Senin, 21 Desember 2009

Harga(ilah) Diri NTT

(Sebuah Refleksi Dalam 51 Tahun Lepasnya NTT Dari Sunda Kecil )

Waktu yang terus bergulir telah mengantarkan kita di penghujung tahun 2009. Di bulan Desember ini, ada begitu banyak peristiwa yang patut dikenang, dirayakan, direfleksikan dan dijadikan sebagai inspirator kehidupan. Salah satu dari sekian banyak peristiwa tersebut adalah mekarnya NTT dari Sunda Kecil.
Setengah abad lebih yang lalu, NTT adalah bagian dari Provinsi Sunda Kecil yang terbentuk pada Agustus 1950. Sunda Kecil kemudian dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, seiring dengan terbitnya UU No. 64 Tahun 1958 pada 20 Desember 1958. Sejak saat itu, tiap daerah dituntut kemandiriannya dalam menggumuli berbagai gelora hidup yang membara di bumi pertiwi ini.
Dalam kemandirian tersebut, ketiga provinsi ini khususnya NTT sudah banyak menorehkan kesuksesan dalam berbagai bidang. Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa masih ada selaksa masalah yang menjadi batu sandungan.
Pada pengumanan hasil kelulusan beberapa bulan lalu, 12.847 siswa pada jenjang SMA dan SMK tidak lulus serta tujuh sekolah 0%. Pada jenjang SMP, 18.551 siswa tidak lulus dan 10 sekolah 0%. Di NTT juga terdapat 36.533 anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah karena alasan ekonomi, akses ke sekolah dan sosial budaya (Antara/FINROLL News, 26 Agustus 2009). Sementara itu, di NTT terdapat 73% penganggur dari 4,6 juta jiwa. Ironisnya, angka pengangguran ini banyak didominasi oleh para sarjana (Kompas,22 Agustus 2009). Selain masalah di atas, aktifitas penambangan liar oleh masyarakat, khususnya di daratan Timor kian marak akhir-akhir ini hingga memakan korban jiwa. Begitu pula dengan pengiriman TKI secara illegal dari NTT ke Malaysia. TKI selalu diperas, disiksa dan diperdagangkan namun TKI masih terus mengalir dari NTT ke Malaysia. Masalah yang tak kalah kejamnya yaitu gizi buruk yang diderita 100.000 balita di NTT dan terus memakan korban jiwa (Kompas, 22 Agustus 20009), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang selalu terjadi, kemiskinan yang mencapai 23,31% dari 4,6 juta jiwa hingga awal 2009 (http://www.nttprov.go.id/), kasus korupsi oleh para pejabat pemerintah di NTT, sikap konsumtif dan kebarat-baratan serta pengrusakan lingkungan. Beberapa masalah di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak khasanah masalah yang kita miliki. Masalah yang kita miliki ini kemudian disempurnakan dengan label daerah tertinggal untuk NTT. Jika dilihat dari jumlah kabupaten/kota tertinggal, secara nasional, NTT berada di puncak klasemen daerah tertinggal dengan mengoleksi 15 kabupaten tertinggal (Kursor, 11 Desember 2009).
Entah disadari atau tidak, segudang masalah tersebut mengindikasikan kemerosotan harga diri NTT, apalagi kita sampai mendapat gelar sebagai daerah tertinggal bahkan nama NTT diplesetkan seenaknya. Penghakiman ataupun plesetan terhadap NTT menunjukan tidak adanya penghormatan kepada NTT. Bagaimana kita akan dihormati jika kita sendiri tidak menghormati diri dengan cara terhormat? Perlu dicamkan bahwa harga diri merupakan proses intrinsik di mana orang sadar untuk menghormati dirinya dengan cara terhormat sehingga secara alamiah mendapat penghormatan dari orang lain (http://e-psikologi.com). Hal ini berarti bahwa merosot atau menanjak, ada atau tidak adanya harga diri kita tergantung dari bagaimana kita menghormati diri sendiri.
Memang benar jika harga diri kita merosot bahkan tidak ada karena kita sendiri yang tidak menghargai diri sendiri. Sebagai contoh, mutu pendidikan kita dinilai belumlah bagus karena sebagai siswa tidak belajar belajar dengan tekun untuk berhasil dalam ujian, sebagai guru tidak mengajar dengan maksimal dan sebagai pihak yang berwenang belum mengelola pendidikan dengan baik. Jika seorang siswa malas belajar, seorang guru mengajar asal-asalan dan pihak terkait yang berwenang dalam dunia pendidikan belum mengatur pendidikan dengan baik, berarti mereka tidak memiliki harga diri. Hal ini juga terjadi dalam masalah lainnya yang telah dipaparkan sebelumnya. Kita disebut pengangguran berijazah karena setelah mendapat gelar sarjana berharap menjadi PNS dan tidak mau menciptakan lapangan kerja sendiri. Kita sering menambang mangan secara liar dan sering menjadi TKI illegal karena tidak memiliki skill dan pengetahuan yang cukup untuk mencari nafkah serta selalu keras kepala ketika diatur. Kita sering melakukan tindakan amoral karena kita sendiri tidak memiliki watak dan moral yang baik.
Tindakan lain dari kita yang menunjukan tidak adanya penghormatan terhadap diri kita yaitu sikap konsumtif dan kebarat-baratan. Seperti yang disaksikan dan dilakukan sekarang ini, misalnya kita sudah memiliki telepon genggam yang sederhana namun ketika ada telepon genggam dengan fitur yang canggih kita ingin memilikinya. Setelah itu, ada telepon genggam yang lebih canggih lagi dan kita ingin memilikinya tanpa mempertimbangkan asas manfaatnya. Sikap kebarat-baratan seperti meniru gaya hidup, gaya barpakaian dan cara berdandan orang barat tanpa melalui sebuah filtrasi. Lihat saja, akhir-akhir ini kita di NTT selalu menjumpai orang berpakaian serba mini dan nyaris telanjang. Rambut di kepala yang berwarna keriting dan hitam direbonding lalu di-bule-kan. Makanan siap saji lebih disukai dari pada massakan sendiri di rumah. Tarian gong pada peste-pesta sudah diganti dengan dansa. Ini berarti kita tidak memiliki harga diri lagi karena tidak menghormati apa yang kita miliki.
Harga diri ini merupakan sebuah kebutuhan yang utama setiap manusia sebagaimana yang dikatakan Maslow dalam teori hierarki kebutuhan. Jika harga diri adalah sebuah kebutuhan, apakah kita sebagai anak-anak Flobamora sudah berusaha dan akan terus berusaha untuk mendapatkan harga diri kita ataukah justru terus melecehkannya? Dalam setumpuk momentum di akhir tahun ini, khususnya 51 tahun terpisahnya NTT dari Sunda Kecil pada 20 Desember, marilah kita menghargai atau menghormati diri kita sebagai warga dan pemerintah di Flobamora tercinta ini sehingga kita memiliki harga diri. Melakukan suatu perkara kecil secara terhormat demi kehormatan diri berarti kita telah memberikan sebuah kehormatan besar pada daerah kita ini.
Harga diri tergantung dari apa yang timbul dalam sepasang otak, dikerjakan oleh sepasang tangan dan dijejaki oleh sepasang kaki kita lalu disaksikan sepasang mata dan dinilai sepasang bibir orang lain. Hargailah diri kita maka kita pasti memiliki harga diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar