa menolak berkomentar. "Saya tidak mau banyak komentar. Adik-adik wartawan yang tahu tafsirkan semua," ujarnya singkat.
Setelah mendapat penangguhan penahanan, Veky Lerik mengaku akan melaksanakan tugas sebagai Ketua DPRD Kota Kupang sebagaimana biasa. "Mulai besok (hari ini red) saya akan masuk kantor lagi," imbuhnya.

Sempat Ditahan

Sebelumnya, niat baik Kepolisian Resort Kota Kupang menjebloskan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik ke dalam sel, akhirnya terkabul. Selasa (25/5) kemarin, Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik resmi ditahan setelah menjalani status tangkapan selama 1 x 24 jam dalam kasus perbuatan tidak menyenangkan kepada manajer PT Suara Sejati, Louis Lily.

Penahanan Veky Lerik--demikian ia biasa disapa--setelah yang bersangkutan menandatangani surat penahanan yang disodorkan oleh penyidik sekira pukul 12.40 Wita. Veky Lerik yang mengenakan kaos hijau dan celana jeans pendek langsung digiring ke ruang tahanan Polresta Kupang. Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik hanya melemparkan senyum kepada wartawan peliput maupun sahabat-sahabatnya dari DPRD Kota maupun anggota kepolisian di Polresta tanpa rasa canggung atau pun takut.

Kapolresta Kupang, AKBP Heri Sulistianto mengatakan, proses penahanan terhadap tersangka Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik berjalan aman. "Tersangka sangat kooperatif sejak dikenai status tangkapan hingga ditahan," katanya.

Ditanya alasan penahanan terhadap tersangka, Kapolresta Heri Sulistianto yang segera pindah ke SPN Singaraja-Bali ini mengatakan, penahanan dilakukan karena tersangka telah tiga kali melakukan hal yang sama yakni perbuatan tidak menyenangkan. Ia mengakui bahwa ancaman hukuman terhadap, Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik hanya satu tahun penjara. Namun karena pertimbangan penyidik, sebagaimana diatur dalam pasal 21 KUHAP.

"Tersangka kita tahan karena telah tiga kali melakukan hal yang sama. Takutnya dalam waktu-waktu mendatang terjadi lagi hal yang sama. Soal ancaman hukuman hanya satu tahun, tidak jadi masalah, karena secara subyektif dan syarat-syarat yang dipenuhi sebagaimana pasal 21 KUHP, maka Polisi bisa menahan seseorang," paparnya.

Ia menambahkan penahanan atas Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik dilakukan selama 20 hari ke depan. Penahanan dilakukan bukan karena ada dorongan dari pihak lain.
Alex Frans selaku penasihat hukum Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik sangat menyesalkan sikap Polresta Kupang yang menahan kliennya.

"Polisi harus belajar dan lihat pasal 50 KUHAP, jangan main tahan saja. Pasal tersebut berbunyi, apabila seseorang melakukan sesuatu, sesuai dengan perintah Undang-Undang, maka tidak dapat dituntut," katanya Atas penahanan tersebut, Alex Frans menyatakan akan melayangkan gugatan kepada Kapolri, Kapolda NTT dan Kapolresta karena melakukan perbuatan melawan hukum dengan menahan kliennya.

"Besok (hari ini Red) saya akan daftarkan gugatan ke PN Kupang, karena ini perbuatan melawan hukum, baik kepada Kapolri sebagai tergugat satu, Kapolda NTT sebagai tergugat dua dan Kapolresta sebagai tergugat tiga," tandasnya.

Anggota DPRD Kota Kupang, Jerry Pingak menyayangkan penahanan terhadap Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik karena merupakan pelanggaran hukum. Pasalnya Dewan menggunakan UU tersendiri, sehingga tidak bisa ditarik ke ranah hukum.

Ia menambahkan, penahanan terhadap pimpinan DPRD itu, merupakan implikasi dari pelaksanaan teknis pemerintahan, dimana melakukan pembiaran, terhadap perusahaan yang tidak memiliki izin, untuk merekrut tenaga kerja. Ketika terjadi persoalan, DPRD menjadi korban, dimana bisa ditersangkakan, karena membela kepentingan masyarakat, sebagaimana yang dialami Veky Lerik.

Karena itu, pihaknya meminta pemerintah bertanggungjawab atas kondisi ini. Selain itu, pihaknya mulai saat ini tidak akan menerima aspirasi masyarakat. "Jika ada, silahkan ke Polresta, karena salah sadikit, selalu berurusan dengan hukum," ujarnya. Pantauan koran ini, Ketua DPRD Kota Kupang, Veky Lerik dikunjungi para koleganya seperti Jerry Pingak, Kris Matutina, Isidorus Lili Djawa, Meky Balle, Adrianus Talli, Daniel Bifel, Yeskiel Loudoe, Livingstone Ratu Kadja, Mochtar Koso dan anggota Dewannya. Nampak pula, Sekwan DPRD Kota Kupang, Otniel Pello, dan Kadis Sosial Kota Kupang, Enos Ndaparoka serta sejumlah Kabag pada Setwan Kota Kupang.

DPRD Ajukan Penangguhan

Sementara, dari DPRD Kota Kupang dilaporkan, dalam waktu dekat segera mengajukan permohonan penangguhan penahanan ke Polresta Kupang, terkait ditahannya Ketua DPRD, Viktor Lerik. Wakil Ketua DPRD, Yeheskiel Loudoe, kepada koran ini di gedung Dewan, kemarin menegaskan "Jika benar ditahan maka Dewan secara lembaga akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Karena pertimbangannya, dalam waktu dekat kita akan menggelar sidang paripurna LKPJ pemerintah, dan momen ini penting," tegas Loudoe.

Lebih jauh menurutnya, DPRD Kota Kupang menghargai proses hukum yang sementara berlangsung di Polresta Kupang. Namun di satu sisi, ada agenda sidang, yang mengharuskan kehadiran seluruh unsur pimpinan.

Ketika dikonfirmasi lebih jauh mengenai kemungkinan adanya gangguan dalam kinerja DPRD, karena proses hukum tersebut, wakil rakyat dari PDIP itu enggan berkomentar.
Begitu pula, ketika dikonfirmasi lebih jauh mengenai kemungkinan adanya intervensi dari pihak kepolisian terhadap kinerja DPRD, karena kasus itu terjadi di ruang rapat Gabungan Komisi, Yeheskiel menegaskan, terkait hal itu, sudah ditangani oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD.

Sedangkan, Zeyto Ratuarat, selaku ketua Badan Kehormatan DPRD Kota Kupang, kepada Timor Express di kesempatan yang sama menegaskan, dalam kasus pengancaman terhadap Louis Charles Lily, BK telah memanggil dan memeriksa sejumlah anggota DPRD. Mereka diantaranya Jerry Anthon Pingak, Viktor Lerik, John Isliko, dan Samuel Taklal.

Mereka yang hadir saat tatap muka antara Louis Lily selaku manejer PT Suara Sejati dan karyawannya yang menggelar demo. "Kami sudah panggil mereka dan diperiksa, dan seperti apa hasil pemeriksaan itu akan kami beber ke pers. Tapi bukan sekarang. Siapapun yang bersalah, akan kami rekomendasikan ke proses selanjutnya. Karena kami di Dewan diatur oleh Tatib. Salahi Tatib, harus siap terhadap konsekwensinya," ujar Zeyto. (lok/boy)


sUMBER: Timex, 27 Mei 2010

Jumat, 21 Mei 2010

44.977 Guru di NTT Tak Berkualitas

KUPANG, Timex- Rendahnya mutu pendidikan dan angka kelulusan siswa di NTT membuat hampir seluruh fraksi di DPRD NTT menyampaikan kritikan kepada pemerintah. Salah satunya terkait kualifikasi guru di NTT.
Ternyata, baru terungkap 77 persen guru di NTT belum layak menjadi guru karena tidak memenuhi standar pendidikan.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya dalam menanggapi pemandangan umum fraksi-fraksi dalam Rapat Paripurna, Senin (17/5) lalu, menyebutkan di NTT terdapat 26.972 guru yang berijazah setara SMA dan 44.977 guru yang belum memenuhi syarat. Selain itu, Gubernur juga membeberkan data bahwa kualifikasi pendidik dari semua jenjang pendidikan guru yang berjumlah 51.506 orang yang memiliki ijazah D4/S1 berjumlah 10.111 orang atau 19,63 persen dan guru yang belum berijazah D4/S1 berjumlah 41.395 orang atau 80,37 persen.

Terkait hal ini, kata Lebu Raya, Pemprov NTT telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, menurutnya, tahun 2010 ini, Pemprov NTT telah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 1.000.000.000, dengan rincian setiap guru mendapat dana Rp 2.000.000, per tahun untuk kualifikasi pendidikan guru.

Selain itu, dijelaskan, sebanyak 77,25 persen guru SD di NTT juga tidak layak menjadi guru karena pendidikannya tidak memenuhi persyaratan, tidak menguasai ilmu secara baik, kemampuan penguasaan mata pelajaran Matematika yang rendah. "Melalui koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota akan terus dilaksanakan pelatihan peningkatan mutu guru mata pelajaran pada umumnya dan Matematika pada khususnya," tandas Lebu Raya.

Hampir semua fraksi mempertanyakan penyebab rendahnya angka kelulusan di NTT, terutama tingkat SLTA. Menjawab itu, Gubernur menyebutkan sejumlah hal, yakni belum adanya program yang sinergis sehingga tidak efektifnya kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), KKG, dan MKKS yang ada di Kabupaten/Kota. Menurutnya, wadah atau organisasi tersebut merupakan wadah untuk tempat guru-guru berkumpul melakukan diskusi atau sharing pendapat terhadap hal-hal yang belum mampu dipecahkan dalam kegiatan belajar mengajar sebagai solusi terbaik dalam rangka meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan. Selain itu, katanya sarana dan prasarana pendidikan belum memadai, belum optimalnya pelaksanaan otonomisasi sekolah yang berkaitan dengan School Basic Management atau Manajemen Berbasis Sekolah, banyak intervensi politik seperti input (penerimaan siswa baru), pengangkatan kepala sekolah dan pengawas yang tidak sesuai aturan, serta tidak dilakukan analisis penempatan guru sesuai kebutuhan sekolah, sehingga terjadi banyak penumpukan guru-guru pada sekolah-sekolah tertentu.

Faktor lain yang turut mempengaruhi kelulusan siswa adalah belum optimalnya dukungan orangtua terhadap bimbingan belajar anak di rumah, belum optimalnya dukungan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif bagi kemajuan pendidikan anak, pemberian Kesra berupa sertifikasi belum merata karena dibatasi oleh kuota dan aturan-aturan sehingga terjadi kecemburuan di lapangan, adanya aturan yang memungkinkan siswa untuk ikut ujian ulang dan paket sehingga merasa lengah untuk menuntaskan belajarnya pada ujian nasional yang pertama. (sam)


Sumber: Timor Express, 221 Mei 2010

Komersialisasi Pendidikan Dinilai Makin Parah 82 Juta Anak Indonesia Tidak Sekolah

JAKARTA, Timex-Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal mengungkapkan bahwa sebanyak 82 juta anak Indonesia masih belum bisa mendapatkan akses pendidikan. Menurutnya, kondisi tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup bangsa.

Fasli menyebutkan, dari angka 82 juta anak tersebut, 29 juta di antaranya golongan anak yang seharusnya masuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Selanjutnya, 41 juta anak masuk golongan usia wajib belajar sembilan tahun SD dan SMP. Sedangkan 12 juta lainnya usia SMA. "Kondisi ini benar-benar sangat menyedihkan," ujar Fasli usai peresmian Yayasan Pendidikan Astra-Michael D Ruslim (YPA-MDR) dan penyerahan bantuan beasiswa oleh PT Astra Internasional Tbk di TMII, Jakarta, Selasa (18/5).

Lebih lanjut Fasli mengatakan, masih banyak masalah dalam dunia pendidikan yang harus membutuhkan bantuan atau uluran tangan. Bantuan yang dimaksud, antara lain dukungan program-program Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia. Sementara Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang bertindak sebagai regulator, akan terus berupaya dan memfasilitasi berbagai peluang demi berkembangnya program CSR bagi peningkatan bidang pendidikan.

"Kondisi pendidikan di Indonesia memang masih bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Bahkan, masih banyak anak-anak usia jenjang SD-SMP yang belum menikmati akses pendidikan, atau apa yang kita sebut dengan joy full learning dalam wajib belajar 9 tahun," jelas Fasli.

Menurutnya, jika anak-anak itu telah selesai mengemban pendidikan wajib belajar 9 tahun, lanjut Fasli, anak-anak masih perlu lagi tambahan life-skill untuk masa depannya, baik untuk kemudian berlanjut kuliah atau kerja, atau kerja dulu kemudian kuliah. "Kami sangat berharap dengan segala potensi dan kebutuhan itu bisa saling bersinergi," tukasnya.

Terpisah, Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia (KPP SMI), Syahrir Burhanudin, menyatakan bahwa kondisi pendidikan nasional saat ini sudah berada pada tahap kapitalisasi yang semakin parah. Menurutnya, pendidikan telah diposisikan sebagai penghasil keuntungan dan penyalur tenaga kerja dengan upah murah di tengah sempitnya lapangan kerja.

"Regulasi yang ada saat ini tidak berpihak sedikit pun pada rakyat kecil. Kapitalisasi pendidikan saat ini juga telah menimbulkan banyak persoalan di semua tingkatan pendidikan," ujar Syahrir saat mengelar aksi unjuk rasa bersama puluhan anggota SMI lainnya di depan Gedung Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta, kemarin. (cha/jpnn)

Sumber: Timor Express, 21 mei 2010

Dampak UN, Siswa Tak Lagi Hormati Guru

TANGERANG, Timex-Anggota Komisi X DPR dari F-PKS, Ahmad Zainuddin mengatakan, evaluasi terhadap efek yang ditimbulkan atas pelaksanaan Ujian Nasional (UN) harus segera dilakukan. Sebab akibat yang ditimbulkan dari UN tersebut sangat merugikan... institusi sekolah dan guru, karena mereka sudah tidak lagi dihormati para murid.

"Siswa-siswi belajar hanya untuk mempersiapkan diri lulus UN. Hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan tes seperti menghormati para guru tidak lagi menjadi penting," kata Ahmad Zainudin, saat kunjungan lapangan ke sejumlah sekolah di Kota Tangerang, Banten, Selasa (18/5).

Sistem UN yang sekarang masih berlaku, lanjutnya, jika masih diterapkan pasti akan menimbulkan masalah yang lebih krusial lagi karena proses pendidikan terjebak kepada orientasi tes serta mengabaikan aspek afektif dan psiko motorik.

Ahmad menjelaskan, kekhawatiran Kementerian Pendidikan Nasional bila proses ujian dan kelulusan diserahkan ke sekolah masing-masing akan terjadi kelulusan 100 persen, menurut Ahmad, sebaiknya kekhawatiran itu dijadikan dasar untuk membuat sistem yang lebih kondusif dan lebih baik dari UN yang saat ini diberlakukan.

Hal yang sama juga diungkapkan Kepala SMP Negeri 16 Kota Tangerang, Suhendarto yang meminta supaya UN ditiadakan dan kelulusan diserahkan kepada sekolah. "Kami, para guru sangat mengetahui kondisi anak didik setiap harinya. Pemerintah sebaiknya memperbaiki sistemnya sehingga guru-guru bisa obyektif menilai siswanya. UN sekarang mendorong siswa lebih menghargai bimbingan belajar dibanding guru sekolah," kata Suhendarto.

Pada akhir kunjungan ke Kota Tangerang, dihadapan sejumlah kepala SMP, Ahmad Zainuddin juga mengungkap ironi yang terjadi di Yogyakarta. "Hasil Ujian Nasional di Yogyakarta telah menjadikan kota pendidikan itu penyandang peringkat ke-28 tingkat kelulusannya," tegas Ahmad Zainuddin. (fas/jpnn)

Sumber: Timor Express, 21 Mei 2010

Dampak UN, Siswa Tak Lagi Hormati Guru

TANGERANG, Timex-Anggota Komisi X DPR dari F-PKS, Ahmad Zainuddin mengatakan, evaluasi terhadap efek yang ditimbulkan atas pelaksanaan Ujian Nasional (UN) harus segera dilakukan. Sebab akibat yang ditimbulkan dari UN tersebut sangat merugikan... institusi sekolah dan guru, karena mereka sudah tidak lagi dihormati para murid.

"Siswa-siswi belajar hanya untuk mempersiapkan diri lulus UN. Hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan tes seperti menghormati para guru tidak lagi menjadi penting," kata Ahmad Zainudin, saat kunjungan lapangan ke sejumlah sekolah di Kota Tangerang, Banten, Selasa (18/5).

Sistem UN yang sekarang masih berlaku, lanjutnya, jika masih diterapkan pasti akan menimbulkan masalah yang lebih krusial lagi karena proses pendidikan terjebak kepada orientasi tes serta mengabaikan aspek afektif dan psiko motorik.

Ahmad menjelaskan, kekhawatiran Kementerian Pendidikan Nasional bila proses ujian dan kelulusan diserahkan ke sekolah masing-masing akan terjadi kelulusan 100 persen, menurut Ahmad, sebaiknya kekhawatiran itu dijadikan dasar untuk membuat sistem yang lebih kondusif dan lebih baik dari UN yang saat ini diberlakukan.

Hal yang sama juga diungkapkan Kepala SMP Negeri 16 Kota Tangerang, Suhendarto yang meminta supaya UN ditiadakan dan kelulusan diserahkan kepada sekolah. "Kami, para guru sangat mengetahui kondisi anak didik setiap harinya. Pemerintah sebaiknya memperbaiki sistemnya sehingga guru-guru bisa obyektif menilai siswanya. UN sekarang mendorong siswa lebih menghargai bimbingan belajar dibanding guru sekolah," kata Suhendarto.

Pada akhir kunjungan ke Kota Tangerang, dihadapan sejumlah kepala SMP, Ahmad Zainuddin juga mengungkap ironi yang terjadi di Yogyakarta. "Hasil Ujian Nasional di Yogyakarta telah menjadikan kota pendidikan itu penyandang peringkat ke-28 tingkat kelulusannya," tegas Ahmad Zainuddin. (fas/jpnn)

Sumber: Timor Express, 21 Mei 2010

Selasa, 18 Mei 2010

TRADISI FUA PAH: RITUS DAN MITOS AGRARIS MASYARAKAT DAWAN DI TIMOR (Fua Pah Tradition: Agricultural Rite and Myth of Dawanese of Timor Island)


Yoseph Yapi Taum *) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia, 2004

Abstract Dawanese is the biggest ethnic group living in Timor Island of the east-southeastern province of Indonesia (Nusa Tenggara Timur or NTT). They live in agricultural societies at a subsistence level of production, where life resources are scares due to the empty and infertile land. Face with the scarcity of life resources and infertile land, they develop agricultural rituals and myths traditions. One of the agricultural rituals presented in this paper is Fua Pah, which aims repeatedly at persuading Uis Pah, the ruler of evil not to muddle up and wipe out the plants. This paper examines the practice of Fua Pah ritual, including mythological motivation, ritual language used, and traces of the local religion. I have characterized the development of agricultural ritual periods, during which Dawanese providing offerings to Uis Pah, along with reciting the ritual poetry that have poetic and metaphoric meaning. The ritual of providing offerings to Uis Pah is known as Fua Pah. I have noticed convincingly that Dawanese are not "Satanic Worshiper" in spite of the fact that they afford offerings to the devil being. Within oral poetries, they repetitively recite the trinity of the god, namely Uis Nitu, Uis Pah, and the last but the highest Uis Neno. Uis Neno is considered the god of universe, the perfect and Almighty God. Worship to Uis Neno is the core of Dawanese local belief and religious practice. This paper shows that Fua Pah ritual is close related to the ritual language, oral literature, and local religion. There are magical and animism traces on this agricultural ceremony, which seems to stay still from the modern changes. This tradition, however, expressed the identity of Dawanese ethnic. Key words: agricultural myth and ritual, oral literature, local religion
I. PENDAHULUAN Wilayah Pulau Timor bagian barat yang merupakan bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dihuni oleh beberapa kelompok etnik, antara lain: Tetun, Bunak, Helong, Kemak dan Dawan, Rote dan Sabu. Suku bangsa dan bahasa Dawan merupakan kelompok suku terbesar yang mendiami daratan Timor Barat itu (Dashbach, 1990: 42). Suku bangsa Dawan mendiami Kabupaten Kupang daratan yang meliputi: kota Kupang, Bolok, Sumlili, Kelapa Lima, Oesapa, Oesao, Nunkurus, Bipoli, Oetata, Pariti, Kukak, Oehendak, Sulamu, Nauwen, Barate, Uwel, Oelbubuk, Kapsali, Soliu dan sekitarnya, Naikliu, Poanbaum, dan Oepoli. Selain itu, orang Dawan juga mendiami seluruh wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Oekusi (wilayah Timor Leste). Setiap kelompok etnis di NTT umumnya hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya, dengan masing-masing komunitas memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda (Mubyarto, et.al., 1991:5; Barlow, et.al., 1989: 12). Dalam bukunya berjudul “The Timor Problem” --seperti dikutip Parera (1994: 44)-- Ormeling menyebut orang Dawan ini sebagai “The Timorese Proper” Orang Timor Khusus. Kekhasan orang Dawan ini antara lain terlihat dari bentuk ragawinya yang merupakan percampuran antara unsur Melanesia dan Negrito, sehingga kalau seseorang berada di antara orang Dawan, mereka tidak merasa berada di antara orang Melayu. Karakteristik lain dari suku Dawan adalah demikian banyaknya ritus keagamaan ‘asli’ yang menandai setiap kegiatan hidup mereka, sekalipun mayoritas orang Dawan sudah memeluk agama Kristiani. Karena itulah masyarakat Dawan disebut oleh Valens Boy (1986: 15-23) sebagai “masyarakat ritual”. Salah satu tradisi ritus agraris yang masih hidup dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai sekarang ini adalah Tradisi Fua Pah, sebuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di kebun-kebun, gunung-gunung dan bukit-bukit. Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan. Tradisi ini telah menjadi semacam simbol konstitutif (yang membentuk kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif (yang membentuk ilmu pengetahuan), simbol penilaian moral (yang membentuk nilai-nilai moral dan aturan-aturan), dan simbol-simbol ekspresif (pengungkapan perasaan). Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Kajian yang mendalam mengenai latar belakang mitologis munculnya tradisi Fua Pah ini akan memberikan penjelasan tentang inti kepercayaan atau religi lokal masyarakat Dawan. II. MASALAH POKOK 2.1 Masalah Pokok Masalah pokok yang ingin diangkat dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Masyarakat Dawan, sebagaimana masyarakat agraris lainnya di wilayah Nusantara, memiliki aneka tradisi lisan. Tradisi lisan seringkali berkaitan dengan bahasa-bahasa ritual dan upacara adat formal yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani ladang kering, terdapat hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian dengan keyakinan religius tradisional. Hal ini terutama tampak dalam ritus Fua Pah ini. Sebuah deskripsi yang mendalam tentang pelaksanaan tradisi ini diperlukan untuk mengenal lebih dekat dinamika kebudayaan kelompok etnis ini. (2) Ritus-ritus yang dilaksanakan dalam masyarakat tradisional biasanya berkaitan secara emosional dengan mitologi dan sistem kepercayaan masyarakatnya (mengenai Tuhan, roh, alam semesta, bumi, kerja). Khusus menyangkut pemujaan terhadap roh-roh leluhur maupun roh-roh lainnya, perlu dilakukan analisis yang cermat agar dapat dipahami prinsip dan orientasi kepercayaan lokal masyarakat tersebut. III. PERIHAL RELIGI, MITOS, DAN RITUS Fua Pah merupakan salah satu ritus yang didasarkan pada kepercayaan atau religi lokal masyarakat Dawan yang memiliki berbagai makna simbolis. Untuk mendapatkan sebuah kerangka referensi yang memadai, yang dapat dijadikan acuan dalam memandang malasah ini, berikut ini akan dikemukakan dua aspek penting, yakni: bentuk-bentuk primitif dari agama, ritual dan mitos sebagai tindakan simbolis. 3.1 Religi Lokal, Animisme dan Magi Istilah religi lokal dipergunakan di sini untuk menggantikan istilah ‘religi asli’ yang lebih banyak dikenal dalam dunia akademis selama ini. Istilah religi asli akhir-akhir ini mendapat banyak kritikan, karena istilah antonimnya adalah ‘religi palsu.’ Jika ada ‘yang asli’ maka tentu ada ‘yang palsu’ atau paling kurang ‘yang tidak asli.’ Para kritikus mengajukan alternatif istilah lain yakni ‘religi lokal’ dalam hubungan dan pertentangannya dengan ‘religi universal’ (Taum, 1998). Kaum evolusionis umumnya memandang animisme sebagai prototipe atau cikal bakal munculnya agama. Animisme, sebagaimana digunakan dan dimengerti E. B. Tylor adalah suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius beranggapan bahwa manusia, semua makhluk hidup dan benda mati memiliki jiwa (Dhavamony, 1995: 66). Sebuah bentuk religi awal, yang untuk sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di berbagai belahan dunia, adalah kepercayaan dan praktik berkenaan dengan leluhur. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa ikut campur tangan dalam kehidupan manusia (Dhavamony, 1995: 79). Dengan demikian, manusia perlu menenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal. Magi atau sihir adalah sebuah fenomena yang sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat primitif. Magi dan sihir umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah kepercayaan dan praktik yang diyakini manusia bahwa mereka dapat secara langsung mempengaruhi kekuatan alam dan antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi (Dhavamony, 1995: 47). Mereka yang mengetahui rahasia-rahasia penting, dapat menguasai daya-daya tak kelihatan yang memerintah dunia, dan karena itu mengontrol daya-daya itu demi kepentingan orang yang menjalankannya. Frazer dan Malinowski membedakan magi dari agama. Magi bersifat individual, manipulatif, instrumental pseudo-ilmiah, sedangkan agama bersifat sosial, ekspresif, dan simbolis. Agama adalah suatu kepercayaan kepada hakikat tertinggi, dewa, Tuhan dan sebagainya dengan ajaran-ajarannya, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Daeng, 2000: 181). Tuhan, dewa, atau wujud tertinggi itu tidak dapat ditemui melalui ilmu pengetahuan, karena jika dia dapat ditemui melalui ilmu pengetahuan manusia, maka Dia bukan lagi yang Maha Tinggi yang disembah dan dimuliakan sebagai Pencipta semesta alam (Huijbers, 1985: 28). Tak dapat diragukan bahwa lingkungan budaya tempat tinggal manusia sangat menentukan bentuk, wujud dan tingkatan kepercayaan/agama manusia. Agama merupakan suatu sistem simbol yang dibentuk dan membentuk suatu konsensus bagi makna lambang-lambang dan makna dunia ini, dan yang mengacu kepada kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural), entah kekuatan itu dipersonifikasi atau tidak (Sudarmanto, 1987: 15). Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu, atau berpamrih. Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan, misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Inilah bentuk ibadah magi. Sementara itu, bentuk-bentuk sejati dari agama dapat terjadi tanpa suatu keharusan untuk bersama dengan magi. 3.2 Ritual dan Mitos sebagai Tindakan Simbolis Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168). Susane K. Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan (Dhavamony, 1995: 174). Hal itulah yang memungkinkan pemujaan yang bersifat kolektif. Penggunaan simbol-simbol itu secara rutin menghasilkan dampak yang membuat simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan. Dalam konteks penelitian ini, perlu dibedakan antara upacara dan ritual (Dhavamony, 1995: 175). Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995: 175-176). (1) Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. Chaple dan Coon mengusulkan perlunya ditambahkan satu jenis ritual lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan elaksanakan ritual intensifikasi. Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan pembenaran untuk berbagai upacara. Sekalipun ada kemungkin an bahwa banyak ritual pada masa silam berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat diamati dua fenomena: ritus dan mitos, berjalan seiring. H. Gaster dalam “Myth and Story” mengungkapkan, bahwa pada dasarnya mitos bersifat kon-substansial dengan ritus (Dhavamony, 1995: 181-186). Kloos, Mauss dan Eliade (de Jong, 1980: 126) mencatat bahwa mitos memang bersifat sakral dan senantiasa memiliki kepentingan yang khusus dalam masyarakat. Sekalipun samar-samar, mitos memiliki petunjuk-petunjuk yang tinggi dan mengandung kecocokan emotif dengan adat suku-suku bangsa, dan dengan demikian secara gradual terumuskan dalam tradisi suku-suku itu. Karakteristik mitos terletak pada kenyataan bahwa mitos mengacu kepada “kejadian-kejadian di mana manusia menyadari dan menjelaskan esensi mutlak dari keberadaannya dan sekaligus memberikan kesatuan makna bagi masa kini, masa lampau, dan masa yang akan datang Itulah sebabnya mitos dianggap merupakan histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), sehingga mitos memerlukan ritus (Locher, 1956 dalam de Jong, 1980). Cambridge School atau Aliran Cambridge dengan tokoh-tokoh seperti James G. Frazer, Jane Harrison, dan F.M. Concord. memfokuskan studi mereka pada mitologi Yunani. Pusat perhatian aliran Cam¬bridge adalah sifat-sifat ritual dari mitos. Menurut mereka, ritus merupakan pancaran emosi-emosi yang kompleks dari manusia primitif melalui tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, dan tarian-tarian. Mitos hanya merupakan salah satu ekspresi dari emosi manusia yang demikian kompleks itu, melalui kata-kata atau baha¬sa. Mitos muncul pada saat emosi-emosi yang diekspresikan dalam ritus sudah tidak lagi mencukupi. Pemahaman terhadap aspek ritual itu menjadi penting untuk memahami mitos, yang menjelas¬kan asal-usul dan eksistensi ritus. Oleh J. van Baal (Daeng, 2000: 44), mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan Yang Kudus melalui konsep serta bahasa simbolik Melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada bermacam-macam kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia memiliki orientasi dalam kehidupan ini. Dengan demikian, mitos adalah sebuah cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dengan ungkapan Dhavamony (1995: 147), maka mitos sesungguhnya merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif. IV. KONTEKS SOSIAL BUDAYA DAWAN 4.1 Keadaan Alam dan Demografi Masyarakat suku Dawan tersebar di 26 kecamatan di Pulau Timor, dengan perincian 11 kecamatan berada di Kabupaten Kupang daratan, 9 kecamatan di Kabupaten TTS, dan 6 kecamatan di Kabupaten TTU. Populasi penduduknya sebagai berikut. Kabupaten Kupang daratan 4449.816 orang; Kabupaten TTS 360.104 orang, dan Kabupaten TTU 174.164 orang. Total penduduk suku Dawan di NTT adalah sebanyak 984.084 orang (penduduk Timor NTT berjumlah 1.143.504 orang), belum termasuk suku Dawan yang menempati wilayah Kabupaten Ambeno di Timor Leste (Lake, 2000: 17-18). Komposisi tanah, iklim, dan sumber air sangat berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat Dawan. Sebagaimana digambarkan Fox (1990: 3-4), Timor merupakan salah satu pulau yang terletak pada busur luar (Outer Arc) pegunungan Sunda Kecil, wilayahnya terdiri dari pegunungan dan dataran tinggi. Keadaan tanahnya berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur permian dan marl. Tanah jenis ini tidak mendukung tumbuhnya vegetasi penutup. Pada musim hujan, keadaan tanah banyak mengandung air, dan akan mengembang bila telah jenuh air hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi rengkah dan sangat keras. Komposisi tanah dari batu kapur dan tanah liat ini berpengaruh terhadap adanya sumber air, yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi. Masalah sumber air ini menimbulkan bentuk pemukiman dan usaha pertanian yang berpusat di daerah pegunungan dan pengembangan usaha tani lahan kering yang didominasi jagung dan palawija. Dataran yang didominasi oleh lapisan tanah liat biasanya kurang sesuai bila digunakan sebagai lahan pertanian. Oleh sebab itu, penduduk memanfaatkan tanah yang terdiri dari campuran batu kapur dan tanah liat, di sekitar dataran tinggi untuk usaha taninya. Secara historis, penduduk mempraktikkan sistem usaha tani perladangan berpindah dengan teknologi tebas dan bakar. Dengan demikian, pemukiman pun sebagian terpusat di lereng-lereng pegunungan, yakni di daerah pedalaman Timor yang kondisi tanahnya amat kering. Itulah sebabnya orang Dawan menamakan dirinya Atoni Pah Meto yang artinya ”orang daerah kering” atau “orang tanah kering” (Mubyarto, 1991: 130). Hasil studi Sayogyo, dkk (1993: 98) mengungkapkan fenomena “kemiskinan mutlak” (keadaan stok pangan minus) yang pernah dialami masyarakat Dawan (khususnya di Kabupaten TTS) yang disebabkan terutama oleh minimnya potensi sumber daya alam. Menghadapi keadaan alam demikian, masyarakat Dawan yang mayoritas penduduknya bermata-pencaharian tani peladang dituntut untuk mencari dan mengolah lahan pertanian sebagai cara survival. Menghadapi alam yang tidak terlalu bersahabat itu mereka harus memiliki strategi dan siasat tertentu. Untuk menjamin kesuburan tanah, mendatangkan hujan, menjauhkan hama, dan menghasilkan panen berlimpah, maka masyarakat Dawan melaksanakan berbagai macam ritus dan seremoni adat untuk meminta pertolongan dari kekuatan-kekuatan supranatural maupun preternatural. Salah satunya adalah upacara Fua Pah yakni ritus persembahan hewan korban kepada penguasa bumi. Dalam praktik pengelolaan lahan pertanian, masyarakat Dawan cenderung melakukannya secara tradisional. Pola pertanian ladang berpindah dengan pola tebas-bakar (pola pertanian ekstensif) berakibat menguruskan potensi sumber daya alam. Faktor lain yang menghambat kemajuan masyarakat ini adalah pola budaya adaptif terhadap lingkungan tanpa upaya untuk lebih menguasai lingkungan, selain pola perilaku sosial yang cenderung konsumtif dan boros untuk berbagai kegiatan adat dan ritual (Sayogyo, 1993: 98). 4.2 Sejarah Asal-usul Masyarakat Dawan Suku bangsa Dawan ini seringkali disebut dengan nama yang berbeda-beda. Istilah “Dawan” sebenarnya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh orang Belu di sebelah timur (Parera, 1994: 44, Lake, 1999: 17). Menurut Parera, istilah Dawan ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan Liurai Sonbai yang pertama, yang bernama Nai Laban. Jadi orang Dawan adalah rakyat dari Nai Laban. Akan tetapi, seorang pakar linguistik yang berasal dari kelompok masyarakat penutur asli Dawan, Drs. Anton Berkanis, M.Hum mengungkapkan bahwa istilah Dawan sesungguhnya berasal dari kata bahasa Sansekerta ‘Rawan’ yang artinya ‘Barat’. Para pedagang dan kaum pendatang dari luar menyebut orang Dawan ini dengan nama “Atoni”. Istilah ini sebenarnya kurang disukai orang Dawan (Parera, 1994: 44) karena didasarkan pada kebiasaan memanggil orang lain dengan ucapan “Hoi Atoni” yang berarti “Hai orang/teman”. Sekalipun demikian, penyebutan suku Atoni ini diterima pula oleh sebagian penduduknya. Dikatakan bahwa orang Dawan menyebut diri mereka orang Atoni Meto, artinya orang yang berdiam di daratan atau di tempat kering (Atoni = orang, Meto = darat atau kering). Ada pula yang menyebut mereka adalah “orang gunung”, sebab menurut sejarah, orang Atoni merupakan penduduk pegunungan yang terpencar (Mubyarto, 1991: 131-133). Terpencarnya orang Dawan ini diperkirakan belum lama terjadi, terlihat dari bukti bahwa variasi dialek bahasa Dawan sangat sedikit. Dalam tulisan ini digunakan istilah Dawan untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Dawan. Alasannya sangatlah praktis. Secara normatif, penyebutan suku bangsa dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat selalu dikaitkan dengan bahasa yang digunakannya. Bukankah ‘bahasa menunjukkan bangsa?’ Selain itu penyebutan Bahasa Dawan sudah cukup luas diterima oleh berbagai kalangan. Parera (1994: 47) menyebutkan bahwa pada umunya orang-orang Dawan mempunyai peradaban yang lebih rendah sehingga tidak bisa menyaingi para pendatang yang memiliki kebudayaan yang sudah lebih maju. Kenyataan ini dibuktikan dengan adanya ‘pengungsian politik’ yang terjadi sekitar abad ke-15, ketika kelompok pendatang yakni orang Belu memenuhi daerah sekitar gunung Mutis. Kepastian tentang sejarah asal-usul terbentuknya suku Dawan tidak diketahui dengan pasti (lihat Mubyarto, 1991: 134). Dari berbagai tradisi lisan, diperoleh keterangan bahwa kebanyakan penduduk di daerah NTT mengaku nenek moyang mereka berasal dari seberang lautan. Di Pulau Timor, Van Wouden (1985: 44) menyebutkan tentang luasnya penyebaran mitos tentang Sina Mutin Malakkan. Dikisahkan bahwa beberapa ratus tahun yang lalu, empat suku (hutun rai hat) meninggalkan negerinya Sina Mutin Malakkan menuju ke timur. Di Larantuka-Bauboin yakni suatu tempat di Flores Timur, sebagian dari mereka tinggal. Mereka inilah yang menurunkan raja dan penduduk pantai Larantuka (Taum, 1997: 4-6). Sebagian lainnya meneruskan perjalanannya ke Pulau Timor dan menetap serta membentuk empat kerajaan kecil, yakni: (1) Ai Hale atau Wehali; (2) Sanaleo di gunung Sanaleo; (3) Ai Meku atau Waiwiku; dan (3) Katimu atau Haitimu. Kerajaan-kerajaan ini taat kepada pemimpinnya di Wehali. Konon, wilayah Dawan kemudian dipimpin oleh seorang raja yang disebut Liurai Sonbai. Liurai Sonbai merupakan adik dari Maromak Oan, raja Wewiku Wehale yang berasal dari Sina Mutin Malakkan. Apakah orang Dawan juga berasal dari Sina Mutin Malakkan (Jazirah Malaka), belum dapat dipastikan. Yang pasti, mitos Sina Mutin Malakkan ini terutama berkembang dalam masyarakat Belu di sebelah timur. 4.3 Agama dan Kepercayaan Data yang dikemukakan dalam NTT dalam Angka 1997 menunjukkan bahwa masyarakat Dawan (khususnya di tiga kabupaten di NTT yakni Kupang, TTS, dan TTU mayoritas beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) sebanyak 94,65%. Dari total penduduk sebanyak 1.115.533 orang, penduduk yang beragama Protestan sebanyak 751.985 orang (67,41%) dan Katolik sebanyak 303.875 orang (27,24%). Penduduk yang beragama Protestan sangat dominan di dua Kabupaten yakni Kupang (435.437 orang, bandingkan dengan Katolik yang hanya 62.118 orang), dan Kabupaten TTS (Protestan 305.305 orang, Katolik 43.959 orang). Sedangkan Kabupaten TTU lebih didominasi orang Katolik (Katolik 197.728 orang dan Protestan 11.243 orang). Sekalipun mayoritas masyarakat Dawan sudah memeluk agama Kristiani sebagai sebuah agama monotheis modern dan universal, kepercayaan lokalnya masih dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal itu sungguh beralasan karena sebelum kedatangan dan kehadiran agama Kristen, masyarakat Dawan sudah memiliki kepercayaan dan pemujaan terhadap wujud tertinggi dan leluhurnya. Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini digambarkan sebagai apinat-aklabat atau ‘yang bernyala dan membara’, dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-Oetene atau ‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno berperan pula sebagai abaot-afatist artinya ‘yang memberi makan dan mengasuh kita’, amo’et-apaket artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’. Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara, dan maha kuasa Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud, yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau “Tuhan Yang Dekat atau Pendek”. Akan tetapi, keduanya masih diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit (Valens Boy dalam Mubyarto, 1991: 152-153). Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata. Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung. Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan dengan Uis Neno. 4.4 Sastra dan Kebudayaan Masyarakat Dawan sangat terkenal dengan budaya gotong royongnya. Mereka mengenal tiga jenis kerja gotong royong, yakni: Hone, Meopbua, dan Okomama. Ketiga jenis adat gotong royong ini bersumber dari landasan filsafat hidup orang Dawan yakni ‘Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese” (lihat Neonbasu dan Anselmus Leu, 1992: 139-147). Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese berarti ‘bekerja sama sehati-sepikiran’. Ungkapan ini dalam praktik merupakan motif dasar yang mengilhami setiap bentuk kerjasama dalam masyarakat Dawan. Konsep ‘bekerjasama sehati-sepikiran’ ini bertujuan mafiti/manpenen, yakni saling meringankan beban. Penekanan kerjasama ini adalah nilai sosial kemanusiaan dan bukan nilai sosial ekonomi (upah). Dalam bidang sastra, penelitian tentang sastra lisan Dawan (Tarno dkk., 1993) berhasil mendeskripsikan empat jenis Sastra Lisan Dawan yakni Bonet, Heta, Tonis dan Nu’u. Uraian singkatnya sebagai berikut. (1) Bonet. Bonet adalah jenis tuturan berirama atau puisi lisan yang seringkali dilagukan. Tuturan membentuk satuan-satuan berupa penggalan yang ditandai dengan jeda. Satuan-satuan ini membentuk bait atau kuplet. Jumlah larik tidak selalu sama. Ciri lainnya adalah pengulangan bentuk. Berdasarkan isi dan fungsinya, Bonet dibedakan atas 4 jenis, yakni: Boennitu (puji-pujian kepada arwah), Boen Ba’e (Puji-pujian dalam suasana ceria: kelahiran olen, menimang anak ko’an, penyambutan tamu futmanu-safemanu), dan nyanyian kerja (Boenmepu). (2) Heta. Heta juga merupakan sejenis puisi lisan Dawan, yang ditinjau dari segi struktur mirip dengan bonet. Jika bonet termasuk puisi ritual formal yang dinyanyikan dalam upacara adat, maka heta merupakan puisi lisan yang dituturkan dalam suasana santai tanpa dilagukan. Heta terdiri dari teka-teki (Tekab) dan peribahasa. (3) Tonis. Tonis merupakan ragam bahasa adat, sehingga penuturan tonis selalu dalam rangka adat. Tonis merupakan jenis sastra lisan Dawan yang diungkapkan dalam bentuk bahasa berirama (puisi) yang berbau prosa teratur (prosa lirik). Tonis terjalin dalam bentuk pasangan kata dalam larik dan bait-bait paralel yang berulang secara teratur. Seperti: Auni mnanu//kue mnanu “tombak panjang//kuku panjang” yang mengiaskan pejuang. Berdasarkan isinya, tonis dapat dibedakan atas dua jenis, yakni tonis pah (puisi yang berkaitan dengan leluhur) dan tonis lasi (puisi yang membicarakan masalah-masalah sosial). (4) Nu’u. Nu’u merupakan jenis prosa rakyat yang dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Dalam masyarakat Dawan terdapat dua jenis Nu’u, yakni Nu’u yang hanya boleh dituturkan oleh tonis karena berkaitan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahannya, dan nu’u biasa, yang dituturkan oleh siapa saja, yang biasanya berupa cerita-cerita rakyat. Parera (1994: 24-25) menambahkan, bahwa dalam masyarakat Dawan dikenal pula bentuk sastra lisan lainnya yakni “nel” yang berupa pantun dan ta’nu’an yakni cerita-cerita dongeng yang biasanya ditujukan untuk anak-anak. Ada tiga jenis nel atau pantun itu, yakni: (a) nel-masi’u (pantun untuk sindir-menyindir), (b) nel ta’tuna kanan (pantun untuk mengungkap asal-usul suatu marga), dan (c) nel ta’tuna pah (yakni pantun untuk mengagungkan kerajaan). Parera juga menyebutkan bahwa syair adat Dawan disebut “takanab” dan penyairnya disebut “mafefa”. Kadang-kadang syair-syair lisan itu disebut juga dengan istilah “lasitonis” dan penyairnya disebut “apiot lasi.” Dalam tulisan ini, akan digunakan istilah “tonis” untuk puisi-puisi atau syair-syair adat dan “lasitonis” untuk penyair lisan (lasi tonis)nya. Selain ritus, mitos, dan sastra lisan, masyarakat Dawan juga mengenal berbagai nyanyian dan tarian tradisional, ukiran, anyaman, dan tenun ikat yang sangat menarik, yang tidak pada tempatnya diungkapkan semuanya di sini. V. TRADISI FUA PAH DAN BAHASA RITUALNYA Dalam kehidupan masyarakat Dawan, seperti juga halnya masyarakat lainnya di kawasan timur Indonesia seperti Flores Timur (Taum, 1998: 208-216) dan masyarakat Roti (Fox, 1986) setiap pelaksanaan ritual selalu ditandai dengan penggunaan bahasa ritual yang merupakan salah satu bentuk puisi lisan. Bahasa ritual adalah titik tertinggi yang diakui dalam proses belajar, pemahaman dan sistematisasi kebudayaan, yang biasanya merupakan milik istimewa kaum tua (Fox, 1986: 270). Dari segi sosiologis, penggunaan bahasa ritual senantiasa berkaitan dengan saat-saat interaksi yang formal yang memiliki konvensi yang jelas. Bahasa ritual yang diciptakan oleh para penyair lisan (lasi tonis) itu memang memberi efek estetis, namun fungsi utamanya adalah mengamankan sistem nilai (nomoi and athea) dalam masyarakat itu turun-temurun (Taum, 1994: 208). Untuk memahami pelaksanaan ritus Fua Pah, perlu dikenal lebih lanjut siklus ritual pertanian, sebuah rangkaian kegiatan dimana masyarakat Dawan melakukan upacara tersebut. Dalam setiap pelaksanaan ritual Fua Pah, didaraskan puisi ritual tertentu. 5.1 Siklus Ritual Pertanian Masyarakat Dawan Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah atau Pah Tuaf itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) tahap panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf. Penyair lisan (lasi tonis) dalam masyarakat Dawan diyakini merupakan orang yang diberkati dan memiliki kekuatan magis religius (Tarno, dkk., 1993: 16). Dia dipercaya memegang peranan utama dalam segala pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Di desa-desa hampir di seluruh NTT, sastra (lisan) bukanlah hal yang asing. Mereka yang menguasai, mendengar, memahami, dan menghayati sastra dianggap tinggi kedudukannya. Para lasi tonis sering dilukiskan sebagai orang yang ‘berilmu tinggi’ dan memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat karena menguasai ‘cipta sastra’. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga daripada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan k.ebenaran. Sastra lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di pedesaan. Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Pah Tuaf, masyarakat Dawan sudah memiliki semacam formula mantra yang disiapkan oleh konvensi untuk dipergunakan oleh para lasi tonis-nya. Di bawah ini akan dikemukakan sebuah teks puisi lisan sebagai ilustrasi untuk menjelaskan tentang teks puisi ritual tonis tersebut, disertai dengan terjemahan dan catatan. 5.2 Puisi tonis dalam Tahap Ritual Fua Pah Menebas Hutan 5.2.1 Teks Doa Permohonan: Mpao 1) 1. O i …. : O…. Lasa net sen : Maksud kami hendak persembahkan Tonja net sen : Tutur kami hendak antarkan In abo sin : Kepada leluhurku semua 2. An honni : Anak kandungmu An ta’o : Anak ciptaanmu 3. Neno i : Hari ini Ma leku i, Lol : Dan saat ini, Kami menyembelih 4. Naitnan nafuf mese : Kami mengambil sehelai bulu Haef mese : Sepotong kaki 5. Nak’kluibe neu kit : (Kami) arahkan kepada kamu Na’nakbe neu kit : (Kami) berikan kepada kamu 2) 6. Es olas I : Karena pada saat ini Nabiku nanen : Kami sedang mengerjakan Ma Na’nepe nanen : Kami sudah lama mengerjakannya 7. Nane nak ni mak ane : Itulah nasi sudah siap Ma sis hana : Dan lauk sudah siap 8. Es utonim : Karena itu saya tuturkan Ma u’ latan : Dan (saya) panjatkan 9. Nbi humak : Ke hadapan muka Ma nbi matak : Dan ke depan mata 10. Hit matam mtisi kit : Kita bermata sempurna Hit humam mtisi kit : Kita bermuka lengkap 3) 11. Mait hit bes lultam : Ambillah besi tulis masing-masing Ma hi bes pakael : Dan besi untuk bekerja 4) 12. Hem pakae nai : Supaya mulailah bekerja Ma hem lul nai : Dan mulailah menulis 13. He hik mik batikim : Supaya kami bagi-bagikanlah sendiri Ma mboa’ kim : Dan pisah-pisahkanlah sendiri 14. Au ‘baet ka uhin : Saya tidak bisa membagi Ma au boat ka uhin : Saya tidak tahu memisahkan 15. Ma koa ok-oke : Undanglah semuanya Ma bonun ok-oke : Sapalah segenapnya 16. He humam mtisi ki : Supaya lengkaplah sekalian Ma matam mtisi ki : Dan menjadi saksilah semuanya 17. Natuin fin pena : Karena bibit jagung Ma fin ane : Dan bibit padi 18. Tonan nte : Tahunnya telah tiba Tabu nte : Musimnya sudah datang 19. Hen nha’taen hil poan : Untuk menguatkan halaman kita Taum ma lel abas : Tarum dan kebun kapas 20. Hi lof es mpao neten : Karena kamulah yang menjaga bukit Ma esa mpao kobe : Dan menjaga lembah 21. Neu anin : Juga angin 5) Neu kolo : Juga burung 22. Neu sabuin : Juga semut Ma neu kauna huma : Juga ular 23. Es nbi nifu : Juga di kolam Es nbi pah : Juga di bumi 24. Es Enam Mnasi : Juga Ibu Tua Es Amam Mnasi : Juga Bapak Tua 25. Neu kolo : Juga burung Es anem usi ke mnasi : Yang adalah padi dan maharaja 26. Ho lof es muaib : Engkaulah yang melindungi Ma mupikab : Dan menyelamatkan 27. Ho honi : (kami) yang kau kandung Ma ho ta’os : Dan yang kau ciptakan 28. Muhike nfaen : Peliharalah kembali Ma mupanen nfaen : Selamatkanlah jua 29. Neu siufa eik kinni : Dari arus teluk Ma tasi eik kinni : Dan gelombang lautan 30. Neu siu’apun Ini : Di tengah teluk Ma taes apun Ini : Dan di tengah laut 6) 31. Na sinkun at esna : Itulah sarang mereka Ma sin bael laat es na : Dan itulah tempat tinggal mereka 32. Lofa hen naot then nsaon : Nanti jalannya akan turun Nsanut tan nbina : Turunnya ke sini Naot tan nbina : Jalannya di situ 33. Nabi I : Di sini inilah (tempatnya) Af’ja bnaet naen kit : Kemarin telah dibagikan untuk kalian Ma nboa naen kit : Dan dipisahkan untuk kamu 34. Kana-kana : Nama-nama (kalian) Lofa es es : Nanti masing-masing(nya) 35. Mok ho mnahat : Akan (mendapatkan) makananmu Ma mok ho bukael : Dan (memperoleh) perbekalanmu 36. Mok ho oel : Akan (mendapatkan) airmu Ma ho oem ninu : Dan (memperoleh) minumanmu 37. Lasa tuk-tuka le’I : Maksud kami sependek ini Tonja pal-pala le’I : Tuturan kami sesingkat ini 38. Thumam mtisi kit : Atas nama kita semua Mata mtisi kit : Menjadi saksilah kamu sekalian 39. Bonunki lek-leko : Kami mengundangmu dengan baik Ma kao’ki lek-leko : Dan kami menyapamu dengan hormat 40. Es neno I : Karena hari inilah Upoin ulael aen fini : Benih padi telah disiapkan Ma pen fini : Dan benih jagung pula 41. Es poan taum : Di kebun tarum Ma lel abas : Dan kebun kapas 42. Es ta’naebam : Yang mengagungkan Ma ta latan kit : Dan meninggikanmu 43. Titbe lek-leko : Jagalah dia sebaik-baiknya Mpao be lek-leko : Lindungilah dia sebaik-baiknya 44. He nat kaisa lalisan : Mudah-mudahan tidaklah sukar Ma kaisa babotu : Dan tidak menjadi mimpi buruk 45. He nat fin pena : Sehingga benih jagung Ma fin ane : Dan benih padi 46. Nat bena : Tumbuh berkembang menjadi rimbun Ma nam kauf : Dan menghasilkan buah yang banyak 47. Nane natuin ni : Itulah sebabnya Ena Ama : Ibu dan Bapak 48. Maka lasa esna : (Kami) memberi pesan di situ Ma tonja esna : Dan maksud (sesajian) di sini 49. Lasa ona le’i : Maksud kami hanyalah sekecil ini Ma tonja ona le’I : Dan tuturan kami hanyalah sesingkat ini 50. Lasa tuk-tuka le’I : Maksud kami hanyalah sepenggal ini Ma tonja pal-pale le’I : Dan tuturan kami hanyalah sesederhana ini. Kolofon: Penutur: Lambertus Salu, 38 tahun, laki-laki, Desa Sunsea. Direkam, ditranskripsikan, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Yohanes Selan (36 tahun) dan Gaspar Nono, SH (36 tahun) di Desa Sunsea, Kabupaten Timor Tengah Utara tanggal 23 Januari 2000. 5.2.2 Catatan Teks ‘Mpao’ 1) Mpao artinya doa permohonan agar kebun dan tanaman dijaga dan dilindungi. 2) Nak’kluibe neu kit // Na’nakbe neu kit: Arahkanlah kepada kamu//Berikanlah kepada kamu. Terjemahan ini adalah terjemahan bebas. Terjemahan harfiahnya adalah: Arahkanlah kepada kita//Berikanlah kepada kita. Dalam bahasa Dawan, Kit “kita” seringkali digunakan untuk menyebut atau menyapa orang yang lebih tinggi kedudukannya, orang yang dihormati. Lihat juga bait 33. Dalam kaitannya dengan teks ini, hewan kurban itu dipersembahkan kepada Fua Pah, sang penguasa alam. 3) Hit matam mtisi kit// Hit humam mtisi kit : Kita bermata lengkap//Kita bermuka lengkap artinya semua suku dan kerabat benar-benar terwakili secara lengkap, tak kurang dan tak lebih, makanan dan minuman pun sudah siap semuanya. 4) Mait hit bes lultam//Ma hi bes pakael: Ambillah besi tulis masing-masing//Dan besi untuk bekerja. Ungkapan ini adalah pendorong semangat kerja anggota suku tersebut, untuk bekerja sungguh-sungguh dan penuh semangat. 5) Anin (angin), Kolo (burung), Sabuin (semut), Kauna huma-huma (bermacam-macam ular) adalah sumber datangnya gangguan pertanian. Fua Pah diminta menghalau dan melindungi tanaman dari gangguan mereka. 6) Bait 29 dan 30 membawa pesan penting, yang mengungkapkan tentang ‘arus teluk//gelombang laut’, ‘di tengah teluk//di tengah laut’. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan konsep tentang ‘mitos genealogis’, yang bagi masyarakat primitif, pengungkapannya mendatangkan kekuatan yang besar bagi anggota sukunya. Bait-bait ini mengingatkan kembali para leluhur tentang perjuangan mereka dalam mengarungi lautan ketika bermigrasi menuju lokasi tinggal sekarang ini. Pada umumnya masyarakat di Timor, Sumba dan Flores masih mengingat kisah-kisah kedatangan leluhur mereka yang telah melawati gelombang lautan dari seberang. Jika mengingat sejarah tersbut, para leluhur tentu bersemangat uintuk mengusir perusak-perusak tanaman: angin, burung, semut dan ular biludak. 5.2.3 Komentar Teks ‘Mpao’ Teks C secara khusus mengungkapkan doa-doa permohonan kepada ‘abo’ atau leluhur. Para pendoa menganggap dirinya sebagai ‘An honni//An ta’o’, Anak kandung(mu)//Anak ciptaan(mu). Diungkapkan tentang kelengkapan semua anggota suku, Hit matam mtisi kit//Hit humam mtisi kit “ Kita bermata sempurna//Kita bermuka lengkap. Kelengkapan ini dipandang penting artinya bagi terkabulnya permohonan mereka. Mereka sendiri pun mengharapkan bahwa leluhur di alam baka pun dapat hadir secara lengkap, seperti tampak pada kutipan berikut ini. 15. Ma koa ok-oke : Undanglah semuanya Ma bonun ok-oke : Sapalah segenapnya 16. He humam mtisi ki : Supaya lengkaplah sekalian Ma matam mtisi ki : Dan menjadi saksilah semuanya Alasan pelaksanaan ritus persembahan hewan kurban sebagai rangkaian ritual pertanian, diungkapkan sekali lagi secara lebih eksplisit dalam kutipan berikut ini. 17. Natuin fin pena : Karena bibit jagung Ma fin ane : Dan bibit padi 18. Tonan nte : Tahunnya telah tiba Tabu nte : Musimnya sudah datang 19. Hen nha’taen hil poan : Untuk menguatkan halaman kita Taum ma lel abas : Taum dan kebun kapas Dinyatakan bahwa musim tanam sudah tiba, padi, jagung, dan tarum siap ditanami lagi. Sementara itu, tujuan ritus Fua Pah, hampir sama dengan permohonan dalam teks B, diungkapan sebagai isi permohonan sebagai berikut. 20. Hi lof es mpao neten : (Karena) kamulah yang menjaga bukit Ma esa mpao kobe : Dan menjaga lembah 21. Neu anin : Juga angin Neu kolo : Juga burung 22. Neu sabuin : Juga semut Ma neu kauna huma : Juga ular 23. Es nbi nifu : Juga di kolam Es nbi pah : Juga di bumi 24. Es Enam Mnasi : Juga Ibu Tua Es Amam Mnasi : Juga Bapak Tua 25. Neu kolo : Untuk burung Es anem usi ke mnasi : Yang adalah padi dan maharaja 26. Ho lof es muaib : Engkaulah yang melindungi Ma mupikab : Dan menyelamatkan 27. Ho honi : Yang kau kandung Ma ho ta’os : Dan yang kau ciptakan 28. Muhike nfaen : Peliharalah kembali Ma mupanen nfaen : Selamatkanlah kembali Uis Pah memang diyakini sebagai pemilik bumi dan alam ini yang sifatnya jahat serta selalu merugikan manusia. Dia jugalah pemilik angin topan, hama burung, semut, ular biludak. Permohonan kepada Uis Pah diharapkan dapat menjauhkan segala macam gangguan dan halangan itu. Untuk memperkuat intensitas doanya, maka leluhur diingatkan kembali akan perjuangannya menyeberangi lautan demi mencari pemukiman dan penghidupan bagi anak-cucunya. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan konsep tentang ‘mitos genealogis’, yang bagi masyarakat primitif, pengungkapannya mendatangkan kekuatan yang besar bagi anggota sukunya. Bait-bait ini mengingatkan kembali para leluhur tentang perjuangan mereka dalam mengarungi lautan ketika bermigrasi menuju lokasi tinggal sekarang ini. Pada umumnya masyarakat di Timor, Sumba dan Flores masih mengingat kisah-kisah kedatangan leluhur mereka yang telah melawati gelombang lautan dari seberang. Jika mengingat sejarah tersbut, para leluhur tentu bersemangat uintuk mengusir perusak-perusak tanaman: angin, burung, semut dan ular biludak. Teks ‘Mpao’ sungguh-sungguh merupakan satu kesatuan puisi atau bahasa ritual yang mengandung makna yang sangat mendalam. Dari segi struktur fisiknya, teks puisi ritual itu mengandung berbagai gaya bahasa yang menarik seperti: gaya bahasa paralelisme yang konsisten, gaya eufemisme, metafora, dan gaya mitologis. Sarana sastra semacam ini sungguh-sungguh memenuhi kriteria sastra yang diberikan oleh Horatio “dulce et utile”, indah dan berguna. Sementara itu, struktur batin puisi ritual itu mengandung permohonan yang tulus-ikhlas, kepasrahan mendalam, dan keinginan yang kuat untuk terus hidup dan mengatsi segala tantangan yang ada. Catatan penting yang perlu dibuat dalam kaitannya dengan tradisi Fua Pah ini, sebagaimana terlihat dalam teks tonis di atas adalah, bahwa pemujaan, persembahan dan harapan masyarakat Dawan ternyata bukanlah tertuju kepada Sang Uis Pah seorang, melainkan kepada tri-tunggal: leluhur (Abo, Uis Nitu), Uis Pah, dan Uis Neno. Bahkan dapat dikatakan bahwa secara gradual, subjek dan objek kepercayaan tertinggi masyarakat Dawan justru adalah Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam. Jadi, sekalipun rangkaian ritual tersebut dikenal dengan nama Fua Pah yang berarti ‘persembahan kepada Uis Pah’, objek sekaligus subjek persembahan mereka adalah ketiga kekuatan ilahi tersebut. Hal ini jelas terlihat dalam teks-teks puisi ritual di atas. VI. RITUS, MITOS DAN RELIGI LOKAL DALAM TRADISI FUA PAH Kajian terhadap teks puisi lisan dalam pemujaan Fua Pah (mengingat keterbatasan tempat maka tidak semua teks tonis disertakan dalam tulisan ini) memperlihatkan hubungan yang sangat erat antara tradisi Fua Pah dengan ritus dan mitos religi lokal. Beberapa konsep religi modern tampak pula dari teks tersebut sebagai problem interteks. Kajian itu pun menggariskan sebuah paham, bahwa sastra (lisan) bukanlah sebuah genre yang berdiri sendiri, suatu genre yang otonom dan tertutup pada dirinya sendiri. Sebaliknya sastra dan bahasa ritual itu berkaitan erat dengan ritus, mitos, dan tradisi masyarakat. Dengan demikian, pemahaman terhadap sastra, perlu senantiasa melibatkan konteks sosial-budaya masyarakat. Uraian berikut ini akan mengkaji hubungan antara tradisi Fua Pah dengan sastra lisan, kepercayaan mistis dan religi lokal masyarakat Dawan. Berdasarkan kajian terhadap unsur-unsur ritual, mitologis dan religi tersebut, akan diungkap beberapa aspek yang menyangkut pandangan dunia (weltanschauung, worldview) masyarakat Dawan. 6.1 Fungsi Ritual Fua Pah Ritual dan upacara dalam studi ini dibedakan pengertiannya. Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala ataupun penjelasan-penjelasan yang mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Dalam masyarakat tradisional, termasuk masyarakat Dawan, praktik-praktik upacara atau kultis dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau umum. Tempat yang biasanya dijadikan lokasi pelaksanaan upacara Fua Pah adalah di kebun dan gunung/bukit. Tempat-tempat ini dipandang sebagai tempat suci. Dalam pandangan berbagai suku di nusantara, gunung memiliki sifat magis religius. Pemujaan gunung (mountain of Lord) adalah sebuah gejala umum. Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di muka, maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mitis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus Fua Pah bagi masyarakat Dawan. (1) Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam upacara ritual Fua Pah yang bekerja karena daya-daya mistis. Unsur ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, melalui mana manusia dapat mengetahui kehendak ilahi (Uis Pah maupun Uis Neno). Lebih lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian puisi ritual tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. (2) Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku pula. Jika kultus para leluhur, yang juga bekerja dengan cara ini dikategorikan sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno, sang Tuhan Seru Sekalian Alam. (3) Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan material anggota suku. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. (4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masuyarakat menginginkan panenan berhasil. Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan pembenaran untuk berbagai upacara. Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritual pada masa silam berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat diamati dua fenomena: ritus dan mitos, berjalan seiring. 6.2 Unsur-unsur Animisme Animisme merupakan sistem kepercayaan dimana orang membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makluk hidup dan benda mati. Ide tentang kekekalan jiwa memunculkan upacara untuk orang mati, terutama dalam bentuk pemujaan leluhur. Dhavamony (1995: 67) menegaskan bahwa animisme merupakan sebuah fenomena religius yang bersifat universal, artinya terdapat dalam semua agama. Animisme dapat dipahami sebagai kepercayaan kepada makluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga roh halus, roh leluhur, dan roh dalam objek-objek alam. Dengan gambaran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur animisme untuk sebagian masih hidup dalam tradisi Fua Pah. Tradisi ini dilaksanakan atas dasar pandangan bahwa hutan, pohon, tumbuhan, tanah, banjir, burung, angin, dan ular-biludak memiliki ‘anima’ atau jiwa. Membabat dan membakar hutan akan melukai ‘jiwa’ hutan dan bumi ini dan dapat mendatangkan murka Uis Pah. Memberikan makanan, minuman, dan menyajikan sirih pinang kepada batu-batu dan pohon-pohon besar memang terkesan sebagai sebuah praktik kepercayaan animisme. Paham animisme itu terlihat, ketika kita menyaksikan orang Dawan menyebut bermacam-macam roh, misalnya (1) roh yang berhubungan dengan manusia, yakni roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi yang tidak wajar yang secara umum disebut Pah Nitu. (2) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir yang selalu dikaitkan dengan Uis Pah. Dalam pandangan orang Dawan sekarang, ‘anima’ itu sesungguhnya bukanlah milik benda alam itu per se, seolah-olah batu dan pohon yang diberi sesaji itu memiliki jiwa. Mungkin saja pola pandangan seperti ini sudah dipengaruhi oleh hadirnya agama-agama modern di sana. Akan tetapi kini diyakini bahwa benda-benda alam tersebut hanyalah dijiwai oleh kekuatan ilahi Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah dan Uis Neno itulah yang dipercaya sebagai penguasa alam semesta ini. Pandangan ini mempermudah masyarakat suku Dawan ‘menangani’ gangguan alam ini, karena sasaran dan tujuan pemberian persembahan hanya disampaikan kepada Uis Pah. Sekalipun demikian, patut diduga bahwa pandangan ‘baru’ ini sesungguhnya memiliki dasar anismitis. Pandangan tentang ketiga bentuk kekuatan (anima) ilahi ini akan diuraikan di bawah ini. 6.3 Daya Ilahi: Uis Nitu, Uis Pah dan Uis Neno Kepercayaan dan praktik pemujaan leluhur (Uis Nitu) merupakan sebuah bentuk religi awal yang untuk sebagian besar tampaknya masih dihayati oleh kelompok-kelompok etnis di berbagai belahan dunia, termasuk dalam kehidupan masyarakat Dawan. Bentuk pemujaan terhadap leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal, khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa campur tangan dalam kehidupan manusia. Dalam ritus Fua Pah, khususnya dalam bahasa ritual (tonis), terungkap secara eksplisit kepercayaan dan permohonan kepada leluhur itu. Sekalipun rangkaian upacara adat itu adalah Fua Pah, jadi pemujaan kepada Uis Pah, namun leluhur (Tuakin nam//neuuiskinni) maupun Uis Neno tetap dilibatkan. Hal itu tampak dalam kutipan berikut ini. (1) Neu tuakin nam : Kepada para pemilik Ma neu uiskinni : Dan kepada para penguasa (2) Neu afu : Kepada debu Ma neu naijan : Dan kepada tanah (3) Nau Ama Uis Neno : Kepada Bapak Tuhan Sang Terang Ma Ena Uis Neno : Dan Ibu Tuhan Sang Terang Yang dimaksud dengan “Pemilik//penguasa” (tuakin nam//neu uiskinni) dalam kutipan (1) adalah para leluhur, nenek moyang pertama suku, ‘the cultural hero’, roh-roh orang mati yang senantiasa menjadi perantara manusia dengan wujud tertinggi. Persekutuan roh para arwah disebut juga sebagai Uis Nitu yang sering dipandang sebagai perantara manusia dengan kekuatan ilahi lainnya, yakni Uis Pah dan Uis Neno. “Debu//tanah” (afu//naijan) dalam kutipan (2) adalah sebuah gaya bahasa sinekdoke (pars pro toto) yang menyebut Sang Penguasa Bumi, yaitu Uis Pah//Pah Tuaf. Sedangkan “Bapak Tuhan sang terang//Ibu sang terang” (Ama Uis Neno//Ena Uis Neno) dalam kutipan (3) adalah penguasa tertinggi, sumber segala kebajikan. Sebutan Uis Neno sekarang merupakan terjemahan Bahasa Dawan untuk konsep Tuhan menurut ajaran Kristiani. Karena itu, tampak dalam kutipan di atas bahwa korban persembahan itu ditujukan secara gradual yang bermuara pada Tuhan Seru Sekalian Alam. 6.4 Magi dan Religi Upacara-upacara mempunyai keragaman yang tak terbatas, tetapi pada hakikatnya berfungsi mengarahkan magi kepada objeknya. Upacara Fua Pah bersatu dengan proses teknisnya, yakni memotong hewan korban dan mendaraskan puisi ritual tonis yang ditujukan kepada leluhur, Uis Pah dan Uis Neno. Unsur verbal dalam magi ini sangat penting peranannya, bahklan dapat dilihat sebagai pembentuk utama dan sumber terpercaya dari daya magi. Dalam masyarakat Dawan, puisi ritual tonis itu memiliki konvensi dan formula tertentu, sehingga penyimpangan dari konvensi itu dapat menodai akibat dari magi. Kekuatan magis dalam upacara Fua Pah masyarakat Dawan terletak pada puisi ritual tonis. Magi atau sihir adalah sebuah fenomena yang sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat primitif. Magi adalah kepercayaan dan praktik yang diyakini manusia bahwa mereka dapat secara langsung mempengaruhi kekuatan alam dan antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi (Dhavamony, 1995: 47). Dalam praktik pemujaan Fua Pah, tampak bahwa ada upaya yang bersifat magis untuk mempengaruhi kekuatan Uis Pah. Berkat doa dan kurban persembahan dibawakan dalam ritual tersebut, sang Uis Pah dipercaya dapat ‘terpengaruh’ dan mengikuti kehendak serta kemauan manusia. Manusia tradisional pada umumnya melaksanakan kegiatan-kegiatan kultisnya dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu, atau berpamrih. Mereka senantiasa memiliki alasan untuk pembenaran suatu pemujaan, misalnya untuk mencegah kemandulan wanita, menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan yang cukup, dan sebagainya (Dhavamony, 1995: 54). Inilah bentuk ibadah magi. Akan tetapi perlu disadari pula bahwa praktik ritual Fua Pah tidak hanya bersifat individual dan manipulatif. Ciri individual dan manipulatif ini merupakan ciri magi. Ritual Fua Pah ternyata memiliki ciri juga sebagai ‘agama’, karena bersifat sosial, ekspresif, dan simbolis. Setiap kali dilaksanakan upacara Fua Pah, anggota-anggota suku hadir secara lengkap, demnikian pula leluhur yang diundang semuanya secara lengkap. Dalam kegiatan ini, mereka sungguh-sungguh mengekspresikan keinginan, harapan, dan kerinduan mereka yang paling mendalam. Hasil panen memang menyangkut keberadaan manusia di dunia. Ritus ini, yang disertai pula dengan puisi-puisi ritual, memiliki simbol-simbol yang penuh makna. Tindakan ritual dan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi lisan tonis memperlihatkan bahwa Fua Pah sesungguhnya sebuah praktik kepercayaan religi lokal. Seperti telah disebutkan di atas, objek dan subjek kepercayaan akhir masyarakat Dawan bukanlah pada leluhur dan Uis Pah melainkan pada Tuhan Seru Sekalian Alam yakni Uis Neno. Uis Neno biasanya dilukiskan sebagai Ama Uis Neno// Ma Ena Uis Neno ‘Bapak Tuhan Sang Terang//Dan Ibu Tuhan Sang Terang’. Kesan yang diperoleh dari kutipan ini adalah, bahwa ada dua Uis Neno, yakni ‘ayah’ dan ‘ibu’ (lelaki dan perempuan). Padahal larik ini mengungkapkan paham monodualistis yang seringkali ditemukan dalam masyarakat di wilayah timur Indonesia. Penyebutan dua ‘kategori fungsi’ itu (ayah, ibu) berkaitan dengan pandangan tentang kesempurnaan wujud Uis Neno, yang dapat berfungsi sekaligus sebagai ayah dan ibu. 6.5 Rangkuman Susane K. Langer menegaskan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada psikologis. Dengan demikian, sesungguhnya dapat diungkapkan dasar ‘logika’ pelaksanaan ritus tersebut. Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam yang kering dan tandus, yang senantiasa hidup dalam kondisi sub-sisten, orang Dawan percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh ilahi, yakni: Uis Nitu, Uis Pah dan Uis Neno. Mereka membedakan kekuatan-kekuatan itu atas kekuatan baik (Uis Neno) dan kekuatan jahat (Uis Pah), serta adanya kekuatan perantara (Uis Nitu). Ritus, mitos, religi dan sastra lisan (tonis) merupakan satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam masyarakat Dawan, puisi ritual tonis itu memiliki konvensi dan formula yang diikuti dengan ketat, sehingga penyimpangan dari konvensi itu dapat menodai akibat dari magi. Kekuatan magis dalam upacara Fua Pah masyarakat Dawan terletak pada puisi ritual tonis. Kesimpulan ini memiliki implikasi teoritis, yakni bahwa memahami sastra lisan Dawan, harus selalu dikaitkan pula dengan pemahaman terhadap ritus, mitos, religi lokal, bahkan juga terhadap aspek-aspek sosial budaya dan lingkungan pada umumnya. VII. PENUTUP 7.1 Simpulan Berdasarkan seluruh uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa simpulan. (1) Masyarakat Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki begitu banyak tradisi ritual dalam berbagai fase kehidupan manusia. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani subsisten ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka melaksanakan upacara korban Fua Pah. Ritus ini memiliki fungsi dan berkaitan erat dengan puisi ritual tonis yang justru merupakan inti kekuatan magis upacara ritual Fua Pah. Ritus Fua Pah memiliki empat fungsi utama, yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi. (2) Ritus Fua Pah seolah-olah berkaitan dengan pemujaan setan, kekuatan ilahi yang merugikan dan mengganggu ketenangan hidup umat manusia. Beberapa orang Dawan memang menyebut Fua Pah sebagai ‘setan.’ Dalam beberapa puisi ritual tonis yang lain, jelas disebutkan bahwa persembahan itu diberikan kepada a) Uis Nitu, b) Uis Pah, dan c) Uis Neno. Secara gradual, pusat dan inti terdalam kepercayaan dan praktik penyembahan mereka adalah Uis Neno, Tuhan Yang Terang, Tuhan Seru Sekalian Alam, Tuhan yang sempurna. Inilah pula inti dari kepercayaan lokal masyarakat Dawan. Ritus Fua Pah memperlihatkan pula adanya interaksi yang sangat erat antara tradisi sastra lisan dan religi lokal. 7.2 Saran Setelah meneliti pokok-pokok tersebut di atas, maka berikut ini dikemukakan beberapa saran. (1) Salah satu keterbatasan yang tidak dapat dapat dihindari dalam penulisan ini adalah kurangnya peluang untuk melakukan studi mendalam lapangan (fields indepth study). Disarankan agar studi yang lebih mendalam (intensif) dan meluas (ekstensif) tentang topik yang sama diperlukan untuk memperkaya dan memperluas pengetahuan kita tentang tradisi ritual dan gejala sosial masyarakat agraris subsisten. Masih juga dibutuhkan perekaman, transkripsi, penerjemahan, penerbitan teks-teks puisi ritual (tonis) dari berbagai sumber data yang lebih bervariasi. (2) Tradisi Fua Pah sebetulnya mirip dengan tradisi-tradisi pemujaan di berbagai wilayah lain di Nusantara, khususnya yang berkaitan dengan motif pemujaan gunung (mountain of Lord). Diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat melakukan studi perbandingan dengan topik seperti ini, untuk lebih memperkaya wawasan kita tentang tradisi pemujaan gunung di Nusantara. Harapan yang terbuka ke depan adalah, bahwa pada akhirnya kita dapat membangun sebuah teori yang khas Nusantara, yang memadukan unsur-unsur sastra lisan, magi, animisme, dan religi yang mungkin khas Nusantara. ***) DAFTAR PUSTAKA Barlow, Colin, Ria Gondowarsito, A.T. Birowo, S.K.W. Jayasurya, 1989. Potensi- potensi Pengembangan Sosial Ekonomi di Nusa tenggara Timur. Canberra; Australian National University. Chase, Richard, 1969. “Notes on the Study of Myth” dalam Jogn B. Vickery (Ed.) Myth and Literature. Lincoln: University of Nebraska Press, Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Anropologis (Pengantar Dr. Irwan Abdullah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dashbach, Richard, 1992. “Ambeno: Bagaimana Rupamu Doeloe” dalam Agenda Budaya Pulau Timor (2). Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor. De Jong, de Josselin, P.E., 1980. “Myth and Non-Myth” dalam R. Schefold (Ed), Man, Meaning and History: Essays in Honour of H.G. Schulte Nordholt. The Hague: Martinus Nijhoff. Dhavamony, Mariasusai, 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Dove, Michael R., 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dundes, Alan. Interpreting Folklore. Bloomington: Indiana University Press. Fox, James J., 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Penerbit Djambatan. Lake, Primus, 1999a. Sifon: Antara Tradisi dan Risiko Penularan PMS. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas gadjah Mada. Manehat, Piet, 1991. “Bahan-bahan yang Disiapkan oleh Suami-Istri Sebelum Istri Bersalin” dalam Agenda Budaya Pulau Timor (1) . Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor. Mubyarto, dkk., 1991. Etos kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: P3PK UGM. Neonbasu, Gregor, 1992. ”Analisis Sosio-Budaya Masyarakat Ambeno, Timor Timur: Eksposisi dan Rtelaah Kritis” dalam Agenda Budaya Pulau Timor (2). Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor. Neonbasu, Gregor dan Anselmus Leu, 1992. “Tmeup Tabua: Nekaf Mese Ansaof Mese: Suatu Tinjauan Fenomenologis-Kritis” dalam Agenda Budaya Pulau Timor (2). Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor. Pererira, A.D.M., 1997. Sejarah Raja-raja Timor. Jakarta: Sinar Harapan. Salu, Piet, 1992. “Mutiara Yang Tercecer” dalam Agenda Budaya Pulau Timor (2). Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor. Sayogyo (Editor), 1994. Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Yayasan Obor. Sudarmanto, J.B., 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. Tarno, dkk., 1993. Sastra Lisan Dawan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Taum, Yoseph Yapi, 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur. (Pengantar Achadiati Ikram). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Taum, Yoseph Yapi, 1998. Tradisi Nololo dalam Masyarakat Fataluku Kabupaten Lautem Propinsi Timor Timur: Suatu Studi tentang Kepercayaan Lokal Melalui Khazanah sastra Lisan. Hasil Penelitian Mandiri atas bantuan Biaya Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS) dan The Toyota Foundation. Taum, Yoseph Yapi, 1999. “Sastra dan Bahasa Ritual dalam Tradisi Lisan Masyarakat Flores Timur” dalam Sastra Lisan: Pemahaman dan Interpretasi (Editor B. Rahmanto dan Bambang Kaswanti Purwo). Jakarta: Mega Media Abadi. Vickery, John B. 1982. "Literature and Myth" dalam Jean-Pierre Barricelli & Joseph Gibaldi (eds.) Interrelations of Literature. New York: The Modern Language Association of America. Whellwright, Philip. 1965. "The Semantic Approach of Myth" dalam Thomas A. Sebeok (ed.) Myth: A Symposium. Bloomington and London: Indiana University Press. Widiyatmika, Munandjar, dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud. BIOGRAFI PENULIS Yoseph Yapi Taum was born in Ataili, Lembata, NTT, 16 December 1964. He was graduated from Institute of Teacher Training (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta (20 January 1990), from which he wrote a thesis entitled: "Examining "Godlob" World of Danarto: A Semiotics Approach." In 20 January 1995 he reached his master degree from Gadjah Mada University with thesis about "Tradition and Transformation of Wato Wele Lia Nurat Myth in East Flores Oral Literature." From 1 April 1990 to 31 December 1999 he has worked as staff of lecturer of East Timor University in Dili. Since 1 January 2000 he designated lecturer of Indonesian Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University in Yogyakarta. During 2003-2004 he received a research fellowship from Asian Scholarship Foundation (ASF) to undertake a research on Collective Cambodian Memories of Pol Pot Khmer Rouge Regime in Cambodia. Wife: Katharina Sulistyawarni, children: Agustinus Patrick S. Taum, Marcelline Gratia S. Taum, and Dismas Angkasa Juang Taum. Contact Address: Faculty of Letters, Indonesian Department, Sanata Dharma University, PO Box 29, Yogyakarta 55002, Indonesia. Email: yoseph1612@yahoo.com.

sumber: endonesa.net/modules/documents/files/tradisi_fuapah_timor.doc -