Rabu, 14 Juli 2010

Guru Non PNS

Penulis adalah mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana

Guru bantu, guru honorer, guru kontrak, atau apapun istilahnya yang adalah guru non PNS sebenarnya memuat suatu kesamaan yakni mereka yang menyandang status itu hanya menerima penghargaan finansial eceran. Finansial yang tiada artinya dalam sebulan saat kita berada di saat sekarang ini.

Kalau kita mendengar cerita mereka dalam mendapatkan penghasilan, mereka akan bercerita bahwa kisaran penghasilan mereka per bulan dari Rp 75 ribu sampai dengan Rp 600 ribu (hitungan maksimal jika seorang guru non PNS mengajar 30 jam seminggu dikalikan Rp 20 ribu sebagai honorarium per jam pelajaran).

Sungguh sangat menyedihkan, apalagi tanpa tunjangan keluarga, tanpa gaji 13, tanpa dana pensiun. Mereka yang mengajar 24 jam pelajaran sebulan paralel akan membawa pulang honor Rp 240 ribu, jika sekolah tempatanya mengajar menghargai per jam Rp 10 ribu rupiah. Honorarium sebulan guru tersebut hampir sama harganya dengan upah tukang batu yang bekerja dari senin sampai sabtu dalam seminggu.

Saya tidak menyebut penghargaan untuk mereka sebagai gaji, karena gaji memuat berbagai tunjangan, dan hanya diberikan kepada guru tetap, baik dalam dinas yayasan swasta maupun pemerintah. Istilah pembayaran eceran untuk mereka bisa bermakna dibayar semampunya, seadanya, atau semaunya sekolah tempat mereka bekerja.

Ada yang dibayar berdasarkan kemampuan komite sekolah, berdasarkan uluran belas kasih orang tua siswa, berdasarkan keuangan yayasan, berdasarkan feeling kepala sekolah, berdasarkan hitungan jumlah jam mengajar, atau berdasarkan upah minimum provinsi layaknya standar untuk buruh. Bahkan, pembayaran untuk mereka pun bisa tidak jelas kapan terjadi.

Apalagi, gaji para guru yang PNS yang terlambat dalam pembayaran gaji yang terjadi baru-baru di Kupang ini yang mengundang protes habis-habisan. Dalam pada itu, ada satu pertantanyaan, bagaimana dengan gaji tenaga guru yang bukan PNS pasti dilipatgandakan keterlambatannya alias tidak penting?

Guru honorer, guru bantu (guru bukan PNS) menjadi bagian penting dalam jagat pendidikan dasar dan menengah di NTT ini, namun diingat ketika akan ada perekrutan pegawai negeri. Itu pun sebatas harapan agar mereka diprioritaskan. Akan tetapi, sebagaian besar dari mereka tetap tersaruk-saruk di posisinya sampai melewati batas usia penerimaan pegawai negeri, lebih dari 20 tahun terus sebagai guru honorer.

Meski sudah teruji mengajar puluhan tahun, toh banyak dari mereka tidak diloloskan untuk menyandang status pegawai negeri. Keberadaan para guru kelompok di atas sangat membantu dan dibutuhkan oleh sekolah-sekolah untuk tetap melangsungkan kegiatan pendidikan. Pendidkan untuk memanusiakan manusia. Tidak jarang mereka mengajar penuh dan masih ditambahkan lagi tugas-tugas mendampingi siswa dalam berbagai kegiatan.

Bahkan mereka acapkali ditempatakan sebagai “ban serep” yang harus siap sewaktu-waktu jika ada guru tetap yang berhalangan, entah karena penataran berhari-hari, pergi rapat, melayat, atau sekedar malas bekerja. Guru tetap atau senior merasa berhak memperlakukan mereka sebagai pembantu. Guru tetap yang memperoleh penggajian lengkap dan kesempatan penataran ke sana ke mari mestinya bekerja lebih sungguh dari pada mereka. Akan tetapi, terjadi justru sebaliknya.

Dengan membiarkan begitu banyak para guru berstatus honorer dan sejenisnya, pemerintah atau yayasan swasta telah bertindak akal-akalan secara tidak adil. Maunya mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, tetapi pekerjaan semua terlayani. Adakah perbedaan dalam bekerja dan melayani siswa di kelas antara guru tetap dan eceran? Apakah siswa melihat kesungguhan guru di kelas berdasarkan guru tetap atau eceran? Jika menilik jam-jam mengajar mereka penuh, maka di lembaga tersebut secara faktual kekurangan guru.

Ada ratusan jam pelajaran yang tidak terlayani oleh guru tetap. Ironisnya yang jamak terjadi di lapangan, para guru tetap, entah negeri maupun swasta, ingin mengajar sedikit mungkin. Guru tetap tidak dimanfaatkan sepenuhnya, sementara guru enceran dipenuhkan kewajiban mengajarnya. Ini sebentuk pemborosan keuangan Negara yang perlu disikapi bersama.

Lain halnya dengan guru honorer yang bekerja di lembaga swasta, mereka lazim disebut sebagai guru magang. Artinya, ada harapan untuk berstatus sebagai guru tetap, meski setiap yayasan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Perlakuan swasta terhadap para guru demikian layaknya untuk disimak, terutama ketika menimbang untuk menghitung penggajian dan honorarium. Setiap usaha untuk menaikan angka kesejahtraan selalu memperhitungkan agar seluruh guru memperoleh perlakuan yang adil, baik yang magang maupun yang tetap. Menaikan honorarium per jam pelajaran hanyalah guru honorer yang merasakan, sedangkan menambahkan tunjangan beras hanyalah dirasakan yang berstatus tetap.


Dalam konteks seluruh negara, pola berpikir generalisasi pun selalu mewarnai setiap perbincangan yang berusaha memperjuangkan kesejahtraan para guru. Seolah-olah seluruh guru di negeri ini akan menikmati kenaikan gaji atau menerima gaji ke-13, jika pemerintahan mengumumkan kenaikan gaji para guru. Seolah–olah dengan menyebut guru menganggap telah mencakup semua orang yang mengajar di depan kelas. Padahal, itu hanya menyangkut mereka yang berstatus sebagai guru PNS atau negeri. Jumlah mereka yang bukan guru negeri sekurang-kurangnya dua kali lebih banyak daripada yang negeri.

Akhirnya, pemerintah jangan merasa telah menyejahtrakan guru dengan menaikkan berbagai tunjangan, dan kemudian menyalahkan guru ketika ketidaklulusan yang terbelakang terjadi di propinsi kita ini. Tunjangan itu hanya baru separoh saja yang menikmati. Tunjangan itu bisa jadi juga berasal dari setoran pajak sekolah-sekolah swasta nonprofit.

Pemerintah jangan berdalih tidak mampu membayar gaji atau enceran seluruh guru apa pun statusnya, karena baik guru PNS atau non PNS, mereka adalah penyelamat bangsa yang harus perlu diperhatikan kesejahtraan mereka. Bukan pemerintah menutup mata terhadap salah satu dari mereka. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar