Sabtu, 26 Juni 2010

Tanah Air Beta Abadi nan Gersang

Oleh: Hukman Reni

Penulis adalah seorang pengungsi Timor Timur, tinggal di Atambua

Timor Timur ternyata masih menyisakan banyak kisah. Salah satu kisah itu diungkit lewat Film Tanah Air Beta. Kisah yang diungkit adalah cerita tentang keterpisahan. Sebuah keterpisahan ganda. Keterpisahan sebuah propinsi Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Keterpisahan seorang kakak beradik, yaitu Merry yang diperankan oleh Griffit Patricia dengan Mauro kakaknya, yang diperankan oleh Marcel Raymond. Juga keterpisahan seorang istri Tatiana yang dilakonkan Alexandra Gottardo dengan suaminya entah siapa dan keterpisahan seorang suami bernama Abu Bakar (Azrul Dahlan) dengan istrinya yang tak tahu siapa.

Film produksi Alenia Fictures yang digarap Ari Sihasale ini, dilatarbelakangi kisah sedih akibat Jajak Pendapat Timor Timur sebelas tahun silam. Sebagaimana diketahui, hasil Jajak Pendapat Timor Timur 30 Agustus 1999 yang diumumkan 4 September 1999, dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan yang anti Indonesia. Akibatnya, ratusan warga Timor Timur terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Data Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkoorlak) Penangggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP) Provinsi NTT, jumlah pengungsi Timtim yang eksodus ke wilayah NTT pasca pengumuman hasil jajak pendapat di Timtim 4 September 1999 lalu mencapai 54.706 Kepala Keluarga (KK) atau 284.414 jiwa.

Setelah terusir dari tanah leluhur, kehilangan harta benda dan berpisah dengan sanak saudara, ratusan ribu warga Timor Timur itu terpaksa hidup di barak-barak penampungan yang kumuh di Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kehidupan di pengungsian itu pun terekam dalam film ini.

Film ini diawali adegan yang cukup memilukan. Ribuan orang berjalan dengan wajah kuyu dan lemas. Tetapi ada juga yang masih sempat menyeret hewan kesayangannya. Di sebelahnya, lalu lalang kendaraan yang mengangkut manusia berdesakan dengan perabot rumah tangga.
Kemudian diperdengarkan juga alunan lagu 'Indonesia Pusaka', karya Ismail Marzuki, sehingga suasananya terasa seperti “agustusan” atau perayaan proklamasi kemerdekaan yang mau menenggelamkan kita dalam rasa kebangsaan dan cintah tanah air yang amat dalam.

Indonesia, tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...... inilah bait lagu Ismail Marzuki yang mengawali film itu. Tetapi pusaka apakah yang abadi di tanah air Indonesia nan jaya ini? Kalau kita mau jujur, jawabnya hanya satu. Kepedihan. Pedih melihat kemiskinan yang semakin bertambah jumlah orangnya maupun ragamnya. Kemiskinan ekonomi, kemiskinan moral, kemiskinan solidaritas dan miskin keadilan.

Ari Sihasale memang tak bermaksud mempertontonkan keaneka-ragaman kepedihan di atas. Di Tanah Air Beta, Ale – sapaan Ari Sihasale – tampaknya hanya ingin mengungkapkan persoalan keluarga yang dikoyak oleh sebuah keputusan politik bernama Jajak Pendapat.
Lewat filmnya ini, kayaknya Ale ingin bilang kepada kita semua bahwa di ujung republik ini, ada keluarga yang hidup bercerai berai akibat persoalan politik Timor Timur. Meskipun begitu, di film ini Ale tak mau bicara politik. Ale pun tak bermaksud untuk membuka kembali luka lama peristiwa merdekanya Timor Timur.

Film ini bebas dari isu politik. Murni berkisah tentang perjuangan ibu-anak yang terpisah karena keadaan waktu itu. "Tanah Air Beta adalah cermin seorang anak yang ingin menemukan arti hidup dan kebanggaan terhadap nilai kebangsaan", kata Ari Sihasale dalam pemutaran perdana `Tanah Air Beta` di Planet Hollywood, Jakarta, (Liputan6.com, Senin 14/6).

“Tujuan saya ingin memperlihtkan kepada semua orang bagaimana para pengungsi Timor Leste yang memilih ikut bergabung ke Indonesia dengan tinggal di Atambua sebagai pengungsi, mereka memang sangat mencintai Indonesia”, kata Ale lagi.

Film ini bergenre drama keluarga. Intinya menceritakan bagaimana ideologi dan keadaan tak akan mampu memutuskan hubungan ibu dan anaknya. Cinta kasih keluarga tak akan hilang walau bagaimana pun keadaannya.`, tambah Nia Sulkarnaen, istri sang penggarap Tanah Air Beta.
Tetapi nilai kebangsaan macam yang mau ditemukan di film ini? Jika kebangsaan yang dimaksud Ale adalah sebuah kemajemukan etnik, maka sekilas, kebangsaan itu tergambar dari para pemainnya yang Manado (Robby Tumewu), Indo (Alexandra Gottardo dan Griffit Patricia). Juga pada sosok Yehuda Rumbini, yang Papua tulen dari Sentani.

Hanya saja, kebangsaan bukan pasar inpres tempat hadirnya persona atau anak manusia dari berbagai “kelurahan” dan etnik yang berbeda. Bukan pula sekedar pertemanan si kribo dengan si pirang. Kebangsaan adalah sebuah keluarga besar yang saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, di mana kesetaraan terungkap dalam kehidupan nyata yang tertib, aman dan tenteram. Sebuah keluarga besar yang terikat nilai kebangsaan, tidak boleh baku toki atas nama apa saja. Termasuk atas nama Tuhan sekalipun. Sebab Tuhan tidak pernah anarkis.

Tuhan tidak mau melihat umatnya benjol hanya gara-gara beda agama.
Nilai kebangsaan itu yang kurang menonjol di Tanah Air Beta. Padahal, melihat judulnya, dan mendengar soundtrack lagu-lagu perjuangan yang disertakannya, bayangan kita akan memperoleh tontonan nasionalisme yang kental dari adegan-adegan atau dialog para pemainnya. Kesenjangan ini mungkin bisa dimengerti, sebab dari awal penggarapnya tidak mau berususan dengan politik.

Secara umum, film ini menyoroti kehidupan keluarga yang remuk dihantam badai politik Timor Timur pasca Jajak pendapat. Ada keluarga Tatiana (Alexandra Gottardo) yang kehilangan suaminya, dan anak perempuannya Merry (Griffit Patricia) yang merindukan kakaknya Mauro (Marcel Raymond). Tatiana dan Merry tinggal di barak penampungan di Timor Barat, Proponsi Nusa Tenggara Timur.

Tatiana mengisi hari-harinya dengan menjadi guru dan bertani di tanah yang kering. Sedangkan Merry memendam kerinduan teramat sangat pada kakaknya yang terpisah saat kerusuhan pasca Jajak Pendapat terjadi. Kerinduan Merry terhadap Mauro begitu dalam, hingga Merry masih selalu membayangkan percakapannya dengan kakaknya saat mereka masih hidup rukun dalam keluarganya beberapa tahun silam. Kerinduan itu membuat Merry setiap ,malam menggenggam cobek layaknya telepon, lalu bicara dengan bantal yang dibalut kaus sang kakak.
Kemudian, ada juga Abu Bakar (Azrul Dahlan) yang kehilangan istri. Abu Bakar dikisahkan seorang keturunan Arab yang sangat perhatian pada keluarga Tatiana. Tetapi perhatian Abu Bakar itu, ada maunya. “Ada udang di balik batu”. Rupanya, Abu Bakar ingin belajar baca tulis dari Tatiana, yang mengajar di sekolah tenda.

Selain itu, ada lagi bocah jahil yang kehilangan ayah dan ibunya bernama Carlo (Yehuda Rumbindi), yang sering mengganggu Merry di sekolah tenda. Sepertinya, Ale sengaja mengirim Abu Bakar membawa bumbu humor mengimbangi Tatiana yang murung. Juga Carlo untuk mendampingi Merry yang dibalut rindu pada kakaknya sepanjang masa. Walhasil, Abu dan Carlo memang berhasil mengelitik penonton lewat tingkah laku dan ucapan-ucapannya.

Adegan keluarga terlihat jelas ketika suatu kali, Merrry melihat ibunya sakit. Merry sangat khawatir ibunya akan meninggal dan ia hidup sendirian, seperti Carlo yang “merantau” di Tanah Air Beta, tanpa ayah dan ibu, juga tanpa adik dan kakak. Kekhawatiran itu mendorong Merry nekad pergi ke perbatasan seorang diri mencari Mauro, kakaknya. Carlo pun menyusul Merry ke perbatasan setelah dibentak oleh Abu Bakar yang sangat mengkhawatirkan kepergian Merry yang misterius dan sangat tiba-tiba.

Pada bagian cerita ini, batin penonton akan tergetar saat Merry yang awalnya sangat membenci Carlo dan berjanji tak mau lagi bicara dengannya, akhirnya mengungkapkan kegelisahannya dan alasannya nekat pergi ke perbatasan seorang diri. “Carlo, ko rasa bagaimana kalau tida punya mama lagi? tanya Merry.

Carlo tertegun mendengar pertanyaan itu. Ia menghentikan makannya dan menatap Merry. “Sepi sekali. Tidak punya bapak, tidak punya adik. Ko juga tidak mau jadi sa pu adik”, rintih Carlo dalam logat Kupang. Pada penggalan lain, Carlo pun bertanya, apakah Merry masih mau berteman dengannya jika sudah bertemu Mauro. Tetapi Merry merasa hanya punya satu kakak, Carlo dengan tegas menjawab,”Tak ada salahnya punya dua kakak!”

Tanah Air Beta tampaknya terfokus pada kisah pencarian Merry dan Carlo di “jembatan air mata” Mota A’in, Kabupaten Belu. Di ujung cerita, Merry mencari Mauro, sambil menyanyikan lagu “Kasih ibu Kepada Beta”. Merry dan Carlo akhirnya bertemu Mauro. Ketiganya berpelukan.
Tetapi sampai di sini, barangkali penonton akan sedikit kecewa, karena pesan rasa kebangsaan dari Tanah Air Beta bergeser ke alunan “Kasih ibu Kepada Beta” saat Tatiana dan Abu Bakar bergabung dengan Mauro, Carlo dan Merry di tengah kerumunan orang yang “kangen-kengenan” di “Jembatan Air Mata”, Mota A’in, yang memisahkan Indonesia dan Timor Leste. Ending Ini membuat orang akan bertanya-tanya, barangkali film ini salah judul.

Penonton di bumi Komodo barangkali juga akan sedikit miris, karena hampir sepanjang cerita dalam film ini kita akan menyaksikan gersangnya Tanah Air Beta di Nusa Tenggara Timur. Jadi makna pengungkapan kesengsaraan pengungsi Eks Timor Timur, sekaligus mewakili keterbelakangan NTT yang terdaftar sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia.

Bagi mereka yang tahu persoalan kehidupan pengungsi warga Eks Timor Timur di barak penampungan, mungkin akan bertanya-tanya, siapa Tatiana. Mengapa dia pisah dengan suaminya. Sebab, kita tahu, bahwa pasca Jajak Pandapat, ribuan warga Eks Timor Timur, baik pro kemerdekaan maupun pro Indonesia megungsi ke Timor Barat. Adakah Tatiana memilih tinggal di Tanah Air Beta karena terlanjur tanpa suami.

Kemudian, apakah perpisahan itu sebelum atau sesudah Jajak pendapat? Karena semuanya tak terungkap jelas, maka barangkali film ini hanya mau mengungkap ketegaran seorang janda di pengungsian.

Pengambilan gambar film ini tampaknya di lokasi pengungsian, di Kupang. Sayang sekali, kehidupan sehari-hari pengungsi kurang diungkapkan. Bahkan interaksi pengungsi dan penduduk lokal, hampir tidak disentuh sama sekali. Seolah-olah pengungsi Eks Timor Timur “terisolir” dari yang akar sosial di sekitarnya. Padahal, ini penting diceritakan untuk mengisahkan apakah pengungsi Eks Timor Timur itu diterima penduduk lokal atau tidak?
Tetapi terlepas dari semua itu, Tanah Air Beta menunjukkan betapa masih menyedihkannya kehidupan pengungsi Eks Timor Timur di barak penampungan di Timor Barat.

Menyaksikan kisah kehidupan pahit Tatiana, korban Jajak Pendapat yang diperankan Alexandra Gottardo tersebut, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Radjasa menilai “Tanah Air Beta” merupakan gambaran kehidupan sosial penduduk Indonesia di daerah perbatasan yang seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.

Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia dilontarkan dalam konferensi pers di sela-sela nonton bareng “Tanah Air Beta” yang diselenggarakan PAN di Plaza Senayan, Jakarta. “Kondisi yang dialami masyarakat Atambua seperti diceritakan dalam film Tanah Air Beta memang tidak bisa ditutup-tutupi kebenarannya. "Saya sendiri pernah ke Atambua, memang daerah perbatasan itu harus kita tingkatkan. Harus yang prosperity approach yang kita utamakan. Jadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan itu penting, supaya kecintaannya kepada bangsa semakin meningkat," kata Hatta.

Pernyataan Hatta didukung oleh mantan Ketua MPR Amien Rais, yang sengaja datang dari Yogyakarta untuk nonton bareng Tanah Air Beta. Menurut Amien, kelemahan kita untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketika ada wilayah yang jauh dari Jakarta dapat kesusahan, ada musibah seperti kehidupan pengungsi Timor Timur yang sangat sengsara itu, dianggap seolah tidak ada apa-apa.

Oleh sebab itu, dia berharap, film Tanah Air Beta mampu menggugah pemerintah untuk menentukan kebijakan demi mensejahterakan masyarakat Timor Timur. "Ya saya melihat Pak Hatta ini setelah melihat film tersebut bersama pemerintah akan mengambil langkah buat 70 ribu anak bangsa itu mau diapakan. Karena sudah sepuluh tahun (nasibnya seperti itu)," papar Amien. "Saya rasa ini bisa jadi bahasan di kabinet, apakah dengan memberiikan pangan, sandang, papan dan lain-lain," lanjut Amien Rais.

Nonton bareng yang diselenggarakan Partai PAN terasa begitu lengkap dengan hadirnya para pemain dan kru film Tanah Air Beta. juga tokoh Timor Timur, Eurico Guterres. Mantan narapidana HAM Berat Timor Timur ini konon sengaja dipanggil oleh artainya untuk memberii “kesaksian” kepada Tanah Air Beta. Dalam konferensi pers yang dipandu Eko Patrio, Guterres tak lupa melontarkan kritik pedasnya, hingga membuat Tatiana (Alexandra Gottardo) dan sang penggarap Tanah Air Beta, Ari Sihasale, agak kelimpungan.

Guterres merasa film Tanah Air Beta itu, seakan membenarkan tuduhan internasional, yang memvonis dirinya sebagai pimpinan milisi yang memaksa penduduk mengungsi ke Timor Barat. Akibatnya, banyak keluarga yang bercerai berai.

“Salah satu tuduhan terberat yang saya hadapi dalam Pengadilan HAM Berat Timor Timur, adalah pemindahan paksa. Dunia menuduh saya yang memaksa orang mengungsi sehingga ada anak-anak berpisah dengan orang tuanya, suami berpisah dengan istrinya, dan sebagainya. Saya sudah bantah itu di pengadilan, tetapi film ini membenarkan tuduhan itu”, kata Guterres.

“Meskipun begitu, sebagai warga Eks Timor Timur, saya berterima kasih kepada Ale, karena sudah mau mengungkap penderitaan warga Eks Timor Timur di pengungsian”, katanya lagi.
Tanah Air Beta memang tak lepas dari kritikan, selain puja dan pujian. Pesan sponsor begitu kental di dalamnya. Perhatikanlah, tempat bermain Merry dan Carlo yang lebih sering di kolam air. Juga ajakan Carlo untuk selalu cuci tangan pakai sabun Lifeboy, sebelum makan dan setelah cuci piring di sebuah warung makan.

Kemudian, perhatikan pula “pagar negara” berpakaian loreng yang lalu lalang memegang senjata tanpa bertegur sapa, seakan-akan menunjukkan bahwa tentara tidak pernah bikin apa-apa dalam urusan warga Timor Timur.

Tetapi terlepas dari semua itu, sebagai hiburan, Tanah Air Beta pantas ditonton oleh semua kalangan, dan khusus untuk warga Belu, bersiap-siaplah nonton gratis, sonde pake doi. Karena di sela-sela nonton bareng di Plaza Senayan, Jakarta, 23 Juni lalu, Abu bakar (Azrul Dahlan) dan Tatiana (Alexandra Gottardo) telah berjanji kepada saya bahwa, tanggal 17 Juli 2010 mereka akan menggelar layar tancap di Haliwen, Atambua.***

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40280

1 komentar:

  1. keren .... saya sudah menonton film ini .... yup benar .... tidak ada urusan politik .. cuman ada sedikit sindiran mengenai pertamina ... hahaha si abu yang mempertanyakan "No smoking" ... wkwkwkwkwkw

    BalasHapus