Rabu, 15 Desember 2010

Penganggur Intelektual Adu Nasib

Setelah hilir mudik mengurus kelengkapan administrasi dan ikut dalam antrian panjang untuk melamar sebagai peserta tes Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD), ribuan pelamar di NTT dijadwalkan mengikuti tes tertulis pada 13 Desember 2010. Sebagian di antara pencari kerja tersebut tentu merupakan penyandang gelar sarjana atau diploma yang selama ini menganggur. Menurut data BPS Pusat, sebanyak 628 ribu sarjana dan sekitar 1,1 juta lulusan D3 yang menganggur (Tribun News, 8 Juni 2010). Khususnya di NTT, pengangguran bergelar sarjana atau diploma sebanyak 41,21 persen (Timor Express, 6 Desember 2010) Jumlah sarjana pengangguran tersebut tentu semakin bertambah seiring dengan terus digelontorkannya ribuan sarjana dari berbagai perguruan tinggi atau yang sederajat.
Para panganggur intelektual tersebut seolah mendapat hembusan angin segar ketika ada tes penerimaan CPNSD. Loket-loket pendaftaran dikerumuni bagai semut mengerumuni sebutir gula.. Misalnya, di Kota Kupang, alokasi dalam formasi penerimaan CPNS sebanyak 104 orang, sementara pelamar 1.050 orang. Apakah 946 pelamar yang tidak lulus akan menganggur sambil menanti tes CPNSD tahun depan ataukah mencari pekerjaan lain?
Banyaknya pencari kerja yang melamar dan sedikitnya alokasi tenaga kerja dalam tes penerimaan CPNSD membuat sebagian pelamar termasuk yang selama ini menjadi penganggur, memandang momen tersebut sebagai ajang adu nasib. Mengikuti tes tersebut jangan sampai karena mujur atau bernasib baik sehingga dari puluhan orang dia yang lulus. Kalau tidak lulus tes mungkin nasib belum bagus. Apakah nasib yang baik hanya dapat diraih dengan menjadi seorang PNS? Nasib yang baik bahkan lebih baik tentu bisa didapat dengan menggeluti profesi lain. Lalu mengapa PNS merupakan profesi yang paling diminati untuk membuat ‘nasib’ lebih baik? Ada beberapa penyebabnya yaitu PNS sebagai alat ukur kesuksesan, gaji yang menggiurkan dan lulusan dari suatu jenjang pendidikan tidak memiliki keahlian tertentu.
Pertama, PNS sebagai alat ukur kesuksesan. Sebagian masyarakat NTT menganggap orang sukses atau bernasib baik ketika orang itu menjadi PNS. Seseorang akan dianggap telah ‘menjadi orang’ kalau sudah menjadi PNS dan menerima gaji setiap bulan. Entah sebelum menjadi PNS, dia adalah orang atau apa? Para orang tua begitu bangga kalau anaknya menjadi PNS. Anak kerap dihujani nasihat agar rajin bersekolah agar kelak menjadi menjadi PNS. Akhirnya yang ada dalam benak anak hanyalah menjadi sosok PNS dengan pakaian dinas dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) bergantung di dada dan setiap bulan menerima gaji. Menurut Uskup Agung Ende, Mgr. Sensi Potokota, orang NTT sekarang sudah sangat gila menjadi PNS dan terkesan sudah menjadi virus (Flores Pos, 20 Mei 2010).
Kedua, gaji yang menggiurkan. Kalau menjadi PNS, sudah pasti menerima gaji jutaan rupiah setiap bulan. Dalam lampiran PP Nomor 25 Tahun 2010 Tentang Perubahan Keduabelas Atas PP Nomor 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji PNS, seorang PNS golongan III a dengan masa kerja 0 tahun, gajinya Rp1.743.400 per bulan. Kalau PNS tersebut mencapai golongan IV e dengan masa kerjanya 32 tahun, gajinya Rp 3.580.000. Saat pensiun, tentu mendapat Tabungan Pensiun (Taspen) serta masih menerima gaji setiap bulan walau sudah tua dan hanya menghabiskan waktu di rumah. Bagaimana tidak tergiur untuk menjadi PNS?
Ketiga, lulusan dari suatu jenjang pendidikan tidak memiliki keahlian tertentu. Sudah berkali-kali pemimpin berbagai akademi, sekolah tinggi atau perguruan tinggi mengingatkan wisudawannya agar tidak mengharapkan lapangan pekerjaan dari pemerintah namun harus menciptakan lapangan kerja sendiri. Bagaimana seorang sarjana mau menciptakan lapangan pekerjaan kalau hanya wisuda dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lumayan namun tidak memiliki sebuah keahlian atau keterampilan tertentu? Bagaimana seorang sarjana mau memiliki suatu keahlian kalau semasa kuliah, ia tidak ditunjang dengan sarana dan prasarana perkuliahan yang memadai serta tidak adanya kesadaran dari pribadinya untuk memiliki sebuah keahlian?
Akibat tidak memiliki suatu keahlian atau keterampilan, seorang sarjana hanya bisa menganggur lalu menanti adanya tes penerimaan CPNSD. Dalam tes ini keterampilan atau keahlian tidak dites namun yang dites adalah pengetahuan semata. Keahlian atau keterampilan menjadi urusan kemudian kalau sudah menjadi PNS.
Sampai kapan kita harus mengadu nasib untuk menjadi PNS? Apakah kita akan memiliki nasib buruk kalau menjadi petani, peternak, atau pengusaha unggul?
Semoga pada tanggal 23 Desember 2010, ketika hasil tes tertulis CPNSD diumumkan, para diploma atau sarjana yang tidak lulus atau belum memiliki ‘nasib’ baik, bisa memilih untuk berwirausaha atau memilih untuk menggeluti profesi lain.


Timor Express, 13 Desemmber 2010

1 komentar:

  1. nasib...nasib... jadi pengangguran. mending jadi pedagang senjata atau narkotika, atau barang selundupan

    BalasHapus