Senin, 03 Mei 2010

Perayaan Kelulusan dan Kebutuhan Sosial Siswa


Pada 26 April 2010 yang lalu, beberapa jalur jalan raya di Kota Kupang dibanjiri gerobolan-gerombolan siswa SMA yang merayakan kelulusan dengan mencoret-coret pakaian seragam sekolah serta sebagian anggota badan. Aksi para siswa SMA ini dinilai tidak ekonomis dan memacetkan arus lalu lintas hingga mengundang umpatan dan kekecewaan dari berbagai pihak. Tradisi perayaan kelulusan yang selalu ada setiap tahun bukan hanya berlangsung di Kota Kupang namun juga pada berbagai tempat di tanah air.
Perayaan kelulusan seperti ini memang tidaklah ekonomis dan menggangu kenyamanan pihak lain. Kendati demikian, perilaku dan nilai yang terkandung di dalamnya patut kita temukan lalu maknai dari berbagai ranah. Dari sudut pandang psikologi dan seni, aksi coret-mencoret ini merupakan ungkapan perasaan yang bergejolak dalam diri melalui paduan garis dan warna menjadi sebuah objek artistik seperti coretan kata-kata serta gambar.
Mengapa para siswa harus mencoret-coret badan dan pakaian? Mengapa para siswa harus turun ke jalan untuk merayakan kelulusan? Seperti yang kita lihat, para siswa mencoret-coretkan kata-kata yang dibuat sedemikian rupa bentuk dan warnanya. Gambar-gambarnya juga dibuat demikian. Ada gambar artis, bunga, motif, juga gambar yang mengandung pesan moral. Berbagai coretan dalam rupa kata-kata dan gambar serta semprotan cat tersebut menciptakan pemandangan yang unik sehingga menarik perhatian orang lain termasuk media masa. Dipilihnya jalan raya sebagai arena perayaan kelulusan karena di jalan raya mereka bisa berkumpul dengan siswa dari sekolah lain serta dilihat orang banyak. Respon dari orang lain terutama perhatian, pengakuan atau pujian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan para siswa.
Perilaku tersebut lazim karena secara psikis para siswa yang masih remaja membutuhkan perhatian, pengakuan atau pujian sehingga kerap melakonkan berbagai hal. Sofyan Willis (2008) dalam bukunya Remaja dan Masalahnya mengulas bahwa salah satu kebutuhan remaja yaitu kebutuhan sosial. Dalam memenuhi kebutuhan ini para siswa ingin dikenal sehingga berperilaku mencolok agar mendapat perhatian orang lain. Sebuah kebutuhan tentu menuntut upaya pemenuhan. Ketika para siswa butuh untuk diperhatikan, diakui atau dipuji orang lain, mereka pasti melakukan sesuatu. Salah satunya adalah mencoret-coret badan dan pakaian seragam sekolah ketika merayakan kelulusan. Dengan demikian, ketika melihat para siswa berperilaku seperti itu di jalan-jalan raya, jangan hanya mengumpat bahkan mengutuk namun memaknai perilaku itu lalu memberikan sebuah solusi.
Menurut penulis, perilaku para siswa seperti ini mengindikasikan ketidakpekaan bahkan ketidaktahuan orang tua dan pihak sekolah, juga berbagai pihak terkait lainnya dalam menyikapi pertumbuhan fisik serta gejolak psikis seorang siswa/remaja. Buntut dari ketidakpekaan dan ketidaktahuan itu adalah pengabaian pemenuhan kebutuhan sosialnya. Hal ini membuat para siswa melarikan diri pada berbagai perilaku termasuk yang mengganggu dan merugikan orang lain.
Menyikapi perilaku ini, orang tua siswa yang pernah menjalani masa remaja juga sebaiknya tidak hanya memarah-marahi anaknya ketika berperilaku demikian tetapi hendaknya mengidentifikasi potensi yang dimiliki anak lalu memfasilitasi anak memenuhi kebutuhan sosial secara positif dengan potensi tersebut. Kalau seorang anak sekolahan merayakan kelulusan dengan membuat coretan dan lukisan yang artistik, orang tua harus tahu bahwa anaknya berbakat dalam seni gambar atau lukis. Orang tua juga harus tahu bahwa anaknya sedang mencari perhatian orang lain. Setelah itu orang tua patut memfasilitasi anaknya demi berkembangnya bakat itu bahkan bakat itu digunakan sebagai sarana memenuhi kebutuhan sosial tanpa berperilaku buruk.
Pihak sekolah termasuk guru juga patut menemukan dan mengembangkan potensi siswa atau menciptakan ruang di mana siswa dapat menarik perhatian orang lain melalui perilaku yang tidak mengganggu ketertiban umum. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah hendaknya dimanfaatkan dengan baik untuk perkembangan potensi dan kreativitas siswa. Jangan sampai yang dilakukan disekolah hanyalah mengkhotbahi siswa dengan pelajaran-pelajaran menjenuhkan tanpa mengembangkan potensi siswa. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi ketika mengomentari aksi coret-mencoret yang dilakukan para siswa dalam perayaan kelulusan mengatakan bahwa beban kurikulum sekolah-sekolah di Indonesia terlalu berat sehingga sedikit sekali ruang yang tersedia bagi para siswa untuk menumbuhkan kreativitasnya (Kabar Indonesia, 27 April 2010). Seandainya bakat coret-mencoret dan gambar-menggambar serta kebutuhan sosial siswa terakomodasi di lingkungan sekolah tentu siswa tidak perlu mengotori pakaiannya dan tidak perlu turun ke jalan ketika merayakan kelulusan.
Para siswa yang menjadi pelaku utama aksi coret-mencoret, perlu tahu bahwa tindakan itu hanya memboros uang dan mengganggu ketertiban umum. Para siswa memang sedang mencari respon dari orang lain sehingga berbuat seperti itu namun alangkah indahnya apabila gejolak psikis dalam diri disalurkan melalui kegiatan yang bermanfaat dan bermakna. Hal ini tentu akan terwujud jika ada campur tangan orang tua, guru dan kita semua yang terkait di dalamnya.
Dalam momentum perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), perilaku coret-mencoret saat perayaan kelulusan oleh para siswa hendaknya dimaknai sebagai sebuah isyarat bahwa kebutuhan sosial para siswa atau remaja masih terabaikan. Kita yang tahu mengenai hal ini perlu memberikan pencerahan dan lebih baik lagi kalau memfasilitasi para siswa sehingga memenuhi kebutuhan sosial dengan cara yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar