Senin, 21 Desember 2009

Tiga Buah Mangga

(Refleksi Tentang Pembentukan Kabupaten Mollo, Amanatun dan Amanuban)


Bagai benih yang dicurahi hujan, pemekaran daerah di berbagai penjuru tanah air semakin marak apalagi setelah terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejarah mencatat, hingga Desember 2008 saja sudah terbentuk 215 daerah otonomi baru yang terdiri dari 7 propinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota di negeri tercinta ini (http://id.wikipedia.org/). Di NTT, sejak 1996 sampai 2009 terdapat 9 daerah pemekaran yaitu Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Lembata, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Sabu Raijua. Jumlah pemekaran daerah pasti akan terus bertambah seturut dengan bergulirnya waktu dan adanya berbagai upaya pemekaran daerah yang katanya karena aspirasi masyarakat. Upaya pemekaran daerah (kabupaten) di NTT misalnya upaya pemekaran Kabupaten Malaka dari Kabupaten Belu dan Kabupaten Andonara dari Kabupaten Flores Timur.
Selain pemekaran daerah di atas, pemekaran daerah yang cukup fantastis yakni pemekaran Mollo, Amanatun dan Amanuban di Kabupaten TTS, baik yang sedang diperjuangkan maupun yang diwacanakan. Sejak beberapa bulan terakhir ini, tim pembentukan Kabupaten Mollo terus berupaya keras bekerja tahap demi tahap demi mewujudkan apa yang diimpikan. Wacana pembentukan Kabupaten Mollo ini sudah berhembus sejak beberapa tahun lalu namun baru kembali mencuat belakangan ini. Sementara itu, beberapa pihak terkait di Amanatun dan Amanuban juga berusaha memandirikan kedua daerah tersebut. Hal ini ditandai dengan pengukuhan dan pendeklarasian panitia pembentukan serta pernyataan sikap pihak terkait di tiga daerah itu.
Melalui pemekaran Mollo, Amanatun dan Amanuban menjadi daerah yang otonom, pelayanan kepada masyarakat setempat tentu akan lebih dekat dan terjangkau serta pengelolaan potensi Sumber Daya Alam (SDM) dapat dilakukan sendiri hingga meningkatkan pendapatan daerah. Di samping itu, akan ada penyerapan tenaga kerja di daerah otonom baru yang membantu menekan angka pengangguran. Agar tercapainya tujuan mulia dari pemekaran ketiga daerah ini maka syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah), syarat fisik (cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan) dan syarat lainnya sebagaimana diamanatkan dalam PP RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Pengahapusan dan Penggabungan Daerah, perlu menjadi acuan refleksi terhadap apa yang dimiliki ketiga daerah ini agar tidak ada penyesalan di masa-masa yang akan datang.
Satu hal yang harus direfleksikan jua adalah tujuan pemekaran daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban menjadi kabupaten. Apa tujuan pemekaran tiga daerah tersebut? Secara heroik, tentu ada jawaban bahwa pemekaran daerah itu demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menyejahterakan masyarakat dan berbagai alasan lainnya. Jika tujuan pemekaran daerah seperti itu, tidak ada apa-apa namun sangat berbahaya jika pemekaran daerah itu untuk menyediakan jabatan bagi elit pollitik tertentu. Kita tahu bahwa ketika suatu daerah dimekarkan menjadi sebuah kabupaten, di sana tersedia jabatan-jabatan menggiurkan seperti Bupati, Kepala Dinas, Anggota Dewan dan sebagainya. Selain tujuan politis dan kepentingan lainnya, pemekaran daerah juga bisa diinfeksi tujuan untuk membuka lahan korupsi bagi para koruptor. Menurut penelitian Lembaga Percik yang bekerjasama dengan Democratic Reform Suport Program (DRSP), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang cukup besar sebagai dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah juga merupakan perangsang bagi pihak-pihak tertentu untuk menuntut pemekaran daerah (http://percik.or.id/). Jika jabatan, kekuasaan dan uang yang menjadi tujuan pemekaran daerah, niscaya tidak hanya daerah yang dimekarkan namun kemiskinan, koruptor, dan berbagai masalah lainnya ikut dimekarkan.
Jika sudah melakukan refleksi terkait pemekaran tiga daerah ini, apakah daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban yang akan diotonomikan dapat memenuhi syarat fisik dan syarat teknis? Apakah pemekaran ketiga daerah ini terkait dengan kepentingan elit politik untuk berkuasa serta ketertarikan oknum-oknum tertentu pada DAK dan DAU? Pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya direfleksikan berkali-kali demi terwujudnya daerah yang benar-benar otonom dan bersih dari kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Seperti yang dikatakan Sius Ottu dalam lagunya, Upun klu min oni, mofut kais maiti. Maitit kaisa msal. Msalat kaisa’ meku. Meku kaisam olo. Olot mas mahai le’uf (Mangga muda yang manis. Kalau jatuh, jangan diambil. Kalau diambil, jangan dikupas. Kalau dikupas, jangan dimakan. Kalau dimakan rasanya asam). Dalam konteks pemekaran tiga daerah di TTS, lirik lagu dalam bahasa Dawan itu mengisyaratkan agar ketika ada ide pemekaran daerah, berbagai hal termasuk tujuan dan syarat yang harus dipenuhi untuk pemekaran suatu daerah perlu dipertimbangkan. Jika diibaratkan, daerah Mollo, Amanatun dan Amanuban yang akan dimekarkan adalah tiga buah mangga. Sebelum memakannya (memekarkannya) harus dilihat apakah mangga itu sudah masak atau masih muda. Kalau masih muda janganlah dimakan karena rasanya asam dan akan menyembelitkan perut. Semoga tiga daerah di TTS yang akan dimekarkan tidak seperti mangga muda yang menyembelitkan perut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar