Senin, 17 Mei 2010

Saat Memilih untuk Kuliah

Beberapa waktu lalu, para siswa kelas tiga SMA/SMK atau yang sederajat telah mengetahui hasil ujian nasional. Mereka yang lulus tentu ada yang ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Bagi yang tidak lulus namun ingin kuliah tentu masih memiliki kesempatan karena ada ujian ulang. Para siswa ini tentu sangat dinanti-nantikan oleh berbagai perguruan tinggi, sekolah tinggi atau akademi. Hal ini ditandai dengan adanya iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru yang marak di media massa dan yang menjamur bersama iklan komersial di tempat-tempat umum. Di beberapa lembaga pendidikan tinggi bahkan telah membuka pendaftaran mahasiswa baru. Loket-loket pendaftaran mahasiswa baru selalu disesaki antrian panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa animo masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi cukup besar. Besarnya biaya kuliah ternyata bukanlah hambatan.
Saat memilih untuk kuliah, para calon mahasiswa dan orang tuanya perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini. Pertama, motivasi berkuliah. Motivasi berkuliah ini sangat penting untuk diperhatikan karena turut menentukan keberhasilan seseorang di suatu perguruan/sekolah tinggi. Motivasi ini akan menjadi sebuah kekuatan yang mendorong semangat seseorang untuk menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah dengan baik. Lalu apa yang memotivasi seseorang mengenyam pendidikan tinggi? Apakah karena kemampuan ekonomi orang tua, desakan orang lain, agar mendapat kualifikasi akademik berupa ijazah sehingga bisa melamar pekerjaan atau naik pangkat, supaya mendapat ilmu serta keahlian tertentu ataukah kuliah karena ikut-ikutan saja?
Kalau pilihan untuk kuliah karena kemampuan ekonomi saja dikuatirkan kampus akan menjadi ajang menghamburkan atau menunjukan kemampuan ekonomi orang tuanya. Kuliah karena desakan orang lain misalnya orang tua, hanya akan membuat seseorang tidak ada minat dan semangat belajar ketika berada jenjang pendidikan tinggi tersebut. Begitu pula dengan pilihan untuk kuliah karena ingin mendapat ijazah sarjana atau diploma. Kalau ijazah yang menjadi motivator, sudah dipastikan kalau sesudah menamatkan pendidikan tingginya orang itu menjadi sarjana yang selalu membawa ijazahnya melamar ke sana ke mari atau menjadi pengangguran. Alangkah indahnya jika motivasi kuliah itu adalah hendak mendapatkan suatu ilmu dan keterampilan atau keahlian tertentu. Ketika ilmu dan suatu keahlian menjadi motivator, niscaya seorang mahasiswa akan selalu berusaha untuk memperdalam ilmunya lalu mengasah keterampilan di bidang ilmunya. Dengan demikian, setelah tamat, tidak perlu hilir mudik mencari pekerjaan atau menganggur namun dapat menciptakan lapangan kerja dengan ilmu dan keahliannya
Kedua, jurusan apa yang cocok?
Setelah adanya motivasi untuk kuliah, hal kedua yang patut dicermati adalah pilihan jurusan. Dalam pendaftaran penerimaan mahasiswa baru di suatu peruruan tinggi, sekolah tinggi atau akademi, selalu diberikan dua sampai tiga pilihan jurusan. Ada calon mahasiswa yang terkadang tidak mempersiapkan pilihan jurusannya sehingga bingung karena tidak tahu jurusan apa yang harus dipilih. Hal ini membuatnya memilih suatu jurusan asal-asalan saja atau ikut-ikutan teman. Jika demikian, kekecewaan tentu akan datang di kemudian hari karena jurusan yang dipilih tidak seperti yang diharapkan. Fakta menunjukan bahwa terdapat banyak mahasiswa yang dalam perjalanannya harus transfer ke jurusan lain karena jurusan pendidikan yang digelutinya tidak sesuai dengan cita-cita atau minat.
Sebuah jurusan yang akan dipilih sebaiknya sudah didiskusikan bersama orang tua jauh hari sebelum mendaftar ke pendidikan tinggi. Orang tua pun sebaiknya tidak memaksakan sebuah pilihan jurusan kepada anak. Dalam menentukan jurusan tersebut perlu disesuaikan dengan dengan minat dan bakat calon mahasiswa, jurusan (IPA, IPS dan Bahasa) yang diambil semasa berada di SMA/SMK. Selain itu perlu ada prediksi tentang pasar tenaga kerja atau peluang lapangan kerja ke depan. Apabila jurusan tersebut dipilih, apakah output-nya akan dibutuhkan atau dapat menciptakan lapangan kerja dengan sumber daya di sekitarnya?
Jika waktu mendaftar dan disodorkan dua sampai tiga pilihan jurusan, sebaiknya sebaiknya dibuat prioritas pilihan jurusan. Pilihan pertama adalah jurusan yang sangat diutamakan sedangkan pilihan selanjutnya adalah jurusan yang mendekati pilihan pertama. Seandainya di kemudian hari lulus dengan jurusan yang tidak diprioritaskan, hal ini bukan masalah. Transfer mahasiswa dari satu jurusan dan fakultas ke jurusan dan fakultas lainnya dapat dilakukan.
Ketiga, bagaimana dengan kondisi perguruan tinggi, sekolah tinggi atau akademi tersebut?
Ketika sebuah perguruan tinggi, sekolah tinggi atau akademi mengiklankan diri kepada masyarakat, tentu keunggulan-keunggulannya yang ditonjolkan untuk menarik banyak orang menjadi mahasiswanya. Keunggulan-keunggulan itu bisa saja rekayasa belaka. Dalam iklan seperti itu namun kemudian kenyataannya lain. Artinya, masyarakat tidak perlu langsung termakan iklan pendidikan tinggi yang menggiurkan namun patut mempertimbangkan kondisi lembaga pendidikan itu. Kondisi dimaksud yakni sarana dan prasarana perkuliahan misalnya ketersediaan ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, tenaga pengajar, pengelolaan pendidikan, legalitas lembaga pendidikan itu serta aspek lainnya. Informasi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut bisa diperoleh dari media massa atau dari orang yang sudah berkuliah di lembaga pendidikan tinggi itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang orang tua dan calon mahasiswa terkecoh dengan iklan pendidikan tinggi yang menggiurkan namun akhirnya menjadi korban karena lembaga pendidikan tinggi itu terancam ditutup karena tidak memiliki izin operasional. Masalah lainnya misalnya di kemudian hari ternyata di lembaga pendidikan tinggi itu sarana dan prasarananya tidak mendukung kelancaran perkuliahan.
Keempat, hindarilah praktek nepotisme. Praktek nepotisme ini bisa terjadi karena calon mahasiswa atau orang tuanya memiliki keluarga, teman, kenalan atau konektivitas dengan oknum tertentu yang terlibat dalam penerimaan mahasiswa baru di suatu lembaga pendidikan tinggi. Praktek nepotisme ini dalam konteks penerimaan mahasiswa baru dapat juga berupa pratek ‘penitipan nama.’ Dengan begitu calon mahasiswa lolos menjadi mahasiswa walau hasil tesnya tidak mencapai standar kelulusan. Tindakan seperti itu patut dihindari karena turut mempengaruhi kualitas mahasiswa dikemudian hari.
Keempat, memonitor penggunaan biaya pendidikan. Memasuki pendidikan tinggi tentu membutuhkan anggaran yang besar. Setelah dinyatakan lulus, tentu ada beraneka macam rincian kegiatan lengkap dengan biaya yang harus dipenuhi. Hal ini tidak menjadi hambatan bagi orang tua yang mengimpikan kecerahan masa depan anaknya. Kalau sejumlah uang sudah digelontorkan, orang tua dan sang anak yang menjadi mahasiswa, perlu ada pemantauan pemakaian dana itu. Misalnya dalam rincian itu terdapat biaya pengelolaan perpustakaan dengan sekian biayanya. Apakah dikemudian hari, terdapat pelayanan perpustakaan kepada mahasiswa secara maksimal atau morat-marit.
Beberapa hal ini kiranya menjadi referensi kecil dalam berusaha mengarungi pendidikan tinggi. Semoga para calon mahasiswa, atas bimbingan orang tuanya dapat memiliki motivasi yang progresif, memilih perguruan tinggi/sekolah tinggi/akademi serta jurusan yang tepat. Dengan demikian ketika menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan itu, sang mahasiswa tidak menjadi korban karena kekurangan bahkan ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan. Kemudian setelah menamatkan pendidikannya, dapat menciptakan lapangan kerja sendiri atau laku dipasaran tenaga kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar