Sabtu, 29 Mei 2010

Dr. Sirilus Belen: Tas Anak Sekolah NTT Kempes

SEMUA meradang ketika tahu hasil UN NTT jeblok. SLTP maupun SLTA sama saja. Hancur. Semua mata tertuju ke NTT. Sulit dimengerti hasil itu. Karena Papua yang selama ini paling buruk, tahun ini lebih baik hasilnya dari NTT.

Bodohkah anak-anak NTT? Walahualam! Keprihatinan itu juga begitu memukul satu orang NTT di Depdiknas, namanya Dr. Sirilus Belen. Bagaimana tidak terpukul? Sirilus, boleh dibilang, salah seorang mastermind di Balitbang Depdiknas. Merekalah yang berada di dapur Depdiknas yang kerjanya merancang, menyusun dan memperkenalkan kurikulum, metode pengajaran dan juga bahan ajar untuk sekolah- sekolah di Indonesia.

Sirilus sudah sangat menyatu dengan dunia pendidikan. Seperti ikan dan air saja. Dia terbang ke begitu banyak daerah hingga ke pelosok-pelosok tanah air untuk memajukan dunia pendidikan. Masuk akal kalau dia menjerit menyaksikan hasil UN NTT kali ini. Bagaimana pandangannya tentang pendidikan, khususnya pendidikan di NTT? Melalui facebook, Sirilus menjawab sejumlah pertanyaan Tony Kleden dari Pos Kupang.


Hasil UN NTT, baik SLTP maupun SLTA, tahun ini jeblok. Apa komentar Anda?
Benar benar memalukan. Karena prestasi siswa-siswa Papua ternyata lebih baik daripada prestasi siswa NTT. Jika kita browse internet, jelas tergambar bahwa pada hasil UN SMA tahun 2008 NTT juga berada di nomor buntut. Pak John Manulangga waktu itu memberi komentar faktor penyebabnya dan koran koran lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos memberitakan aneka tanggapan dari berbagai kalangan pendidikan yang relevan. Tapi, setelah UN berlalu, seperti biasa orang cepat melupakan tragedi ini. Dan, kita kembali ke business as usual, seperti tak ada apa apa, tak ada masalah.

Apa dan siapa yang salah?
Yang jelas salah adalah komandan pendidikan di NTT. Jika di propinsi, ya Kepala Dinas PPO NTT, dan di kabupaten/kota ya Kepala Dinas PPO kabupaten/kota. Karena, kepala dinas adalah pemimpin dan manejer pendidikan. Kepala dinas punya pasukan, yaitu kantor dinas yang didukung para pengawas yang bertugas membina sekolah. Kepala dinas juga punya wewenang untuk menggelontorkan dana pendidikan untuk berbagai keperluan. Walaupun lebih banyak sekolah swasta di NTT dibandingkan sekolah negeri tapi terbanyak guru sekolah swasta adalah PNS. Dan, yayasan pendidikan swasta kini menjadi macan ompong karena yang membayar gaji mereka adalah pemerintah.

Kalau kita telusuri lagi untuk mencari siapa yang salah, kita wajar bertanya siapa yang mengangkat kepala dinas pendidikan yang kurang kompeten, yang mungkin tidak berlatar belakang karier dari dunia pendidikan, atau yang berlatar belakang karier dari dunia pendidikan tapi kurang memiliki komitmen atau kurang bertanggung jawab. Jika kita lihat dari bawah ke atas, yang salah di tingkat akar rumput, ya kepala sekolah yang paling salah dan kemudian guru yang juga salah.

Apakah hasil itu juga mencerminkan taraf kemampuan intelektual anak anak NTT?
Jika kemampuan intelektual diartikan kecerdasan intelektual yang biasanya disebut IQ, menurut saya, hasil UN ini tidak mencerminkan tingkat kecerdasan intelektual anak anak NTT. Tingkat IQ anak adalah bawaan sejak lahir sehingga hasil ujian apa pun tidak mencerminkan IQ. Tingkat IQ yang tinggi akan terekspresikan jika kondisi lingkungan pendidikan di rumah dan di sekolah mendukung pemupukan dan peningkatan kecerdasan intelektual itu.

Seorang anak yang lahir sebagai insan jenius bisa saja tidak diketahui jika kondisi rumah dan sekolah tidak mendorong munculnya kejeniusan anak. Karena itu, banyak jenius yang berakhir sebagai gelandangan atau orang yang gagal dalam pekerjaan dan kehidupannya. Albert Einstein yang hebat itu pernah tidak lulus ujian SMA di Swiss karena mendapat nilai merah pada ujian matematika dan fisika. Ia harus belajar lagi sambil indekos di rumah kepala sekolahnya di sebuah kota lain dan kemudian baru lulus setelah menempuh ujian SMA pada kali kedua.

Lantas, faktor determinan apa yang jadi penyebab hasil UN yang buruk itu?
Ada banyak faktor. Pertama, inkompetensi kepala sekolah dan guru. Umumnya kepala sekolah diangkat dari para guru. Dan, tidak ada pendidikan khusus guru untuk menjadi kepala sekolah setelah program studi administrasi/manajemen pendidikan dihapus pada tingkat S1 di fakultas ilmu pendidikan universitas, cq. Universitas Nusa Cendana. Untuk guru SD ada PGSD dan untuk guru SMP, SMA, dan SMK ada FKIP universitas. Menurut pengamatan saya, dibandingkan dengan PGSD dan FKIP universitas yang bermutu di Jawa, mutu PGSD dan FKIP universitas-universitas di NTT masih memrihatinkan. Kedua, kurangnya tanggung jawab tugas seorang kepala sekolah dan guru serta kurangnya disiplin di sekolah.

Kedua hal ini disebabkan oleh tidak diterapkannya imbalan (reward) dan sanksi (punishment) yang tegas dan kurangnya pengawasan atau kontrol pengawas sekolah sebagai perpanjangan tangan dinas pendidikan.

Ketiga, kurangnya transparansi keuangan dan akuntabilitas penggunaan dana pendidikan baik dari sumber pemerintah maupun orangtua siswa.

Keempat, strategi pembinaan guru melalui penataran ternyata tidak membawa perubahan signifikan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Jika Anda mengambil guru dan menatarnya di lokasi penataran, Anda hanya mengubah variabel guru tapi tidak mengubah variabel-variabel penentu mutu di sekolah.

Bagaimana mesti membenahinya?
Menurut saya, masalah yang luar biasa harus dipecahkan melalui tindakan yang luar biasa. Pertama, ganti kepala dinas pendidikan propinsi dengan orang yang kapabel, mempunyai visi yang jelas, dan mampu menggerakkan seluruh jajaran pendidikan di NTT yang bertanggung jawab memutar roda pendidikan NTT. Ganti kepala dinas kabupaten/kota yang tidak kompeten yang selama tiga tahun ini menunjukkan penurunan prestasi siswa dalam UN.

Kedua, tutup SMA, SMP, dan SD negeri dan swasta yang para siswanya lulus 0% pada tahun 2008, 2009, atau 2010 ini. Pindahkan guru dan kepala sekolahnya yang berstatus PNS ke sekolah-sekolah lain. Inilah bentuk akuntabilitas dinas dan yayasan pendidikan. Lebih baik siswa tidak bersekolah daripada bersekolah di sekolah yang amat tidak bermutu.

Ketiga, ganti kepala sekolah yang siswa-siswanya menunjukkan penurunan prestasi selama dua tahun berturut turut dalam UN dengan kepala sekolah yang kapabel, transparan, dan akuntabel. Keempat, mengembangkan mutu pendidikan NTT hendaknya dimulai dari SD, dengan fokus pembenahan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) siswa dengan menerapkan pendekatan belajar aktif dan dilandasi manajemen berbasis sekolah.

Anda keliling Indonesia melihat dan membenahi pendidikan di tempat lain. Bagaimana Anda melihat mutu pendidikan di NTT dibanding dengan daerah lain?
Indikator mutu pendidikan saya pilih berikut ini. Pertama, tulisan anak-anak kelas 3 SD. Belum pernah saya lihat tulisan anak SD kelas 3 di propinsi-propinsi yang amat tertinggal di bidang pendidikan, seperti Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua, yang seburuk tulisan anak anak kelas 3 SD NTT. Terbanyak masih menggambar huruf dan angka. Jelas anak-anak ini tidak bisa membaca dan memahami soal atau tugas kalau menulis saja masih pontang panting. Kemampuan membaca anak-anak kelas 3 dan kelas 5 SD juga parah di daerah-daerah tertentu di NTT.

Kedua, berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya merintis inovasi di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan siswa-siswa NTT pukul rata dua tahun tertinggal di belakang dibandingkan kemampuan para siswa di Jawa. Jika saya cek kemampuan siswa kelas 5 SD di Kota Kupang, misalnya, ternyata masih setaraf kemampuan siswa kelas 3 SD di Malang. Kemampuan siswa kelas 3 SMP di Ende masih setaraf kemampuan siswa kelas 1 SMP di Solo. Kemampuan siswa kelas 3 SMA di Maumere masih setaraf kemampuan siswa SMA kelas 1 di Yogyakarta. Ini kesimpulan sementara saya pada awal tahun 2000. Dengan mengamati hasil UN tahun 2008-2010, mungkin perbedaan itu sudah melebar menjadi 3 tahun.

Ketiga, dari segi ketersediaan dan keterjangkauan buku pelajaran bermutu, tampaknya para siswa NTT amat sulit memiliki buku pelajaran mata-mata pelajaran kunci yang diuji dalam UN. Dinas Pendidikan NTT tahun-tahun terakhir ini lebih memilih menggunakan dana BOS untuk membeli buku sekolah elektronik (BSE) yang bermutu rendah, sedangkan untuk membeli buku-buku pelajaran terbitan-penerbit swasta yang bermutu tampak tak ada kemauan dinas pendidikan menggunakan dana APBD. Indikator sederhana yang kasat mata adalah melihat sebesar dan seberat apa tas sekolah yang dibawa para siswa di NTT. Jika kita lihat para siswa SD, SMP, dan SMA bermutu di Jawa dan Bali tampak mereka terbungkuk bungkuk membawa tas sekolah berisi buku. Sebaliknya di NTT, kita lihat para siswa sekolah bermutu di NTT hanya bawa sedikit sekali buku pelajaran. Tas mereka tampak kecil dan kempes.

Kalau begitu terobosan apa yang perlu dilakukan?
Pertama, rintis sekolah model belajar aktif dan TQM (Total Quality Management) di tiap kabupaten/kota. Mulailah dengan 1 atau 3 sekolah per jenjang (SD, SMP, dan SMA). Pengembangan model dilakukan melalui inhouse training dengan mendatangkan konsultan dari PGSD dan FKIP di Undana, Unwira, Unkris, Uniflor, STKIP Ruteng, bekerja sama dengan pengawas dan tim perekayasa kurikulum yang telah dirintis Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas.

Kedua, dinas pendidikan propinsi dan kabupaten bekerja sama dengan universitas membentuk teacher centers di FKIP Undana, Unwira, Unkris, Uniflor, dan STKIP Ruteng. Tugas teacher centers adalah mendiseminasi gagasan baru, melalukan pendampingan sekolah, dan menatar para guru dan kepala sekolah potensial secara berjenjang dari tingkat elementary, intermediate sampai advanced.

Ketiga, dalam waktu dua tahun ini dinas pendidikan propinsi dan kabupaten melalui policy gubernur dan bupati membuka dan memperluas jaringan internet sampai ke sekolah-sekolah di pelosok, bekerja sama dengan jaringan internet Kemdiknas. Keempat, Papua telah menyalib NTT karena mutu pendidikan Papua paling tidak dapat didongkrak melalui pendirian sekolah-sekolah berasrama yang dibiayai dengan dana OTSUS. Walaupun dana pendidikan NTT terbatas, tapi apa salahnya kita membantu tarekat suster dan frater serta organisasi Kristen dan Islam yang selama ini telah menyelenggarakan sekolah berasrama yang bermutu agar menambah sekolah- sekolah berasrama untuk siswa SMP, SMA, dan SMK?

Sekolah-sekolah misi dulu sangat hebat. Mengapa tidak diadopsi sekarang?
Satu demi satu sekolah misi berasrama ditutup karena masalah biaya. Para pejabat gereja berpikir bahwa pemerintah sekarang mengelola banyak dana dan mampu membuka sekolah-sekolah baru. Karena itu, tongkat estafet itu diserahkan kepada pemerintah. Kalau pemerintah telah mampu, gereja mundur ke belakang dan hanya memotivasi. Tapi, kita tahu sikap mental birokrat itu cenderung korup dan kejujuran atau transparansi keuangan itu sulit ditegakkan. Disiplin sekolah berantakan. Gereja terlalu cepat mundur ke belakang, padahal awam belum sepenuhnya mampu. (*)

Sumber: http://www.pos-kupang.com/read/artikel/48270/tamukita/2010/5/24/dr-sirilus-belen-tas-anak-sekolah-ntt-kempes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar