Oleh: Imanuel E.O. Lopis
(Mahasiswa FKIP, Undana, Kupang)
“Sonde mati, gila!” Sepenggal kalimat ini merupakan ungkapan yang beberapa waktu terakhir ini tenar di sebagian besar anak muda, termasuk para pelajar di Kota Kupang dan sekitarnya. Kalimat ini mengandung makna ada akibat dari sebuah tindakan atau kejadian yaitu mati atau gila.
Apa yang bisa membuat seseorang kalau bukan mati, gila? Salah satu hal yang menyebabkan itu yakni Ujian Nasional (UN). Setelah UN dilaksanakan dan diumumkan hasilnya, banyak murid peserta ujian yang ‘gila’ bahkan mati karena bunuh diri.
Masih ingat Adriana Kambida Nendir? Ia adalah murid SMA Negeri I Waingapu yang bunuh diri akibat tidak lulus dalam UN (Suara Karya, 19 Juni 2008). Kejadian lain yaitu puluhan murid SMA Negeri 2, Kupang Timur, merusaki kaca jendela sekolah karena tidak lulus dalam UN (Detikcom, 6 Juni 2007). Di tempat lain, karena tidak lulus UN pula, ada murid yang minum miras dan memukul gurunya.
Beberapa contoh faktual di atas menunjukan bahwa ketidaklulusan bisa membuat para murid peserta UN ‘gila’ atau ‘mati’. Setiap tahun setelah pengumuman hasil UN, para pelajar selalu menjadi korban. Sebelum diadakan UN saja, ada pelajar yang sudah rasanya seperti mau mati atau gila.
Mengapa para pelajar bisa berperilaku seperti ini? Hal ini karena stres telah mengungkung mereka. Stres, menurut Dr. Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Kamus Psikologi, diartikan sebagai: sejenis frustrasi di mana aktifitas yang terarah pada pencapaian tujuan terganggu; tekanan-tekanan fisik dan psikis yang dikenakan pada tubuh dan pribadi; ketegangan fisik atau psikis karena ketakutan dan kecemasan.
Hal yang membuat seseorang menjadi stres disebut sebagai stressor. Ada tiga jenis stressor menurut Sutardjo A. Wiramihardja dalam Pengantar Psikologi Abnormal, yaitu frustrasi, konflik dan tekanan (pressure). Roges dan Dorothy seperti yang dikutip Wiramihardja, mengartikan frustrasi sebagai situasi di mana orang menghayati situasi terhambat ketika melakukan upaya untuk mencapai yang dituju. Reaksi frustasi berupa perilaku yang tak terfrustasikan (unfrustrated behavior) dan perilaku yang terfrustrasikan (frustrated behavior).
Perilaku yang tak terfrustrasikan berupa perilaku-perilaku yang konstruktif, misalnya, seseorang ketika tidak juara dalam suatu perlombaan, ia terus berlatih untuk juara pada perlombaan berikutnya. Sementara perilaku terfrustasikan berupa perilaku-perilaku destruktif, misalnya, melakukan pengrusakan, penganiayaan, atau perilaku yang mengganggu orang lain bahkan diri sendiri ketika gagal mencapai sesuatu yang dituju.
Stresor kedua yakni konflik, merupakan dua atau lebih kebutuhan yang memiliki kekuatan yang sama dan berjalan bersama-sama sehingga menyebabkan konflik karena individu harus memilih. Stresor yang satu lagi yakni tekanan (pressure), merupakan tekanan mencapai tujuan atau tekanan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Dalam tekanan, individu dipaksa atau terpaksa melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan atau tidak bisa ia lakukan.
Stres yang dialami para murid mulai awal tahun ajaran baru. Ketika duduk di kelas VI sekolah dasar, kelas IX sekolah menengah atau kelas XII sekolah menengah atas/kejuruan, mereka berhadapan dengan tekanan untuk mengikuti les tambahan baik di pagi buta maupun sore hari di sekolah. Mereka harus melumat habis materi pelajaran dan soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya. Waktu bermain, menonton televisi, atau bersenang-senang dikurangi bahkan ditiadakan oleh pihak sekolah dan orang tua.
Seandainya mereka berperilaku seperti membuat kegaduhan di kelas saat guru tidak masuk kelas, mereka bisa saja dimarahi guru lain bahwa mereka harus belajar bukan membuat kegaduhan karena akan mengikuti UN. Les-les tambahan dan tuntutan untuk selalu belajar agar lulus UN merupakan pressure yang diberondong kepada para murid yang akan mengikuti UN. Akibatnya mereka mengalami stress.
Selain stres karena pressure, para murid mengalami stres karena konflik akibat adanya dua tuntutan atau kebutuhan yang sama kekuatannya dalam diri mereka. Misalnya, di tengah keharusan belajar, si murid butuh untuk nongkrong bersama teman-temannya. Konflik pun terjadi karena ia harus memilih untuk belajar atau nongkrong.
Bagaimana dengan kondisi psikis para murid setelah mengikuti UN dan tidak lulus? Sudah pasti mereka mengalami frustrasi karena kelulusan yang diharapkan tidak tercapai atau keinginan untuk melanjutkan pendidikan terhambat oleh ketidaklulusannya. Dalam keadaan frustrasi, perilaku yang terfrustrasikan seperti merusak fasilitas sekolah, menganiaya guru, minum minuman keras bahkan minum racun bisa terjadi.
Sebentar lagi UN akan tiba. Berdasarkan Peraturan Mentri nomor 46 tahun 2010, UN untuk SMA dan yang sederajat pada 18-21 April 2011 sedangkan SMP dan yang sederajat pada 25-28 April 2011. Artinya tidak lama lagi para peserta akan mengikuti UN. Sejak semester I sampai semester II yang sedang bergulir, para murid yang akan mengikuti UN pasti mengalami stres baik karena frustasi, konflik maupun tekanan. Kalau selama ini orang tua, kepala sekolah dan guru menekan si murid yang akan ikut UN untuk tekun belajar agar lulus UN, sebaiknya tekanan itu dikurangi bahkan tidak perlu menekan para mereka. Kontrol saja dan dampingi anak atau murid untuk belajar semampu mereka dan berikan waktu bagi mereka untuk bermain, refreshing, menonton televisi, dan bergaul dengan teman-temannya.
Satu hal yang patut diwaspadai adalah jangan sampai murid-murid terus ditekan guru atau kepala sekolah untuk lulus UN lantaran ada tekanan dari sang bos alias Kadis PPO. Sementara Kadis PPO-nya mendapat tekanan dari kepala daerah. Kepala daerahnya mungkin takut malu kalau hasil UN di daerahnya terpuruk. Tekanan dari atas ke bawah untuk lulus UN bisa menumbalkan kejiwaan anak didik.
Selain tidak memberikan tekanan, para murid tidak perlu ditakuti dengan standar kelulusan dan hasil kelulusan tahun lalu yang buruk. Momok UN hendaknya dijauhkan dari mereka. Rasa optimismelah yang patut ditanamkan. Optimisme itu tentu berdasarkan ketekunan belajar mereka. Ketekunan belajar itu tentu bukan dilihat dari seberapa banyak mengikuti les dan seberapa lama mengurung diri dalam kamar untuk menghafal pelajaran.
Optimisme menurut Lawrence E. Shapire dalam Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, merupakan kecenderungan memandang segala sesuatu dari sisi baiknya. Optimisme juga akan mengubah pikiran negatif menjadi positif dan kalau terjadi sesuatu yang buruk, orang yang optimis akan memandangnya secara realistis.
Apabila para murid memiliki rasa optimis, UN bukanlah momok namun merupakan anak tangga menuju kesuksesan. Ketika tidak lulus, bisa menerima kenyataan atau realistis bahwa ia memang belum mencapai standar kemampuan akademik yang dipatok.
Wujud pengoptimisan para murid bisa berupa kata-kata pengobar semangat belajar atau kata-kata yang memberi pengharapan realistis, baik sebelum UN, sementara UN dan sesudah UN. Saat sesudah UN, apalagi setelah pengumuman hasilnya, murid-murid yang tidak lulus wajib dicurahi kata-kata penguatan, optimis atau yang menghibur. Lebih dari sekedar kata-kata, mereka wajib pula untuk didampingi guru atau orang tua.
Dalam UN tingkat SMP dan yang sederajat pada tahun tahun lalu, seorang murid SMPN I Karang Anyar sebagai peraih nilai tertinggi secara nasional, mendapat telepon dari SBY. Bisakah di tahun ini SBY, Mendiknas, para kepala daerah, atau para Kadis PPO berkenan memberikan para murid sebuah kata penguatan sebelum UN? Setelah hasil UN diumumkan, bisakah mereka berkenan menelepon seorang murid peserta UN yang tidak lulus dengan nilai terendah, untuk memberikan satu kata pengharapan baginya?
Semoga dalam persiapan menghadapi UN, aspek kejiwaan para murid yang akan mengikuti UN juga turut dipersiapkan. Dengan demikian, setelah hasilnya diumumkan dan ternyata ada yang belum lulus, mereka dapat menerimanya dengan realistis dan optimis untuk terus berjuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar