Sabtu, 01 Agustus 2009

Rotanisme dalam Pendidikan

Tanggal 18 Juli 1994, hari yang bersejarah bagi saya dalam meniti setapak-setapak pendidikan menuju gerbang masa depan nan gemilang. Hari itu merupakan pertama kali saya menginjakan kaki di dunia pendidikan formal pada tingkat sekolah dasar di sebuah sekolah negeri, di Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Jangan pernah menanyakan apakah saya sudah tamat TK? Di pinggiran kota tidak ada TK. Enam tahun mengurung jiwa di lembaga pendidikan ini menyisakan relief-relief tragis dan sadis jika disyairkan dari kebeningan mata seorang bocah.
Sekolah kami yang katanya sekolah negeri ini lumayan ngeri. Dua gedung sekolah yang berdampingan memandang ke arah terbenamnya matahari. Gedung di bagian kiri berdinding tembok dengan jendela-jendela berkawat kasa ini memiliki tiga ruang belajar, satu ruang sempit berukuran 2 m2 sebagai tempat buku-buku, peralatan olahraga (bola tennis dan kayu pemukulnya serta bola voli dan jaringnya), dan tempat kotak P3K. Ruang sempit itu juga menjadi markas guru olahraga kami. Ternyata ruang kecil itu namanya ruang UKS. Ruang UKS?
Di tiga ruang kelas tersebut meja dan kursi cukup tersedia tetapi terkadang kami harus duduk tiga orang dalam satu bangku sepanjang 1 m lebih. Di belakang meja guru terdapat sebuah lemari kuning pucat tempat menaruh buku semua mata pelajaran yang dibagikan kepada setiap siswa ketika pelajaran itu akan mulai. Setelah itu buku – buku itu dimasukan kembali ke lemari. Kadang-kadang kami membawa pulangnya ke rumah.
Langit-langit tiga ruang belajar itu dari pelepah nipa yang disatukan. Pada salah satu ruangan, langit-langitnnya ditopang dengan dua potong bambu karena nyaris roboh.
Tiga ruangan tersebut untuk kelas IV, V dan VI sedangkan tiga kelas I-III dan ruang guru berada di gedung tua. Di gedung tua berdinding bebak itu sebuah ruangan persegi panjang semacam aula disekat dengan triplek menjadi tiga kelas. Plafonnya jangan ditanyakan lagi. Cukup ramai juga kalau setiap pagi kelas I-III belajar, apalagi belajar mengeja atau menghafal perkalian. Wah! Gaduhnya luar biasa bagai pasar. Setiap pagi teman-teman yang bertugas haruslah rajin-rajin menyiram lubang-lubang di lantai yang berdebu. Gedung ini sungguh memprihatinkan. Memasuki awal tahun 2006, gedung usang beruang empat ini dibongkar dan dibangun gedung parmanen namun sayangnnya gedung sekolah baru itu hanya memiliki tiga ruangan. Sejak itu sampai sekarang para siswa harus belajar sambil berantrian memakai ruang belajar. Waktu kelas I melaksanakan proses pembelajaran, kelas II menunggu sambil belajar di lopo yang berada di depan sekolah. Setelah kelas I pulang sekolah sekitar pukul 10.00 Wita barulah kelas II belajar di ruang kelas.
Sekalipun kondisinya demikian, saya dan teman-teman yang kebayakan dari golongan menegah ke bawah, larut dalam kekanak-kanakan kami. Berkejar-kejar di halaman sekolah, bermain lompat tali, perang-perangan dan sebagainnya. Kami tak hiraukan derita itu. Manalah mungkin ubun berkencur seorang bocah ingusan bisa merengek tentang itu? Yang penting ceria bersama teman-teman. Teman-teman yang kumal dan bau. Bukan olokan tapi ini kepolosan anak lugu. Teman-teman sekolah yang kebanyakan berasal dari keluarga petani miskin menggoreskan sebuah warna hidup di hati. Setiap pagi, ada yang terengah-engah datang ke sekolah, berjalan kaki menyebrangi kali dan mendaki bukit. Waktu bangun pagi mungkin mamanya hanya memanaskan jagung dingin sisa sarapan semalam untuk makan paginya atau menghidangkan ubi rebus dan air putih. Mungkin tidak sempat mandi karena sumber air terlalu jauh. Yah! Dari pada repot, pakai seragam sekolah kumal yang tak kenal setrika dan go ………!!! Seragam sekolah itu sudah kumal, kotor lagi. Belum lagi disempurnakan bau keringat. Melihat banyak siswa yang tidak mandi, Kepala Sekolah memerintahkan agar teman-teman yang tidak mandi diringkus ke kamar mandi milik sekolah untuk dimandikan. Byuurrrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!
Banyak anak sekolah yang tidak menggunakan alas kaki. Paling-paling mereka hanya memakai sandal jepit, termasuk saya. Kalau memakai sepatu itu hanya untuk mengikuti upacara bendera. Teman-teman yang tinggal jauh dari sekolah cukup kesulitan jika musin hujan tiba, apalagi yang berada di seberang kali. Di musim hujan, mereka sering berteduh daun pisang, melindungi buku tulis dalam kantong plastic dan tanpa sepatu datang ke sekolah dengan pakaian sedikit basah.
Keceriaan yang meluap-luap di tengah serunya menjalani masa anak-anak bersama pucuk-pucuk muda ini, dirobohkan “rotan” para guru. Sedikit kesalahan dilakukan bisa membuat pantat berasap karena tebasan rotan. Jika tak ada rotan yang terayun, telapak tangan sang guru pun bisa ringan terayun di pipi mungil kami. Rotanisme di sekolah kami ini membuat kami menganggap guru sebagai momok yang menakutkan. Ketakutan itu pun terbawa hingga di luar jam sekolah. Pada suatu ketika, saya dan teman-teman sedang bermain kelereng di halaman tetangga, tiba-tiba ada guru yang kebetulan lewat. Kami semua lari tunggang langgang untuk bersembunyi. Berani tetap bermain, bahaya bro!
Saya sendiri pernah merasakan sekitar tiga tebasan gagang sapu ijuk yang terbuat dari sebatang bambu. Waktu itu karena tidak mengikuti Sekolah Minggu (ibadah pada hari minggu di sekolah khusus anak-anak) keesokan harinya, setelah ibadah pagi, kepala sekolah dengan sekali gertak, kami yang tidak mengikuti sekolah minggu, maju dengan muka muram dan jantung yang berdebar-debar menanti giliran rotan mendarat di dua belah pantat.
Tidak hanya rotan yang mencengkram menakutkan tetapi tindakan guru yang menyita permainan kami juga telah merebut keceriaan seorang anak. Beberapa kali permainan seperti gasing yang dibuat dari buah-buahan, kelereng, karet gelang dan gambar-gambar undi disita guru. Anehnya sitaan itu dibawa pulang ke rumah sang guru.
Hati-hati kalau nakal! Suatu hari, waktu itu saya duduk kelas V, saya bermain tinju-tinjuan dengan adik kelas. Tanpa sengaja dahinya terbentur ke batu dan berdarah. Apeslah sudah nasib ini. Sesudah diadili seharian di ruang guru, saya disuruh menuliskan kalimat Saya tidak akan berkelahi lagi sebanyak 1000 kali. Tidak selesai di sekolah, lanjutan di rumah lagi. Menulis seribu kalimat sampai mabuk.
Nasib naas yang unik pernah dialami beberapa teman. Suatu kali ada seorang kakak kelas, Simson, membawa kue bendera untuk berjualan di sekolah dan mungkin sibuk mengurus jualannya itu di kelas, dia ditangkap sang guru, dibawa ke depan kelas lalu . . . dia dipaksa melahap habis kue-kue itu. Yo o o . . .! Makan yang lahap ya! Ha ha ha!!!!
Ada juga yang pernah diiberi sanksi mengantung kardus bertuliskan Saya tidak akan berbahasa daerah, di lehernya sepanjang jam sekolah. Makulumlah, kami sering memakai bahasa Dawan di sekolah sehingga sulit berbahasa Indonesia.
Setiap pagi kami harus rajin-rajin ke sekolah. Kalau alpa ke sekolah. Tau sendiri akibatnya. Dijemput oleh Hansip dengan tongkat hitamnya lalu orang tua harus membayar si Hansip itu. Saudari sepupu saya pernah terlibat aksi kejar-kejaran dengan Hansip ketika dia harus dijemput paksa ke sekolah. Selain rajin ke sekolah, kami juga harus rajin-rajin menhafal perkalian dari 0-10 (ketika di kelas II dan III). Kami yang tidak bisa menghafal perkalian dihukum berdiri satu kaki sambil memegang kedua telinga lalu belajar menghafal perkalian. Lebih parah lagi kalau kami harus berdiri di atas bangku atau meja belajar.
Satu kenangan menyedihkan adalah ketika saya bersama teman-teman mengikuti lomba menyanyi dalam rangka perayaan HUT RI. Di atas panggung saya hanya sekedar membuka mulut tetapi tidak bersuara karena memang sudah tidak bisa bernyanyi, seni ini tidak disukai lagi. Namun jika saya membangkang, tau sendiri akibatnnya. Sekolah kami sering mengikuti lomba hingga mengoleksi banyak piala namun anak yang mengikuti lomba mungkin dibawah ancaman rotan. Mengembangkan bakat dan potensi kami, janganlah kau tanyakan karena ini masih membuat saya iri kepada anak-anak SD sekarang ini yang selalu mengekspresikan bakatnnya di atas panggung. Kegiatan ektrakurikuler juga merupakan hal langka di sekolah kami. Sekalipun kami selalu berseragam Pramuka namun itu hanyalah sebatas pakaian. Pernah ada guru olaraga kami yang rela membina kami tentang kepramukaan, melatih kami tentang bela diri dan atletik namun sayangnya tidak berlangsung terus
Semasa duduk di kelas IV- kelas VI, kami mendapat program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Makanan tambahan? Setiap hari hanya diberi sepotong kue dalam sekali kunyah dan segelas teh. Setelah dihibur dengan kue dan the kami lalu bernyanyi “…terima kasih bapak presiden , ibu PKK yang menyiapkannya, bila aku berhasil jadi orang berguna, tak kan kulupakan jasa guruku” Dan tulisan ini sebagai ungkapan terima kasih atas jasa guru yang telah merenggut keceriaan masa kecil kami dan membekaskan sebuah ketakutan di mata bening tiap anak didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar