Sabtu, 01 Agustus 2009

Kepentingan Politik vs Kekeluargaan

Politisi tidak mempunyai teman abadi dan musuh abadi.
Yang dipunyai hanyalah kepentingan abadi
(Roseleen Nzioka)
Ketika aroma pesta politik mulai berhembus ke segala penjuru bumi pertiwi dalam hantaran deru angin, berbagai gesekan, gosokan dan gasakan politis mewabah di mana-mana hingga suasana memanas, berkobar sampai membara, lalu akhirnya padam. Elit-elit politik yang mencuatkan diri sebagai para petarung sejati dalam sebuah kompetisi baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres dan Pilwapres bagai dua atau setumpuk besi tua yang bergesekan hingga memercikkan api dan mengobarkan spirit perjuangan dalam kubunya. Kemunculan para kompetitor politik ini menciptakan berbagai kubu hingga ke masyarakat akar rumput. Munculnya kubu-kubu tersebut adalah sebuah pelangi yang menyemaraki atmosfir demokrasi. Hal ini wajar karena kita sebagai anak-anak pertiwi tentu memiliki impian yang sama terhadap kemajuan negeri ini namun menempuh jalan yang berbeda.
Perbedaan misi, cara pandang dan pilihan politik tentu tidak bisa dielak dalam sebuah kehidupan yang demokratis namun sangat disayangkan jika perbedaan-perbedaan itu tidak dijunjung tinggi. Sangat ironis jika orang lain yang berbeda pilihan dipaksa untuk mengikuti apa yang tidak ia pilih. Sangat mengharukan jika kubu-kubu yang telah berseliweran di seluruh pelosok mulai bertikai karena tidak mau mengakui kelemahannya dan kelebihan kubu yang lain.
Adu jotos antar berbagai kubu dalam setiap perhelatan politik ini seperti yang telah kita saksikan dalam beberapa Pilkada, Pileg atau mungkin dalam Pilpres dan Pilwapres yang sementara bergemuruh ini serta berbagai pergolakan politik lainnya.
Beberapa waktu lalu dalam pemilihan kepala daerah di Maluku Utara, kubu Thaib Armayn - Gani Kasuba bentrok dengan kubu Abdul Gafur - Abdul Rahim Fabanyo (Timor Express, 21 Juli 2008). Penyelengaraan Pilkada di bumi Flobamora juga tak luput dari noda konflik. Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada beberapa waktu lalu, ada tidakan anarkisme—pengrusakan kantor KPUD NTT oleh paket tertentu yang melibatkan massanya (Timor Express, 21 Mei 2008). Penyelenggaraan pemilihan bupati dan wakil bupati di berbagai daerah di NTT juga sarat dengan berbagai kecurangan dan konflik antar kubu, begitu pula dengan Pileg. Selain terjadi kericuhan dan penyimpangan, juga terjadi banyak perceraian suami dan istri karena gagal dalam berpolitik serta istri terabaikan karena suami lebih mencintai aktifitas politiknya (Lampung Pos, 3 Agustus 2008).
Mengapa pertikaian, kampanye hitam, penggelembungan suara dan berbagai pelanggaran lainnya selalu terjadi dalam suatu pesta demokrasi? Keberadaan setiap kompetitor dan kubunya dalam sebuah pertarungan tentu dilatarbelakangi oleh sebuah motivasi. Motivasi-motivasi, terutama motivasi untuk berkuasa, mendapat jabatan, merontokkan lawan politik, mendapat pujian dari atasan partai merupakan motor penggerak yang memicu timbulnya hal-hal busuk dalam berdemokrasi. Selain itu juga karena ada egoisme (sikap, perasaan dan cita-cita) yang tidak realistis sehingga menimbulkan agresifitas untuk mempertahankan diri (Sukmadinata, 2004). Egoisme para politisi juga terlihat dari sikap menganggap dirinya paling baik lalu suka mencela atau membenci lawannya. Narsisme dan sadisme para politisi ini turut memberikan peran yang signifikan dalam sebuah kekisruhan politik. Noda-noda demokrasi ini timbul juga akibat frustasinya elit-elit politik bersama barisan-barisan pendukungnya karena gagal dalam meraih kursi dan jabatan atau karena gentar terhadap rivalnya. Jika seorang politisi frustasi karena lawannya begitu tangguh maka yang dilakukan seperti melakukan kampanye hitam tentang lawannya, menggelembungkan suara dalam pemilihan, dan sebagainya sedangkan politisi yang frustasi karena kalah dalam pemilihan bisa saja mengerahkan massanya untuk bertindak anarkis, atau suka mencari-cari kesalahan lawannya yang sukses untuk mengganjalnya. Sebagaimana dalam teori frustasi- agresi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang mendorong suatu perilaku untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (http://bowothea.blogspot.com). Mental berpolitik seperti ini hanyalah warisan dari Orde Baru yang diindikasikan dengan menghalalkan semua cara untuk meraih kekuasaan demi kepentingan pribadi lalu berusaha untuk mempertahankan kekuasaan itu sampai habis-habisan.
Kepentingan-kepentingan tertentu dalam berpolitik ini telah menginfeksi dan menghancurkan roh kekeluargaan kita dalam semua lapisan masyarakat, baik di kalangan elit politik maupun masyarakat kecil. Elit-elit politik yang dahulu selangkah seirama bisa ‘berseteru’. Tim-tim sukses yang dahulu merupakan sahabat bisa saling mengintai untuk saling menyerang. Rakyat kecil yang dahulu hidup rukun dalam keluarga bisa hancur karena perbedaan pilihan politik. Hal ini bisa saja terjadi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Secara psikologis, perang antar tiga pasangan pemimpin kita, antar tim sukses dan antar simpatisan telah berkobar melalui berbagai pernyataan di media massa atau melalui aktivitas lainnya, termasuk perang iklan. Para calon presiden dan wakil presiden selalu mengkritik lawannya dengan pernyataan yang panas lalu lawannya pun membalas dengan kritikan atau sindiran yang tak kalah panas. Tim-tim sukses menjanjikan kemenangan atau mengklaim kemenangan di mana-mana. Iklan-iklan yang mencerminkan narsisme dan rayuan manis para politisi juga menjamur di mana-mana. Perang psikis ini membuat gesekan-gesekan antar kubu semakin panas dan dapat mencederai kekeluargaan kita jika kepentingan sesaat sajalah yang diutamakan.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang kini bersemarak, berjalan dalam momentum Hari Keluarga Nasional sehingga roh kekeluargaan diantara elit politik sampai masyarakat akar rumput yang terkotak-kotak dalam berbagai kubu politik hendaknya semakin berkobar dalam setiap perbedaan. Sebagai politisi sejati, tim sukses, petinggi partai dan sejumlah elit politik lainnya, motivasi yang menjadi penggerak keterlibatan dalam gelora kecamuk politik hendaklah bukan motivasi untuk mengejar jabatan, kedudukan, atau keruntuhan lawan politik. Alangkah mulianya jika itu bukan karena ada udang di balik batu atau bukan karena ada kepentingan pribadi dan golongan di balik pemilihan presiden dan pemilihan wakil presiden tetapi karena kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Janganlah memperdayai dan memanfaatkan keluguan rakyat kecil sebagai mesiu dan rompi anti peluru dalam menyerang lawan politik tetapi berdayakanlah para akar rumput ini agar memiliki sikap demokratis yang pada akhirnya menghargai perbedaan. Tim-tim sukses yang dalam menjalankan fungsinya bersentuhan langsung dengan masyarakat hendaknya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat dan bukan memprovokasi atau memaksakan kehendak kepada masyarakat. Sebagai masyarakat juga janganlah terprovokasi dengan isu-isu murahan seperti isu suku, agama dan ras serta golongan yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu dan jangan mau menjual suara kita. Jangan sampai kemesraan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat yang telah terjalin selama ini menjadi kisut akibat disusupi kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, semangat Bhineka Tunggal Ika kiranya selalu membara dalam jiwa kita. Masalah di laut, jangan dibawa ke darat. Masalah perseteruan politik janganlah dibawa-bawa ke dalam keluarga. Gejolak dendam politik hendaknya diredam lalu saling berangkulanlah menuju sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Rasa kekeluargaan yang dijalin janganlah hanya sebuah kepura-puraan belaka untuk meraih tujuan pribadi. Apalah artinya kemunafikan (bersahabat, berkoalisi atau berkeluarga) dengan partai atau kubu tertentu hanya untuk mendapat jabatan, memanfaatkan koalisi yang besar untuk membalas dendam pada lawan yang berada di kubu lain, ataupun untuk menjadi penghianat dalam kubu itu?
Kemenangan sejati dalam suatu pertempuran politik adalah memenangkan rasa kekeluargaan dari berlaksa-laksa pertikaian yang muncul sebagai akibat dari ambisi akan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar