(Sebuah Refleksi dari Hari Anak Nasional dan Tahun Ajaran Baru)
Sejak keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional, 23 Juli dikukuhkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan HAN diselenggarakan setiap tahun sejak 1986 hingga kini. Pada 23 Juli 2010, HAN dirayakan untuk ke 24 kali. Tema perayaan HAN kali ini adalah “Anak Indonesia Belajar Untuk Masa Depan” dan subtemanya "Kami Anak Indonesia, Jujur, Berakhlak Mulia, Sehat, Cerdas Dan Berprestasi". Subtema HAN tersebut mencerminkaan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas).
Tema dan subtema di atas menggambarkan kobaran tekad para anak Indonesia untuk meraih masa depan yang gemilang. Dalam konteks ulasan ini, yang dimaksud dengan anak Indonesia yakni para siswa-siswi atau murid yang sementara menggeluti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan. Para anak ini dalam proses belajar demi masa depan serta dalam proses belajar untuk jujur, berakhlak mulia, sehat, cerdas dan berprestasi, mereka membutuhkan salah satu komponen pendidikan yaitu guru.
Guru tentu dibutuhkan oleh mereka karena guru merupakan salah satu elemen pendidikan yang menjalankan roda pendidikan. Guru yang adalah pendidik bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan (ayat 2, pasal 39 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas). Tugas guru memang seperti itu namun entah apa jadinya ketika guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, terpaksa harus berurusan dengan aparat hukum karena menjadi pelaku atau korban kekerasan.
Dalam momentum perayaaan HAN dan perguliran proses belajar mengajar dalam tahun ajaran baru ini yang sudah berjalan, ada satu berita kekerasan dalam dunia pendidikan yang menggelikan namun patut direfleksikan para guru serta orang tua murid dimanapun dan kapanpun berada. Seorang guru SDN Oepoi, Kota Kupang dilaporkan ke polisi lantaran menarik rambut muridnya yang membuat keributan di kelas walau sudah ditegur. Sementara itu, sang guru juga melaporkan orang tua siswa bersangkutan karena telah menamparnya. Orang tua siswa itu menampar guru tersebut setelah si anak mengadu kalau telah dianiaya gurunya (Timor Express, 22 Juli 2010).
Beranjak dari tragedi komedi pendidikan tersebut, ada tiga pertanyaan yang patut direnungkan. Pertama, mengapa murid itu membuat keributan di kelas walau sudah ditegur? Keributan di kelas yang berakar dari para murid saat pembelajaran berlangsung adalah pemandangan biasa yang sering dan harus dihadapi para guru, mulai dari kelompok bermain sampai jenjang SMA. Menurut Dr. Marthen Pali, M.Psi dalam artikelnya Tinjauan Psikologi tentang Remaja dan Permasalahannya, anak memiliki beberapa dorongan (wishes) dan salah satunya adalah dorongan untuk mendapat perhatian atau mendapat balasan dari orang lain (the wish for response). Ketika ada dorongan maka keributan bisa menjadi salah satu pilihan agar mendapat respon dari orang lain.
Di sisi lain, keributan yang selalu dilecutkan para murid patut dimaknai sebagai sinyal bagi seorang guru untuk cepat mengoreksi cara mengajarnya. Apakah membosankan atau menyenangkan? Salah satu akibat dari kebosanan murid dalam belajar yakni membuat keributan di kelas seperti dengan bercerita bersama temannya atau mengganggu temannya.
Kedua, mengapa guru mencubit siswa? Guru adalah manusia yang memiliki batas kesabaran. Ketika sang guru sudah berulang kali menegur muridnya yang ribut tetapi murid itu masih saja ribut maka kesempatan bagi guru untuk naik tangan terbuka lebar. Cubitan serta hukuman lain yang dilakukan guru terhadap siswa yang dinilai tidak disiplin atau melanggar aturan merupakan sebuah prinsip belajar dari Burrhus Frederic Skinner, seorang tokoh behaviorisme. Prinsip belajar tersebut yaitu punishment yang merupakan pemberian situasi tidak menyenangkan untuk menurunkan tingkah laku (Baharudin dan Wahyuni, 2008:74) seperti terurai dalam buku Teori Belajar & Pembelajaran. Dengan demikian, ketika seorang guru mencubit atau menjewer muridnya yang membuat keributan di kelas agar kelakuan murid tersebut dikurangi atau jangan diulangi lagi. Apesnya kalau punishment tersebut divonis sebagai kekerasan terhadap anak.
Kalau akhirnya punishment dihakimi sebagai sebuah tindakan kekerasan, bukankah masih ada prinsip belajar lain yakni reinforcement. Prinsip belajar ini sebagai konsekuensi yang menguatkan perilaku. Misalnya, setiap kali pelajaran sedang berlangsung ada murid yang sering membuat kegaduhan, guru dapat memberi mengatakan kepadanya jika anak itu disiplin mengikuti pelajaran maka akan ditraktir jajan. Saat reinforcement berhasil maka harus dipenuhi dengan benar membelikan jajan baginya. Apabila reinforcementnya gagal, guru perlu mengganti reinforcement sesuai kebutuhan siswa.
Selain hal di atas, kalau guru sudah tahu bahwa gaya mengajarnya membosankan atau membuat siswa tertekan sehingga siswa membuat ulah di kelas, guru hendaknya menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan kreatif (PAKEIM). Ada juga satu metode pembelajaran modern dengan pola belajar menyenangkan yang diperkenalkan oleh Pdt. Pdt. Johny Kilapong, S.Th, MA yaitu medote GATIF (Gampang, Asyik dan Kreatif). Kalau pelajarannya gampang, akan ada keasyikan atau kesenangan. Untuk itu guru harus kreatif mengelola suasana di kelas misalnya ada games ketika guru mengajar (Pos Kupang, 23 November 2008). Penciptaan suasana seperti itu telah diamanatkan dalam ayat 2, pasal 40 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas bahwa pendidik wajib menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Ketiga, mengapa orang tua langsung memukul guru lantaran laporan anaknya atau mempolisikan guru?
Entah berapa banyak guru yang sudah babak belur dihajar orang tua siswa dan entah berapa banyak pula guru yang telah dijebloskan ke penjara karena telah menjewer sampai menampar muridnya. Sejak terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, berita tentang guru yang menjadi korban pemukulan oleh orang tua siswa bahkan berstatus tersangka selalu kita jumpai di media massa. Apakah mentang-mentang ada UU tersebut lalu baru menjewer telinga muridnya saja, seorang guru harus dipolisikan orang tua murid? Terlalu tergesa-gesa kalau orang tua langsung membawa masalah seperti itu ke pihak kepolisian. Alangkah baiknya jika diselesaikan secara internal di sekolah. Orang tua harusnya bersikap lebih dingin bukannya terprovokasi dengan rengekan anaknya bahwa telah dianiaya gurunya di sekolah. Kalau sampai terprovokasi dan tidak mengontrol emosi maka orang tua dapat menghajar guru bersangkutan. Akhirnya orang tua itu harus berurusan dengan polisi.
Kiranya peristiwa saling melaporkan kepada polisi antara orang tua murid dan guru tersebut dalam momentum perayaan Hari Anak Nasional dan di awal tahun ajaran baru, membuat para guru dan orang tua murid sejenak merenung, menghikmahinya serta memilih tindakan yang tepat demi kecerahan masa depan si murid atau si anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar