Sabtu, 01 Agustus 2009

Buruan Cium ‘Ina’

Tanggal 26 Mei 2009, hari yang bersejarah bagi kita, khususnya masyarakat Sabu Raijua karena perjuangan semua komponen yang sarat syarat, tantangan dan pantangan telah indah pada waktunya. Setelah terbitnya UU Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi NTT, sang bungsu dalam keluarga Flobamora ini diresmikan sebagai daerah yang berdiri mandiri. Beberapa hari kemudian pun warga Sabu Raijua meluapkan sukacitanya dalam pesta rakyat yang berpusat di lapangan Napae, Seba.
Dalam dua seremoni itu—peresmian kabupaten Sabu Raijua dan pesta rakyat, berciuman hidung pasti tak terhindarkan. Berciuman (hengedo) bagi masyarakat Sabu sudah menjadi tradisi. Ciuman merupakan sarana bagi orang Sabu untuk mengungkapkan beribu perasaan yang bergemuruh dalam hati. Camat Sabu Barat. Wempy Imanuel Riwu pernah mengatakan bahwa ciuman (kepada tamu) menunjukan perdamaian dan keterbukaan hati (Pos Kupang, 20 Mei 2008).
Sebuah ciuman tentu memiliki penyebab dan tujuannya. Orang Sabu tentu berciuman karena tradisi serta bertujuan untuk menyampaikan berbagai isi hati sedangkan sepasang kekasih yang berciuman bisa saja karena dorongan nafsu belaka demi kepuasan batiniah. Ciuman bisa sebagai solusi tetapi bisa menjadi masalah, misalnya ciuman Yudas kepada Tuhan Yesus yang merupakan sebuah tanda penyerahan.
Dalam konteks pemekaran Sabu Raijua, terbitnya UU RI Nomor 52 Tahun 2008 merupakan ‘ciuman’ pemerintah pusat kepada segenap warga Sabu Raijua. Ada apa di balik ‘ciuman’ pemerintah pusat ini? Apakah karena kepentingan oknum-oknum tertentu? Apakah untuk membebaskan kabupaten induk dari Sabu yang mungkin sebagai batu sandungan?
Entah karena apa dan untuk apa, yang pasti pemekaran Sabu Raijua dari kabupaten Kupang sebagai upaya mendekatkan dan meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah (UU RI Nomor 52 Tahun 2008). Pemekaran daerah tersebut juga tentu bertujuan untuk membuka kesempatan dan lapangan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, memberikan kesempatan kepada daerah dalam mengelola potensi-potensi alam serta mendapatkan investor secara langsung.
‘Ciuman’ pemerintah pusat ini telah disambut hangat oleh segenap warga Sabu Raijua yang tercermin dalam pesta rakyat pada 5 Juni 2009.
Dalam berproses untuk mewujudkan Sabu Raijua yang mandiri dan makmur di tengah hamparan laut biru, hengedho hendaknya menjadi spirit bagi masyarakat dan pemerintah.
Satu hal yang patut mendapat jamahan serius adalah pendidikan warga Sabu Raijua. Hal ini mengingat pendidikan memberikan andil yang besar dalam pembangunan sebuah daerah. Pendidikan tentu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No 20 tahun 2003). Jika masyarakat Sabu terutama generasi muda terdidik dengan baik, niscaya Sabu Raijuan bisa mengguncang dunia karena kemajuannya.
Dalam menyatakan masyarakat yang terdidik, terutama melalui jalur formal, ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu komponen masukan instrumental (tenaga pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum, anggaran, sarana dan prasarana) dan masukan lingkungan (kehidupan sosial masyarakat, ekonomi, politik dan sebagainya) harus memadai (Tirtarahardja dan Suta, Asas-Asas Pendididikan, 2000). Jika kedua komponen ini komplit dan bersenyawa dalam sebuah proses pendidikan yang baik maka masukan mentah (siswa) bisa menjadi output yang berkualitas dan tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan wajib belajar sembilan tahun.
Membahas mengenai tenaga pendidik, tenaga kependidikan, anggaran pendidikan serta sarana dan prasarana, beberapa hal ini selalu menjadi masalah basi di Flobamora tercinta. Di berbagai kabupaten yang sudah mandiri sekian tahun saja masih kekurangan guru, ketiadaan sarana belajar, kecurian anggaran pendidikan, apalagi di Sabu Raijua yang baru berumur beberapa hari. Kendala kemajuan pendidikan lain bisa juga datang dari enviromental input terutama keadaan ekonomi, kehidupan sosial masyarakat, transportasi dan informasi. Kenyataan menunjukan bahwa banyak anak usia sekolah di Sabu Raijua yang tidak bersekolah karena ingin sukses seperti orang yang pergi merantau atau lebih suka mencari nafkah daripada bersekolah (http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/). Sebagaian masyarakat Sabu Raijua juga masih memandang pendidikan formal bagi anak perempuan tidak penting dan tidak adanya kemampuan orang tua secara ekonomis untuk menyekolahkan anak (lih. hasil penelitian Dorci Kana Gae dkk berjudul Pandangan Orang Sabu Tentang Kesempatan Memperoleh Pendidikan Formal Anak Perempuan Di Desa Raemude Kecamatan Sabu Barat Kabupaten Kupang,2007). Di sisi lain, Sabu Raijua juga selalu terisolasi ketika cuaca tidak bersahabat pada musim hujan. Masalah-masalah seperti itu tentu menjadi hambatan bagi kemajuan pendidikan di Sabu Raijua sehingga dibutuhkan penanganan yang efektif.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, selain perekrutan, perlu ada pemerataan penempatan karena sering kali ada penumpukan tenaga pendidik atau tenaga kependidikan di dalam kota sedangkan di pelosok-pelosok mengalami kekurangan. Ketidakmerataan itu bisa karena tidak konsistennnya aparat pemerintah dalam pengabdian, bisa juga karena ketiadaan sarana pendukung lain seperti listrik, sumber air dan sebagainya sehingga perlu adanya pencerahan bagi para abdi negara ini yang bertugas di pelosok-pelosok disertai pembenahan fasilitas penopang lainnnya. Sementara mengenai kurangnya minat anak untuk bersekolah dapat diminimalisir dengan penyadaran bagi orang tua dan anak tentang manfaat pendidikan. Sarana belajar yang memadai dan layak juga harus dibangun agar bisa menunjang keefektifan pembelajaran di sekolah. Dalam pengalokasian anggaran untuk pendidikan, harus ada pengawalan yang ketat sehingga tidak ada penyelewengan-penyelewengan. Menyangkut masalah ekonomi masyarakat dan sarana transportasi yang berdampak pada mutu pendidikan, dapat diatasi dengan meningkatkan profesionalitas petani dalam. mengelola rumput laut dan pohon lontar—yang merupakan bahan dasar bioetanol. Jika petani bisa mengelola rumput laut dan lontar dengan baik, diikuti dengan kehadiran pabrik rumput laut atau pabrik pengelola nira menjadi bioetanol, alasan ekonomi dalam menyekolahkan anak bisa teratasi Pelabuhan laut yang semula hanya disinggahi kapal-kapal kecil, bandara yang semula hanya didarati pesawat jenis cassa, jalan raya yang belum memadai hendaknya dibenahi juga agar mempermudah akses pendidikan
Sabu Raijua yang menyepi di antara himpitan lautan bagai seorang gadis Sabu (Ina Sabu) dengan kejelitaan alaminya. ‘Ina’—Kabupaten Sabu Raijua yang rupawan ini membutuhkan banyak polesan agar tampil menawan tetapi jangan sampai polesan itu membuat ‘Ina’ mabuk Bir dan tidak mau minum tuak manis lagi atau merasa sudah seksi jika memakai celana Levis botol lalu tidak mau memakai memakai sarung.‘Ina’ yang cantik ini jangan pernah dikhianati dengan ‘perselingkuhan’ dengan oknum-oknum serakah sampai hidupnya merana. Marilah kita bersama-sama menguras keringat dan air mata demi kejelitaan ‘Ina’ yang tersohor sampai ke ujung bumi.
Apakah kita mau agar ‘Ina’ ini cantik? Makanya buruan cium ‘Ina’!
Hewakka henge-dh'o Ina!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar