Rabu, 14 Juli 2010

Masa Orientasi Siswa (MOS)

Oleh: Matias A. Nenometa, S.Pd dan Frangky Amalo, S.Pd

Penulis adalah Guru SMA Negeri 4 Kupang dan Guru SMA Kristen 1 Kupang




A. Pendahuluan
Sebelum memasuki satu jenjang pendidikan formal tertentu baik pada tingkatan menengah pertama, menengah atas ataupun menengah kejuruan, seluruh siswa baru diwajibkan untuk mengikuti kegiatan masa orientasi siswa. Secara umum orientasi adalah proses mengenali dan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan baru yang akan dimasukinya.

Pandangan awal seorang siswa baru akan sangat ditentukan oleh penerimaan pihak sekolah pada hari pertama siswa bersangkutan memasuki satu lembaga pendidikan formal tertentu. Bila hari pertama memasuki lembaga pendidikan itu diasumsikan sebagai masa orientasi siswa maka sekolah perlu mempersiapkannya dengan sangat baik, jika tidak maka persepsi atau pandangan siswa terhadap lembaga pendidikan formal tersebut akan berubah menjadi negatif sehingga siswa merasa tidak nyaman.

B. Kepanitiaan Masa Orientasi Siswa (MOS)

MOS dapat berlangsung dengan baik bila terdapat kepanitiaan yang mengaturnya. Biasanya kepanitiaan MOS terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu pertama : Dari unsur guru sebagai panitia inti MOS dan kedua : Dari unsur pengurus Osis. Yang perlu dicermati adalah kepanitiaan dari unsur pengurus osis. Secara jujur perlu diakui bahwa pengurus osis adalah perwakilan dari tiap kelas per-angkatan.

Kebanyakan pengurus osis belum matang dari sisi pengendalian emosi dan perilaku. Sebelum pengurus osis yang terwakili dalam kepanitiaan MOS dilibatkan dalam penanganan siswa baru, sebaiknya mereka diberikan “training” tentang etika dalam berkata dan bertindak, apalagi jika mereka langsung berhubungan dengan siswa baru maka perlu diawasii secara ketat oleh panitia MOS dari unsur guru.

C. MOS dan Aturan Main

Kebanyakan MOS yang dilaksanakan oleh setiap sekolah memiliki aturan yang berbeda-beda, tetapi secara kasat mata terdapat persamaan yaitu siswa baru diperlakukan sebagai “obyek” binaan yang dapat diperlakukan sesuka-suka oleh panitia MOS. Contoh yang dapat dikemukakan yaitu menyangkut atribut yang harus dikenakan oleh siswa baru selama MOS berlangsung sebagaimana misalnya penggunaan atribut penutup kepala yang terbuat dari bahan gardus berbentuk segitiga dengan tinggi dan lebar yang telah ditentukan atau bahkan menggunakan bola kaki plastik yang dibelah menjadi 2 (dua) bagian kemudiaan diambil 1(satu) bagiannya untuk dipasangkan ke kepala peserta MOS dengan menggunakan tali raffia. Contoh diatas dapat menimbulkan pertanyaan menggelitik “apa hubungan antara atribut penutup kepala yang “aneh” tersebut dengan esensi MOS seperti yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan sebelumnya” ?.

Jika esensi MOS adalah mengenali dan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan baru, maka sebaiknya menggunakan saja atribut penutup kepala berupa topi sekolah yang bersangkutan karena lebih dapat menumbuhkan perasaan memiliki daripada menggunakan atribut yang “Aneh-aneh”.

Pada sisi lain setiap peserta MOS terikat dengan “The rules of the game”. Bila mereka melakukan pelanggaran maka oleh panitia MOS dapat memberi sanksi dan hukuman. Menurut hemat penulis sanksi lebih bersifat mendidik, sanksi yang diberikan kepada peserta MOS dapat berupa : teguran lisan, menyanyikan lagu agama, lagu daerah dan lagu nasional ataupun menyebutkan bagian ayat-ayat kitab suci. Dengan penerapan sanksi seperti diatas sebenarnya panitia MOS dapat melihat potensi dan bakat yang dimiliki oleh para peserta MOS.

Yang perlu diawasi dengan teliti adalah penerapan hukuman. Jika terdapat peserta MOS yang melanggar aturan dan harus dikenai hukuman, maka hukuman yang bersifat pendekatan fisik seperti “pus-up” atau “sit-up” harus dihindari, hal ini untuk mencegah terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan karena secara pasti tidak semua siswa baru memiliki riwayat kesehatan yang baik.

Hukuman fisik sebaiknya diganti dengan hukuman seperti membersihkan halaman sekolah, ruangan kelas, mengisi air ke bak “kamar kecil” ataupun menyirami bunga di sekeliling halaman sekolah. Hukuman jenis ini dimaksudkan untuk mengadaptasikan siswa tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan menumbuh kembangkan kecintaan terhadap alam sekitar.

D. Sosialisasi NAPZA

Masa Orentasi Siswa baru dapat dipergunakan sebagai media yang efektif untuk memberikan sosialisasi tentang bahaya penggunaan Narkotika dan zat-zat adiktif lainnya. Bila siswa baru diandaikan sebagai sehelai lembar putih kosong yang belum ditulisi maka MOS merupakan tempat awal untuk mengisi kekosongan tersebut secara baik dan terarah. Bila sekolah tidak memiliki SDM yang memahami dengan baik tentang “NAPZA” dimaksud maka dapat mengadakan kerja sama dengan pihak Polda ataupun Polres setempat atau kalau boleh di sarankan oleh penulis kalau memang memungkinkan seharusnya dari pihak Polda atau Polres setempat mengambil inisiatif untuk melakukan sosialisasi terhadap bahaya penggunaan “NAPZA” dimaksud. Hal ini amat penting karena siswa baru kelak akan menjadi “tulang punggung” daerah bahkan pembangunan nasional. Di sini peran aktif dari Badan Narkotika Daerah dianggap amat strategis.

Sosialisasi tentang “NAPZA” ini dapat lebih menyentuh perasaan siswa baru jika metode sosialisasi dapat dibuat “sedikit” lebih bervariasi. Jika pada waktu lalu para pemateri lebih banyak berceramah dalam bentuk tutorial sebaiknya menurut penulis bisa dikembangkan dengan menggunakan sentuhan TIK (baca : Teknologi Informasi dan Komunikasi ) seperti penggunaan Over Haed Proyektor untuk menampilkan gejala dan jenis penyakit yang diderita oleh pengguna “NAPZA” atau kalau boleh bahkan melalui pemutaran film tentang “NAPZA” itu sendiri. Jika hal ini dapat dilaksanakan maka dapat dipastikan perhatian siswa lebih terfokus dan tidak membosankan dibandingkan dengan hanya mendengar ceramah semata.

E. Pendidikan Budi Pekerti

Seringkali dijumpai di Kota Kupang yang kita cintai bersama ini perilaku siswa/i sedikit menyedihkan dimana ada siswa/i yang tidak mengetahui nama gurunya sendiri. Paling yang dikenalinya hanyalah guru yang mengajar dikelasnya atau mungkin yang sejurusan dengannya. Jika guru sudah tidak dikenali oleh muridnya maka jangan pernah berharap sang murid akan memberi salam. Sebagai contoh ada murid yang datang ke ruang guru kemudian bertanya kepada petugas piket harian, Bapak, itu Ibu guru yang mengajar Biologi tu, ada datang ko Pak ? atau sebaliknya, Ibu, itu Pak yang mengajar Matematika ada di mana ee ??.

Hal ini berbanding terbalik dengan siswa yang berada di wilayah pinggiran Kota atau bahkan di wilayah Pedesaan di mana etika mereka masih tetap terpelihara dengan baik dan bahkan boleh dikategorikan amat baik. Berdasarkan penggambaran di atas maka menurut hemat penulis selama MOS berlangsung perlu dipertimbangkan untuk menyisipkan materi tentang Budi Pekerti. Hal ini didasari dengan pemikiran sederhana yaitu inti dari pembelajaran adalah perubahan dan perubahan haruslah kearah yang lebih efektif.
Pendidikan tentang budi pekerti ini telah lama menghilang dari kurikulum sekolah dan di gantikan dengan pendidikan kewarganegaraan serta bimbingan dan konseling. Tetapi pada kenyataannya belum terjadi perubahan yang signifikan terhadap perilaku dan kebiasaan siswa yang tidak menghormati guru sebagai pengajar sekaligus sebagai “orang tua” di sekolah.


F. Kegiatan Baris-berbaris

Biasanya selama pelaksanaan MOS terdapat kegiatan baris-berbaris. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk perilaku siswa yang disiplin dan bertanggungjawab. Kedisiplinan dalam berbaris dan bergerak bersama dalam kelompok-kelompok kecil dengan system satu komando. Seharusnya menrut penulis perlu dikombinasikan dengan prosesi pengibaran bendera hal ini menjadi penting adanya karena yang terjadi selama ini adalah kebanyakan institusi hanya mengadakan upacara bendera pada moment tertentu saja, sebagaimana misal pada saat memperingati HUT institusi tersebut atau hanya pada saat HUT kemerdekaan semata.
Dampak yang timbul adalah memudarnya “Semangat Nasionalisme” dimana upacara bendera hanyalah dimaknai sebagai “ Ceremony” belaka.

Secara acak bila ditanyakan kepada siswa menyangkut sila-sila yang terdapat didalam Pancasila maka dapat dipastikan ada yang menyebutnya secara terbalik bahkan mungkin lupa. Hal ini telah terjadi dimana sebulan yang lalu ketika Wartawati Metro TV mewawancarai beberapa anggota “DPR” yang terhormat bahkan tidak mampu menyebutkan secara berurutan sila-sila yang terdapat didalam Pancasila secara baik baik dan benar. Sesuatu yang amat disayangkan.

G. Penutup

Dengan mengikuti kegian MOS diharapkan kepada siswa baru memiliki pandangan baru tentang bagaiman bersikab dan berperilaku sebagai bagian dari masyarakat yang terdidik dan tetap beretika yang baik dan benar. Selamat mengikuti kegiatan MOS semoga mendapatkan pengalaman baru yang berguna dan bermanfaat dikemudian hari. Tuhan Memberkati 


Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40391

1 komentar: