Sabtu, 01 Agustus 2009

Setetes Embun di Simpang Jalan

(Sebuah Refleksi Memasuki Tahun Ajaran Baru)
Ketika berada di bulan Juli, salah satu warna hidup yang patut diapresiasi adalah hilir mudik anak-anak usia sekolah dengan membawa map berisi ijazah dan kelengkapan administrasi lainnya. Mereka kadang bergerombolan bersama teman-temannya atau bersama orang tuanya saja, mengalir dalam berlaksa-laksa manusia lalu mengerumuni sekolah-sekolah sampai berdesak-desakan di loket-loket penerimaan siswa baru. Orang tua terpaksa harus mencari sekolah lain jika sekolah yang dituju menolak anaknya dengan berbagai alasan. Selain kesibukan siswa baru ini, para siswa yang menyiapkan diri untuk nantinya menduduki kelas baru juga tak kalah sibuknya, bahkan menyibukkan orang tua karena harus menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah yang semuanya berujung pada uang.
Setelah liburan sekolah berakhir, para siswa dan guru akan membuka lembaran baru di tahun ajaran baru. Para siswa tentu mendapat teman baru, kelas baru, baju baru, buku baru, guru baru dan suasana baru serta segala yang serba baru. Para guru juga tentu mendapat siswa baru dan tantangan baru. Setelah para generasi penerus bangsa ini melewati proses administrasi sekolah yang panjang dan mungkin berbelit-belit, mereka pasti berada dalam genggaman sekolah. Lalu muncul pertanyaan bagi pihak sekolah terutama bagi para guru, mau diapakan para siswa ini?
Salah satu gejolak pendidikan yang akan turut berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan para guru kepada para siswa di tahun ajaran baru ini yaitu masalah hasil ujian nasional yang menurut beberapa pihak sangat memalukan dunia pendidikan kita, mengindikasikan kemerosotan mutu pendidikan, dan mencerminkan kinerja guru maupun kepala sekolah yang tidak becus dalam berusaha meluluskan siswa. Tidak hanya masalah ujian nasional tetapi ujian kenaikan kelas pun tentu mengalami gelora dan memberi efek yang sama. Seperti yang kita ketahui hasil ujian SMA dan SMK, dari 47.011 siswa peserta UN, 12.847 siswa tidak lulus dan tujuh sekolah kelulusannya 0% (Timex, 15 Juni 2009). Sementara pada tingkat SMP, dari 62.353 siswa peserta UN, 18.551 siswa tidak lulus dan 10 sekolah kelulusannya 0% (Timor Express, 23 Juni 2009). Hasil UN dari beberapa sekolah yang katanya sangat buruk ini mendapat kecaman dari pemerintah untuk menutup sekolah tersebut dan mencopot kepala sekolah bersangkutan (Timor Exppress,16 Juni 2009). Sementara mengenai hasil ujian kenaikan kelas entah bagaimana tetapi jika ada siswa yang tidak naik kelas tentu ada tekanan dari orang tua dan kepala sekolah terhadap guru bersangkutan.
Sikap mempermalukan sekolah yang angka kelulusannya buruk, ancaman menutup sekolah, mencopot kepala sekolah dan sebagainya merupakan sebuah todongan bagi para kepala sekolah dan para guru yang adalah embun penyejuk dalam kehausan untuk memilih seperti berada di sebuah jalan yang ujungnya bercabang dua ketika memasuki tahun ajaran baru. “Embun penyejuk” ini harus memilih ke kiri atau ke kanan? Meluluskan para siswa atau menyejukkan para siswa yang berada dalam kehausan?
Jika guru memilih untuk meluluskan para siswa maka bisa ditebak usaha yang ditempuh, misalnya membocorkan soal ujian bagi siswa, membantu siswa menjawab soal ujian, merekayasa nilai, setiap hari hanya melakukan try out, memberikan les tambahan, atau setiap hari hanya membahas materi yang diprediksikan akan keluar dalam ujian . Hal ini bisa saja ditempuh untuk menyelamatkan wajah sekolah dari berbagai kecaman atau menjaga wibawa guru dan kepala sekolah serta mendapat pujian dari atasan karena “kerja kerasnya”. Sementara jika guru memilih untuk mencerdaskan anak didiknnya, guru tersebut tentu berusaha menjembatani para siswa untuk memperoleh pengetahuan, membentuk watak siswa dan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
Tekanan kepada guru atau kepala sekolah karena hasil ujian yang tidak mencapai target serta digunakannya hasil ujian akhir sebagai indikator keberhasilan pendidikan bisa mengaburkan peran guru, fungsi pendidikan dan tujuan pendidikan karena semua kekuatan komponen pendidikan seperti kepala sekolah dan guru hanya diarahkan untuk mencapai target kelulusan yang ditetapkan. Apakah guru berperan untuk meluluskan siswa? Apakah pendidikan berfungsi untuk meluluskan siswa? Apakah pendidikan bertujuan agar lulus dan berijazahnya siswa?
Memasuki tahun ajaran baru ini, apakah sekolah (guru) harus mencerdaskan siswa atau meluluskan siswa? Sebagai embun penyejuk dalam kehausan, para guru atau kepala sekolah hendaknya tidak perlu merasa nasi seperti sekam dan air seperti racun ketika ujian nasional atau ujian kenaikan kelas digunakan untuk mengukur keberhasilan pendidikan dan ketika adanya punishment dari pihak lain karena hasil ujian tidak maksimal. Anggap saja semua yang terjadi sebagai pemacu adrenalin untuk lebih ‘gila’ dalam menjalankan tugas sebagai pendidik untuk mencerdaskan para siswa. Lagi pula menilai keberhasilan pendidikan, kinerja guru, mutu pendidikan menggunakan hasil ujian hanyalah penilaian yang parsial. Selain itu, keberhasilan dalam ujian bisa juga karena faktor untung-untungan saja atau karena kebetulan.
Agar guru sebagai pendidik tidak hanya meluluskan para siswa karena tertekan maka tugas guru yaitu merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan (pasal 39 UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) perlu direnungkan dengan baik dalam menjalankan peran sebagai guru. Guru bukanlah pengkhotbah atau penceramah yang selalu menghujani siswa dengan penjelasan panjang lebar tentang pelajaran yang mengkantukkan siswa. Guru bukanlah pendikte yang selalu mendiktekan isi buku kepada siswa sepanjang hari. Guru bukanlah robot yang dikendalikan untuk meluluskan siswa. Pada masa kini guru adalah seorang fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk belajar atau mengetahui apa yang tidak diketahui, membentuk watak siswa serta memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensinya. Untuk itu maka guru sebagai salah satu komponen pendidikan hendaknya memahami fungsi pendidikan (mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa) dan tujuan pendidikan (berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab) sebagaimana tertuang dalam pasal 3 UU RI No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Apabila seorang guru benar-benar mencerna fungsi dan tujuan pendidikan niscaya fungsi pendidikan pasti dilaksanakan demi menggapai tujuan pendidikan bukan hanya mengejar kelulusan. Apalah artinnya mengajar bahkan menghajar siswa sampai mengahafal semua tenses namun Bahasa Inggris siswa morat-marit? Apalah artinya nilai ujian pendidikan agama yang melebihi standar kelulusan namun kelakuan siswa melanggar norma agama? Camkanlah bahwa keberhasilan pendidikan tidak bisa divonis hanya dengan melihat nilai-nilai ujian siswa. Penilaian ujian nasional hanyalah sebuah ketidakadilan di negeri ini karena tidak memperhatikan keragaman peserta didik, ketersediaan sarana dan prasarana serta sebagai penilaian yang tidak mencakup semua aspek yang harus dinilai. Menurut Prof, Dr. Z. Mawardy Effendi,M. Pd, pendidikan secara keseluruhan meliputi aspek intelektual, emosional dan kinestik atau jasmani. Ujian nasional yang digunakan untuk menilai itu hanya mencakup aspek intelektual siswa (Kapanlagi.com, 23 April 2008)
Oleh karena itu, wahai para guru, jangan takut jika nantinya anak didikmu tidak naik kelas atau tidak lulus ujian. Meluluskan siswa bukan tugas seorang guru. Cerdaskanlah anak didikmu, bentuklah wataknya dan kembangkanlah potensinya maka anak didikmu bisa naik kelas atau lulus. Jika anak didik lulus belum tentu dia cerdas, wataknya baik dan potensinya sudah dikembangkan. Janganlah menjadi embun penyejuk yang bimbang di simpang jalan pendidikan kita. Tetapkanlah niat muliamu untuk menyejukan tunas-tunas muda harapah bangsa.
Kehormatan seorang guru adalah mengajari seorang siswa sampai cerdas, budi pekertinya baik dan potensi-potensinya berkembang sedangkan aib seorang guru adalah mengajari seribu orang siswa hanya untuk lulus ujian.
Selamat berjuang di tahun ajaran baru ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar