Kamis, 10 Juni 2010

Problematika Pendidikan Indonesia

OLeh: Meksianis Zadrak Ndii

Dosen FST Undana, Postgraduate Student at The Australian National University (ANU)

Tahun ajaran baru segera dimulai. Kesibukan sekolah akan meningkat seiring akan adanya penerimaan siswa baru. Orang tua pun harus memastikan kecukupan dana untuk menyekolahkan anaknya.

Belakangan biaya pendidikan di Indonesia semakin menjadi-jadi. Pendidikan hampir tak dapat lagi diakses oleh semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Pihak sekolah pun memunculkan berbagai istilah-istilah menyangkut pembiayaan pendidikan. Ada uang meja bangku, uang masuk, uang raport, uang pakaian dan masih banyak lagi istilah-istilah menarik lainnya yang dipakai untuk mengakali para orang tua siswa. Ini juga terkadang dikuatkan dengan suatu aturan yang mengikat. Semisal, bagi siswa yang tidak membayar uang meja bangku tak diterima atau dikeluarkan dari sekolah tersebut.

Praktek-praktek semacam ini bukan rahasia lagi. Ini rupanya telah menjadi kebiasaan yang mau tidak mau harus diikuti. Orang tua pun terjebak dalam pilihan yang serba sulit. Disatu sisi ketiadaan dana yang cukup untuk memenuhi tuntutan biaya pendidikan yang semakin mahal, disisi lain mereka juga menginginkan anaknya dapat melanjutkan pendidikan.

Tampaknya, pendidikan sudah menjadi industri menjanjikan. Mungkin ini adalah alasan mengapa pemerintah mendukung dan mengizinkan berdirinya berbagai macam model atau tipe sekolah seperti sekolah berstandar internasional. Namun, pada saat bersamaan, sekolah-sekolah dipelosok tak pernah distandarkan, fasilitas pendidikan, guru tidak pernah distandarkan.

UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan belum ditepati. Ini tampak jelas bahwa banyak anak usia sekolah yang belum mendapatkan kesempatan pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan suatu bangsa. Karenanya, lewat pendidikan para kaum miskin dapat memperbaiki taraf hidupnya.

Disayangkan, praktek-praktek seperti ini tak mendapat tindakan tegas. Ini dibiarkan saja. Sekolah-sekolah berlabel negeri juga melakukan hal yang sama. Praktek semacam ini tak pernah ditindak.

"Berdagang Pendidikan"
Berdagang pendidikan mensyaratkan pedagang dan pembeli. Keduanya harus memiliki kapital/modal. Ketika pendidikan dijual oleh penyelenggara pendidikan kepada rakyat, maka kaum berduit yang dapat membelinya. Sebaliknya, kaum miskin tidak sanggup membelinya.
Pemilik modal sekolah negeri adalah pemerintah. Modal ini sebenarnya diperoleh dari rakyat. Berdasarkan fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa rakyat adalah pemilik modal pendidikan

Jika rakyat adalah pemilik modal, maka seharusnya rakyat secara leluasa menikmati pendidikan. Dan memang ini juga telah diatur dalam UUD 1945 bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa praktek-praktek semacam pungutan uang meja bangku, perpisahan, uang masuk, uang rapor dan lain sebagainya, yang telah menyengsarakan rakyat tak pernah ditindak? Apakah ada aturan jelas yang mengatur itu?

Kedua, tak ada tindakan tegas dari pemerintah mengindikasikan ketidak pedulian kepada rakyat. Rakyat sebagai pemilik modal telah ditipu dengan berbagai kebijakan-kebijakan menyesatkan yang sering dilakukan oleh pihak sekolah. Rakyat tidak dilindungi oleh negara. Negara mengorbankan rakyatnya

Keraguan
Kenyataan bahwa praktek-pratek yang tidak wajar terjadi di sekolah negeri yang akhirnya menyusahakan rakyat adalah bukti bahwa pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis. Ketiadaan tindakan tegas akan memuluskan jalan dan meluaskan praktek-praktek tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan tidak ada monitoring terhadap penggunaan dana-dana hasil pungutan tersebut. Ini memungkinkan terjadinya manipulasi. Pada akhirnya, pendidikan yang memiliki peran sentral dalam pembangunan suatu bangsa akan terus dipertanyakan. Institusi pendidikan akhirnya menjadi tempat belajar yang tak layak sebab praktek memalukan tampak jelas didepan siswa.

Upaya pembangunan pendidikan tidak akan berarti apabila membiarkan anak-anak kaum miskin terbelenggu dalam kebodohan. Jika demikian maka kelompok masyarakat berduit akan menjadi kelompok terpelajar sedangkan kaum miskin akan menjadi kelompok manusia tidak terpelajar yang akan terus terkungkung dalam kebodohan. Akibatnya kelompok masyarakat miskin akan terus berada dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Jadi, pendidikan gagal menawarkan solusi perbaikan bagi kaum miskin.

Upaya Penyelesaian
Persoalan yang jelas nampak ini perlu diantisipasi. Ketidakpedulian npemerintah terhadapa masalah ini dapat diantisipasi dengan menghidupkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka sebagai warga negara. Ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat peduli pendidikan yang terus mengontrol penyelengaraan pendidikan. Selain itu, perlu diadakan kegiatan-kegiatan penyuluhan atau kegiatan semacamnya yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat. Kritik dan kontrol publik memiliki kekuatan yang besar. Media massa juga berperan penting dalam hal ini.

Kesadaran akan hak-hak mereka terhadap pendidikan akan menciptakan daya kritis masyarakat. Karenanya, mendidik masyarakat agar mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai warga negara khususnya dibidang pendidikan sangatlah penting. Komunitas-komunitas peduli pendidikan, media massa memegang peranan penting dalam proses ini.

Setidaknya, ketika masyarakat menjadi paham, mereka akan bertindak tegas ketika berhadapan dengan ketidakadilan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pendidikan. Jika tidak, selamanya kita akan menjadi bangsa yang tertinggal.

Dikutip dari Timex, 11 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar