Rabu, 14 Juli 2010

Masa Orientasi Siswa dan Kultur Institusi

Oleh: Meksianis Zadrak Ndii

Penulis adalah dosen FST Undana, Anggota Forum Academia NTT

Opini berjudul “Masa Orientasi Siswa (MOS)” yang dipublikasi oleh Harian ini (9 Juli 2010), sangat menarik untuk ditanggapi. MOS sendiri sudah menjadi semacam ritual tahunan pada sekolah menengah.

Bagian pendahulan dari tulisan ini pada intinya menekankan pada bagaimana sekolah perlu membuat kesan yang baik pada anak didik yang baru sebab jika tidak, kenyamanan siswa baru terusik.

Selanjutnya, penulis artikel ini mengemukakan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah pada hari pertama siswa masuk sekolah yang diasumsikan sebagai masa orientasi siswa. Pada dasarnya apa yang dikemukakan adalah untuk kebaikan siswa. Maksudnya, siswa dibentuk sehingga lebih berkarakter: bagaimana bersikap dan berperilaku sebagai bagian dari masyarakat terdidik.

Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah selesai masa orientasi siswa berakhir?. Apakah ada jaminan bahwa pandangan siswa yang dibentuk selama masa orientasi tersebut, akan bertahan lama? Apakah nilai-nilai yang diajarkan selama masa orientasi akan terbatinkan dalam diri siswa?

Kultur Insitusi

Saya berpendapat bahwa kesan yang terbentuk hanyalah kesan sesaat, apabila absennya kultur sekolah yang baik. Selama masa orientasi, misalnya, siswa diajarkan baris-berbaris untuk membina kedisiplinan dan bertanggungjawab, dan bahkan diusulkan ditambahkan dengan prosesi pengibaran bendera, namun, dalam kesehariannya, siswa berhadapan dengan ketidakdisiplinan dan kurangnya rasa tanggung jawab guru, maka nilai manfaat dari kegiatan tersebut akan memudar. Akibatnya, anak didik mungkin saja enggan mempraktekan nilai-nilai yang telah diajarkan dalam keseharian mereka.

Institusi pendidikan tampaknya terjebak dalam pola-pola mendidik, yang sepintas terkesan bermanfaat, tetapi tak mempunyai pengaruh jangka panjang. Memang model-model seperti itu tidak sepenuhnya salah, tetapi perlu dipikirkan cara agar prinsip-prinsip baik yang telah dikomunikasikan dapat terbatinkan dalam diri anak didik.

Pembentukan perspektif siswa terhadap tempat ia bersekolah akan tertanam secara kuat bila siswa merasakan bahwa dia berada dalam kultur sekolah benar-benar baik sehingga dapat diteladani. Menumbuhkan perspektif siswa yang positif terhadap institusi pendidikan dimana dia belajar bukan sekedar pada kesan pertama ketika dia masuk sekolah. Kesan pertama lambat laun akan memudar bilamana mereka merasakan suasana sekolah yang tidak menjiwai seperti yang telah diajarkan atau tak memenuhi harapan tulus mereka.

Selain itu, pembentukan karakter siswa adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu. Siswa dapat saja dibekali dengan materi “budi pekerti”, tetapi ini tidak akan efektif. Nilai-nilai yang diajarkan hanyalah sebatas pengetahuan apabila nilai tersebut tidak secara konsisten diterapkan disekolah. Oleh karena itu, penerapan nilai-nilai tersebut membutuhkan komitmen semua member (anggota) institusi pendidikan tersebut.

Bila perlu dibuat regulasi tertulis yang mengatur soal ini. Sikap guru, siswa dan anggota sekolah lainnya diatur dalam suatu aturan ketat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan peran antara siswa dan guru.

Jadi, tidak hanya siswa dituntut menghargai atau bersikap yang benar, tetapi para pendidik memiliki tanggung jawab yang sama. Andaikan siswa yang terlambat masuk sekolah diberikan sanksi tertentu, tentu ini juga harus berlaku buat guru. Hal yang sama juga dapat diterapkan pada siswa yang tidak masuk karena alasan yang tidak dapat diterima atau guru yang bermalas-malasan masuk sekolah dan mengajar. Ini yang sejujurnya belum sepenuhnya dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Tuntutan penerapan nilai-nilai tersebut lebih sering dititikberatkan pada anak didik dibanding anggota sekolah lainnya, karena mereka sering dianggap sebagai pribadi yang masih dalam proses pembentukan karakter.

Padahal, kultur sekolah terbentuk dari integrasi karakter-karakter individu dalam sekolah. Oleh sebab itu, pembentukan kultur sekolah adalah tanggung jawab semua anggota sekolah. Sikap semua anggota akan menentukan kultur sekolah itu sendiri. Bila semua anggota sekolah, misalnya, selalu membuang sampah pada tempatnya, maka kultur kebersihan tercipta.

Jadi, Masa Orientasi Siswa (MOS) hanya menyentuh sampai pada tingkat pengetahuan siswa, belum sampai menginternalisasi nilai-nilai itu dalam pribadi anak didik. Untuk itu, penciptaan kultur sekolah yang baik sangat menolong dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai yang ditanamkan selama MOS. Tentunya, ini akan terasa lengkap ketika masyarakat juga menciptakan budaya yang sama dalam kesehariannya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita dalam berdiskusi.


sUMBER: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40421

Tidak ada komentar:

Posting Komentar