Senin, 21 Desember 2009

Dialog Itu Indah

Oleh: Gusti Hingmane.
Mahasiswa Undana


Banyak kalangan pesimis bahwa dialog tidak akan mencapai titik temu apabila ide bersebrangan, apalagi berdialog tentang agama yang menghadirkan berbagai agama hal ini bisa-bisa malah menimbulkan perpecahan yang lebih berat lagi. Bahkan mereka masih pesimis masalah intern agama saja belum terselesaikan apalagi memikirkan dialog antar agama? Yang mungkin secara otomatis akan membentur definisi agama yang sebenarnya melekat pada agama itu sendiri (no war), bahkan bisa-bisa meluluhlantakan kesatuan suatu negara seperti Indonesai yang sangat kaya dengan keragamannya.
Berangkat dari realitas keragaman agama (termasuk juga budaya, dan bahasa) yang ada di dunia, menuntut orang harus berdialog sebagai solusi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Hal tersebut diyakini selalu tumbuh dan memberikan makna hidup serta kontribusi bagi pembangunan peradaban dunia. Apalagi sekarang bermunculan tokoh-tokoh besar yang aktif memberikan arahan menghadapi masa depan dunia. Menurut mereka, dunia selalu menyimpan potensi konflik dan tragedi yang mengerikan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Hans Kung bahwa tiada koeksistensi manusia tanpa ada etika bersama antarnegara.
Tidak ada perdamaian di antarbangsa tanpa ada kedamaian antaragama. Tidak ada perdamain antaragama tanpa adanya dialog antaragama. Dari pernyataan ini dapat ditarik benang merah bahwa dialog dari berbagai kalangan khususnya antaragama harus disambut baik dan segerah diwujudkan karena urgensinya jelas, yakni untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia, khususnya umat beragama agar lebih harmonis di dunia ini. Semua agama sebetulnya menginginkan hal yang sama: perdamaian, keadilan, persaudaraan, persamaan derajat, pemuliaan martabat manusia, kemerdekaan, dan sebagainya.
Dialog harus mesti sudah beranjak agar bisa menciptakan suasana”saling berbagi” apalagi agama. Dengan kata lain, diperlukan keterbukaan dan kesediaan mendengar ajaran agama lain, sehingga dapat memperkaya dan memperdalam penghayatan agama sendiri. Namun terdapat beberapa kendala yang menghambat dialog antaragama yang perlu tanggapi secara serius oleh aktivis dialog demi terlaksananya tujuan yang diidealkan, kandala-kandala tersebut seperti yang disodorkan oleh Kompas, 05-08-2000. hal: 4, yakni: pertama, adalah bahwa wacana mengenai dialog hampir secara merata berlangsung di tingkat elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang cukup kepada wacana itu. Kedua, adalah bahwa sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan dialog antaragama kurang begitu "agresif" memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain. Para aktivis dialog antaragama kurang agresif dalam mengampanyekan isu tersebut. Ketiga, adalah kenyataan bahwa sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari pentingnya isu dialog antaragama.
Jalur distribusi ajaran agama di tingkat "eceran" lebih banyak dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai pandangan agama yang konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali terlibat dalam wacana dialog antaragama tidak mempunyai basis sosial yang cukup untuk membangun semacam jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang menandingi jalur "eceran" yang sudah begitu mengakar itu.
Keempat, adalah kurangnya sarana-sarana kelembagaan yang menunjang dialog. Ini adalah kelemahan serius yang saya kira tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Karena dialog lebih banyak dibangun melalui seremoni dan tindakan-tindakan intelektual yang bersifat diskursif, maka dialog itu sulit menjangkau ke masyarakat bawah. Saya kira sulit suatu dialog menjadi wacana yang menjangkau masyarakat luas jika "infrastruktur dialog" tidak tersedia. Infrastruktur pokok yang harus tersedia adalah yang berkenaan dengan penyelesaian suatu konflik. Kelima, adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah aktivis yang selama ini bekerja untuk dialog antaragama. Maksud saya adalah, bahwa orang-orang yang mengaku "pluralis" (yakni orang yang setuju dengan adanya dialog antaragama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok konservatif, sehingga dialog antara mereka sulit berlangsung. Hal yang sebaliknya juga terjadi.
masing-masing kelompok menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang "sesat" dan "tidak tepat", sehingga tidak layak untuk diajak berbicara. Keenam, adanya pluralisme tidak saja terjadi dalam konteks antaragama, tetapi juga dalam agama yang sama juga terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam. Seringkali, pertikaian dalam agama yang sama ini menjadi kendala dalam membangun dialog antaragama. Oleh karena itu, dialog antargolongan dalam agama yang sama tak kalau pentingnya dengan dialog antaragama. Dengan kata lain, dialog internal akan menjadi sarana yang memudahkan dialog eksternal, dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang dialog antara golongan dalam agama yang sama jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang dialog dengan kelompok di luar agama sendiri.
Hal yang terpenting sebelum melakukan dialog antaragama adalah pelakunya harus bisa menemukan dulu satu kesamaan yang jelas dan diakui semua agama. Sedangkan kesamaan yang telah ada adalah pengakuan dari semua agama yang mengajarkan tentang mengabdi kepada Tuhan Sang Pencipta dan Pemilik kehidupan jagad raya. Paradigma inilah yang seharusnya menjadi pijakan bersama untuk melakukan dialog teologis dan sebuah kerjasama kemanusiaan karena teologi adalah wilayah persoalan Tuhan, sehingga tentunya teologia tetap bisa disampaikan dengan dialog. Demikian juga, perbedaan di bidang sosial kemasyarakatan dan politik antar kelompok umat beragama lebih muda dijelaskan dan ditentukan kesepakatan karena didalamnya terdapat perbedaan prinsip umat yang sifatnya universal, yang melampaui batas-batas agama. Tetapi persoalan yang selalu saja krusial menyangkut teologi dan dogma yang berpusat pada konsep keselamatan sulit mendapat titi temu. Akibatnya perdebatan teologi sering di atasi dengan cara pandang lain yaitu memasuki polemik antar umat di seputar pewahyuan dan alkitab masing-masing ( Noorsena, 2001: 157).
Oleh karena itu, dalam berdialog antaragama perlu didepankan soal motivasi, karena motivasi adalah daya batin yang mendasari tindakan seseorang mengapa ia harus hidup rukun dengan sesama manusia lebih-lebih dengan tidak seagama. Jika syarat tersebut telah dipenuhi maka jalan menuju dialog antaragama mulai ada titik terang. Di samping itu pula mentalitas kita sendiri juga harus mendukung ke arah itu.
Dan lebih penting lagi dialog harus ditradisikan lebih dahulu ditingkat lingkungan internal umat beragama sendiri agar lebih terbuka dan cerdas. Semestinya iman bisa dijadikan aset bagi upaya bersama membangun masa depan bangsa. Namun, jika saat yang ada itu tidak menimbulkan sinergi, tetapi anergi, maka pantasalah kita mempertanyakan adakah kita yang salah atau pluralisme agama itu memang sulit dipertemukan. Kalau benar itu sulit, berarti agama merupakan urusan pribadi yang tidak dapat dilibatkan dalam kehidupan modern yang ditandai dengan pluralisme dan demokrasi, begitukah? (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar