Sabtu, 14 November 2009

MENANTI PAHLAWAN KESEHATAN DI GERBANG UNDANA

Menjalani kehidupan yang berliku-liku di Flobamora ini, kita semua pasti pernah menderita sakit, baik karena celaka, virus, kuman atau penyebab lainnya. Ketika sakit, orang tentu akan berusaha mencari pertolongan atau pengobatan di dukun, bidan, mantri, dokter bahkan Tuhan. Kalau keuangan orang sakit sedikit mendukung, selain berdoa, juga memeriksa penyakitnya di tenaga medis dan mendapat pengobatan. Orang yang memiliki banyak uang, ketika sakit jangankan membeli obat yang mahal di apotik, mencarter pesawat untuk berobat ke luar negeri pun jadi. Sementara itu, mereka yang masih berpikiran primitiv ditambah dengan keuangan yang tidak cukup, ketika sakit, dukun bisa menjadi alternativ. Kalau orang sakit itu orang beriman, mungkin hanya pasrah menanti pertolongan atau panggilan Tuhan.
Kaum ekonomi lemah akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dari pemerintah hingga penderitaan mereka tidak terlalu berat. Selain itu, sudah banyak sosialisasi sampai di pelosok-pelosok daerah agar ketika sakit, segera memeriksakan kesehatan di petugas kesehatan sehingga mendapat pengobatan.
Sekalipun demikian, masih ada beberapa ‘kuman’ yang menjadi batu sandungan bagi yang sakit yaitu kekurangan sarana dan prasaran kesehatan serta kekurangan tenaga medis dan non medis. Salah satu tenaga medis yang masih kurang di NTT yaitu dokter umum. Seperti yang disiarkan Pusdalin IDI pada Agustus 2007, NTT kekurangan tenaga dokter umum dan dokter gigi dari total 1.572 orang. Sementara itu, menurut data Dinas Kesehatan NTT tahun 2007, rasio tenaga kesehatan di NTT 12,16: 100.000 sedangkan rasio nasionalnya 40:100.000 (www.nttprov.go.id).
Semoga saja dalam rentang waktu 2007-2009 kekurangan itu sudah ditutupi. Namun apa dikata, sampai 2009 terdapat 19 kabupaten yang masih ada kekurangan dokter umum (Pos Kupang, 8 Juli 2009) misalnya RSU Atambua yang bertipe C ini kekurangan 7 orang dokter umum (Pos Kupang, 10 Oktober 2009).
Kekurangan dokter di NTT memperparah lagi masalah kesehatan dengan pelayanannya yang tidak maksimal. Kritikan pedas dari YLKI kepada pihak RSU W.Z. Yonanez Kupang pada awal 2009 merupakan buktinya. Menurut pihak YLKI, pasien sulit dilayani dokter umum atau dokter alhi karena dokter bersangkutan sudah kelelahan mengabdi di tempat praktik. Ada juga dokter yang menjadi rektor atau staf pengajar (http://www.timorexpress.com/). Hal yang sama juga terjadi di RSUD T.C. Hillers Maumere, yang mana dalam sebuah survey terbukti bahwa ketidakhadiran dokter di tempat kerja berada di urutan ketiga (NTT Online, 28 Juli 2009). Di samping kinerja yang belum maksimal, ada dokter di NTT yang diduga melakukan mal praktik. Semoga dugaan itu tidaklah benar agar tidak memperbanyak daftar mal praktik. Menurut Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) ada 60%-65% kasus mal praktik yang bersumber dari dokter (Kompas, 2 Agustus 2009).
Masalah kesehatan--kekurangan dokter serta keburukan kinerja dokter di NTT mendapat embun sejuk dalam kegerahan ketika Universitas Nusa Cendana Kupang membuka Fakultas Kedokteran pada tahun akademik 2008/2009 berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 2122/D/T/2008. Sekalipun biaya kuliahnya mencapai 20-an juta namun keberadaan Fakultas Kedokteran ini dapat meringankan beban masyarakat NTT dalam hal kesehatan, apalagi para mahasiswa Fakultas Kedokteran Undana adalah putra-putri Flobamora sehingga setelah tamat mereka dapat mengabdi di daerah sendiri. Kualitas outputnya juga tidak dapat diragukan karena berasal dari Perguruan Tinggi negeri dengan pengajar yang professional dan didukung sarana yang cukup.
Dalam perjalanan Fakultas Kedokteran Undana, semoga saja sarana dan prasarana serta tenaga pengajar tidak menjadi sebuah kendala untuk mencetak dokter yang humanis dan berkompeten. Gedung Fakultas Kedokteran yang sementara dibangun semoga cepat rampung dan dibangun fasilitas pendukung lain lagi. Begitu pula para pengajar yang adalah dokter tidak mengorbankan pelayanan kepada pasien di rumah sakit atau terjebak dalam sebuah dilema.
Satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah persiapan para calon dokter. Sudahkah menyiapkan ilmu dan keahlian atau keterampilan yang cukup untuk menjadi seorang dokter? Jangan sampai nantinya menjadi pelaku ‘salah sayat atau salah suntik’ (baca: mal praktik). Hal lain yang patut dipertanyakan dalam hati oleh para mahasiswa Fakultas Kedokteran yang nantinya menjadi dokter yaitu untuk apa saya kuliah di Fakultas Kedokteran? Apa yang akan saya buat ketika menjadi seorang dokter di Flobamora tercinta ini? Sangat fatal jika kuliah di fakultas dengan biaya mahal itu jika hanya karena kemampuan ekonomi belaka. Impian ke depan juga harus sudah terbayang dari sekarang. Apakah setelah menjadi dokter ingin mengabdi di pusat kota yang dicukupi dengan berbagai fasilitas lalu membuka tempat praktik untuk menambah uang saku? Apakah setelah menjadi dokter akan melayani masyarakat di pedalaman dan di tempat dengan fasilitas yang serba terbatas?
Keadaan NTT yang masih minim fasilitas kesehatannya, angka kemiskinan yang masih tinggi, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, kepercayaan masyarakat yang masih kuat tentang hal magic atau gaib dalam urusan kesehatan serta kearifan lokal yang dapat mendukung terciptanya hidup sehat kiranya menjadi referensi berarti dalam mempersiapkan diri menjadi seorang dokter atau dalam menghasilkan tenaga dokter.
Kisah John Manangsang, seorang putra Papua yang bertugas sebagai dokter di pedalaman Boven Digul, Merauke (1990-1992) dengan fasiltitas kesehatan yang tidak memadai dan ditantang kepercayaan masyarakat terhadap magis, dalam bukunya Papua, Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, kiranya sudah dibaca oleh para calon dokter di Fakultas Kedokteran Undana dan dijadikan sebagai inspirator ketika mengabdi di NTT. Sekalipun fasilitas kesehatan minim namun utamakanlah kemanusiaan. Sekalipun dirongrong oleh hal yang irasional namun pertahankanlah idealisme.
Wahai, para mahasiswa Fakultas Kedokteran Undana, dalam Hari Pahlawan pada 10 November dan Hari Kesehatan Nasional pada 12 November, bangkitkan dan kobarkan semangatmu sebagai pahlawan kesehatan bagi Flobamora ini. Ena dan ama, to’o dan ti’i, umbu dan rambu, kraeng dan enu, serta semua basodara di Flabamora sedang menantikan sentuhan kasihmu di tengah akses kesehatan yang sulit serta tenaga kesehatan dan fasilitas yang serba kekurangan. Melihat adanya Fakultas Kedokteran Undana, keluarga Flobamora yang belum dan kurang terlayani kesehatannya seolah berkata kunanti pahlawan kesehatanku di gerbang Undana.

DIPUBLIKASIKAN DI HARIAN PAGI TIMOR EXPRESS EDISI 11 NOVEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar