Rabu, 14 Juli 2010

Universitas, Produksi Ijazah atau Kualitas?

Oleh: Gusti O. Hingmane

Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana


”Jebloknya persentase kelulusan di NTT saat ini salah satu sebabnya adalah output Perguruan Tinggi sangat rendah, khusunya sarjana pendidikan.. Bagaimana mau mengajar siswa kalau para guru yang lulus PNS tahun ini lulus dengan nilai yang sangat rendah”, kata Walikota Kupang, Daniel Adoe.

Mendengar atau membaca pernyataan di atas, banyak di antara kita yang mungkin kebakaran jenggot, atau bahkan bermuka tebal, khususnya para pendidik yang berada di Fakultas Keguruan. Tetapi sebenarnya, ini adalah cambukan, dan bahan refleksi untuk kita. Karena Fakultas Keguruanlah yang melahirkan para sarjana pendidikan (para guru), yang kemudian mengajar di sekolah-sekolah.

Dari pada itu, muncullah pertanyaan-pertanyaan, apakah benar Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) biang keladi dari jebloknya prosentase kelulusan di NTT ini? Apakah yang telah kita lakukan selama ini terhadap calon guru di Fakultas Keguruan? Dan, apa yang seharusnya segera dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada di Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Keguruan, agar output-nya dapat memanusiakan manusia dan tidak mengecewakan masyarakat, dan khususnya para pejabat seperti pak Daniel Adoe ?

Berangkat dari pernyataan Daniel Adoe di atas, memang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dihindari bahwa para guru selalu dikambinghitamkan, jika kelulusan sangat merosot. Ketika dikambinghitamkan para guru yang ada di bangku pendidikan, seperti TK, SD, SMP, SMA, bahkan PT juga saling menyalahkan. Dalam pada itu, kata pantas atau memang ikutserta dibunyikan dalam lingkungan pendidikan, yang dikenal dengan lingkaran setan dunia pendidikan.

Sebagai contoh, ketika seorang anak yang tamatannya dari suatu SD atau SMP tertentu ketika melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi lagi, dan dalam studinya tersebut, ditanya oleh seorang guru dari suatu mata pelajaran tertentu, baik atau buruk dari jawaban yang diberikan pasti mendapat tanggapan dari guru tersebut, dan jawabanya pasti berbunyi pantas atau memang. Dimana ada penilaian yang baik dan buruk yang menyertainya, baik itu menggunakan majas ironis atau majas hiperbola.

Pendidik di Fakultas Keguruan
Saya sering membayangkan ketika mengikuti mata kuliah Micro Teaching yang diasuh oleh Dr. Clemens Kollo, MAT., dan membandingkan cara mengajar yang diajarkan oleh beliau dengan dosen/guru saya yang lain, baik itu di SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, beliau sungguh sangat profesional dalam mengajar, mengapa? Karena saat beliau mengajar, lantai yang begitu kotor pun beliau duduk di atasnya. Beliau sangat tidak merasa gengsi sedikitpun. Ketika beliau mengajar, beliau menggunakan berbagai cara dengan berbagai variasi. Kita yang awalnya malas belajar dibuatnya menjadi senang, tertarik, bahkan sampai-sampai lupa waktu untuk matakuliah berikutnya.

Dari gambaran mengajar yang diberikan di atas, Dr. Clemens Kollo, MAT mengajarkan kepada kita, baik itu yang sudah guru atau dosen, maupun calon guru, agar benar-benar menerapkan cara mengajar yang baik, benar, menarik, tidak membosankan, bahkan membuat para peserta didik selalu rindu untuk belajar, selalu rindu untuk pergi ke kampus atau sekolah, dan selalu rindu guru/dosen. Dan ketika guru/dosen tidak masuk, mereka merasa kehilangan sesuatu. Inilah tiga kunci filosofi untuk meningkatkan qualitas yang baik.

Hal yang senada juga, pernah disampaikan oleh Prof. Mans Mandaru (dalam kuliahnya) bahwa seorang guru/dosen dikatakan tidak berhasil dalam mengajarnya ketika usainya kegiatan belajar mengajar, para peserta didik berteriak hore, atau ekspresi yang sangat bahagia ketimbang saat belajar mengajar. Karena dalam pada itu, di mata peserta didik, mereka telah keluar dari penjara, karena cara mengajar yang sangat kurang ideal di mata peserta didik. Cara mengajar dosen/guru yang sangat membosankan. Bersambungan dengan hal di atas, ada seorang teman saya pernah berkata bahwa soal mengajar semua orang bisa mengajar, tetapi untuk membuat peserta didik itu mengerti, atau senang atau menggairahkan dibutuhkan orang-orang tertentu.

Di samping itu, Clemens Kollo dalam kuliahnya mengatakan bahwa cara mengajar yang harus diterapkan oleh semua dosen/guru dari setiap matakuliah, yakni misalkan matakuliah yang 2 SKS, berarti harus tiga kali pertemuan. Maksudnya, 100 menit untuk tatap muka (antara guru/dosen dengan peserta didik), 100 menit untuk tugas terstruktur (khusus untuk peserta didik), dan 100 menit untuk tugas mandiri (khusus untuk peserta didik). Karena menurut beliau, kebanyakan dalam proses belajar mengajar, para pendidik menggunakan waktu seluruhnya hanya untuk 2 SKS untuk tatap muka.

Di samping itu pula, cara mengajar yang masih menjadi tradisi dalam dunia pendidikan adalah, peserta didik masih dianjurkan membaca (hasil belajar hanya 10%),dan jika ditambah dengan mendengar, yang hasil belajarnya menjadi 20%, dan jika ditambah lagi dengan melihat (melihat vidio atau melihat demo) maka hasilnya hanya 30%. Dan jika ditambah lagi dengan diskusi, hasilnya akan menjadi 50%, dan jika ditambah lagi presentasi, hasilnya akan menjadi 75%, dan jika ditambah lagi dengan stimulus dan role play/praktek yang hasilnya akan menjadi 80%, dan ditambah lagi dengan melakukan hal nyata, yang hasilnya akan menjadi 90% (berdasarkan Teori Dale’s Cone of Experience ).

Itulah belajar abstrak ke belajar konkrit yang secara otomatis proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan sesuatu, karena melakukan sesuatu sampai hal yang konkrit, dimana peserta didik juga dilibatkan langsung. Prof Mans Mandaru pun senada (dalam kuliahnya) dengan pernyataan tersebut, beliau mengatakan bahwa “tell me so I remember, teach me so I know, and involve me so I learn”

Calon Guru di Fakultas Keguruan
Banyak di antara kita (calon guru) yang merasa senang bahkan bangga dengan nilai yang tinggi. Tetapi sayang, kalau nilai berbicara lain dengan otak (intelektualitas). Sebagai contoh, nilai yang diberikan oleh guru atau dosen yang tanpa diketahui ujung pohonnya, dari mana datangnya nilai tersebut, dan pantas dikatakan ”nilai misterius” karena tugas dan hasil ujiannya mahasiswa/i tidak dikembalikan, baik itu tugas harian, mid, maupun final. Karena menurut saya, itu adalah cermin buat calon guru dalam membangun intelektualitasnya. Namun, hal ini yang paling disukai oleh banyak mahasiswa. Apalagi, nilai yang diberikan adalah 4 (A). Dan jika mendapat nilai 1 (E), atau 2 (D), maka banyak mahasiswa/i yang kebanyakan pergi ke rumah dosen untuk mengemis nilai seperti pengemis.

Pertanyaannya adalah, apakah kita kuliah ini hanya untuk mencari nilai? Atau mencari pengetahuan? Inilah yang perlu kita hayati bersama dan aplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Dalam pada itu, para mahasiswa harus lebih kritis, bukan membeo apa yang disampaikan oleh guru atau dosen sebagai kebenaran yang mutlak. Jika salah katakan salah, jia benar katakan benar.

”Namanya saja manusia” begitulah kata yang pantas untuk dijadikan sebagai patokan kita untuk berpikir kritis, apalagi UUD telah menjamin setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya. Artinya, setiap orang yang mengajar atau berbicara tidak selamanya benar melulu. Dan inilah tempat buat kaum intelektual menjalankan keintelektualannya, bukan membeo pada apa yang salah. Kampus seharusnya dijadikan tempat untuk brainstorming antara guru/dosen dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan mahasiswa. Bukan dosen/guru yang menjadi sumber pengetahuan satu-satunya. Dan pendidik jangan menggunakan otoritasnya untuk menekankan cara hidup berdemokrasi!

Di samping itu pula, hal yang selama ini telah membudaya di kalangan mahasiswa adalah, ketika ada seorang teman yang bertanya, kita selalu identikkan dengan orang yang bodoh. Dalam kacamata saya, hal ini yang perlu diluruskan bahwa orang yang bertanya bukan berarti mereka bodoh, tetapi mereka menganalisis atau merasa asing dengan setiap pernyataan yang disampaikan oleh guru/dosen. Dan jika mereka bertanya, berarti mereka hanya bodoh sesaat saja. Sedangkan, yang menertawakan adalah mereka yang menertawakan kebodohan mereka. Mereka tanpa menganalisis setiap kata atau pernyataan yang disampaikan oleh dosen/guru. Ketika kita menganalisis, itulah salah satu cara terbaik (vitamin) untuk meningkatkan serta mengaktifkan otak kita.

Dalam pada itu, satu hal yang sangat menyedihkan, adalah lembaga pendidikan tidak peduli dengan kehidupan pelajar yang sebenarnya. Dimana lembaga pendidikan menuntut para pelajarnya untuk menguasai semua bidang studi. Inilah penjara buat pelajar, karena semua pelajar yang ada tidak mempunyai lebih dari satu talenta.

Bagaimana pelajar bisa berkembang, jika mata pelajaran yang tidak disukai juga dituntut harus mengnguasainya. Laksana pungguk merindukan bulan. Mata pelajaran itu akan mubasir walaupun dituntut harus mengnguasai oleh pendidik. Agar, pendidikan tidak menjadi penjara buat para peserta didik, maka yang harus dilakukan adalah memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan talentanya. Jika tidak mereka hanya terpaksa karena lingkungan meminta ijasah, mau tidak mau, terpaksa harus mau. Maka dari itu, sebagai seorang pendidik, kita pun harus memahami ”siapa kita sebenarnya”, dimana kesempurnaan tidak ada pada kita semua. Dan jika peserta didik yang mengikuti mata kuliah tertentu lalu diminta untuk menguasainya, tetapi tidak dapat dikuasainya, saya pikir pendidik harus memahami, jangan memaksa mereka untuk mengikuti apa yang pendidik maksudkan.

Hal itu senada dengan Thomas Jeffereson (dalam Har Tilaar, 2003) bahwa setiap manusia dikaruniai dengan kemampuan intelektual yang berbeda. Dan itu merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan bersama manusia. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka sistem pendidikan harus memberikan tempat untuk perkembangan bakat dan intelektual yang berbeda tersebut. Ini, tentunya dibutuhkan suatu seleksi dan evaluasi mengenai kemampuan dan bakat mereka setelah pendidikan dasar.

Senada dengan hal di atas, Prof. Felix Tans (dalam makalahnya ”Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Apa Yang Salah”) mengatakan bahwa seorang peserta didik yang berminat dan/atau berbakat dalam suatu bidang, biarlah dia belajar itu saja, jangan paksakan juga untuk belajar yang lain. Inilah yang menurut Felix Tans disebut pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs), minat (interst), dan bakat (talent) peserta didik. Felix Tans juga katakan, supaya berhasil model pembelajaran ini, peserta didik dengan bantuan guru/dosennya perlu menanamkan dalam dirinya imajinasi dan oto-sugesti yang kuat, bahwa mereka bisa kalau mereka belajar lebih rajin, punya tekad yang kuat, dan disiplin yang tinggi, pasti berhasil dalam bidang apapun.

Hal seperti ini juga diilustrasikan oleh kak Seto dalam buku dongengnya (dalam opininya Yeverson di Timex, 23-06-2009) ”sebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang lebat, di sana akan terselenggarakan sebuah sekolah untuk para binatang yang ada dalam hutan tersebut. Ada pun mata pelajaran pokok yang akan diajarkan adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Dengan demikian, semua murid yang berprestasi diharapkan mampu menguasai keempat mata pelajran pokok di atas.

Namun bagaimana kenyataan di lapangan mari kita lihat: Si kucing hutan amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat, namun sayangnya ia tidak pandai/kesulitan dalam mata pelajaran berenang dan terbang, berkali-kali coba pun tetap mengalami kegagalan. Berkali-kali ia memanjat pohon yang tinggi kemudian meloncat agar bisa terbang seperti burung yang terbang namun tetap gagal dan sebagai akibatnya kucing terjatuh dan terguling-guling di tanah dengan mengeong kesakitan.lain halnya dengan si bebek, ia cukup mahir dalam berenang.

Terbang pun untuk jarak yang tidak terlalu jauh masih mampu melakukan. Namun, berlari dengan cepat mengalami kesulitan, apalagi untuk memanjat”
Dari semua penomena yang di atas, semuanya dapat teratasi, apabila guru/dosen benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Tugas yang baik itu seperti, mengajar yang menyenangkan para peserta didik, sehingga mereka benar-benar rindu pergi ke sekolah/kampus, rindu guru/dosen, dan yang secara otomatis mereka akan terlibat dan terus termotivasi untuk belajar. Di samping itu pula, kalau benar-benar Perguruan Tinggi, dalam hal ini Fakultas Keguruan mau menciptakan calon guru yang ber-SDM maka salah satu cara yang selama ini telah membudaya adalah tidak dikembalikan hasil kerja calon guru karena dalam benak saya, pasti tidak diperiksa. Bagaimana calon guru dapat menilai akan potensi dirinya jika hal ini (tidak ada pengembalian hasil kerja calon guru) terus terjadi.

Dengan pengembalian hasil kerja calon guru disertai dengan pengkoreksian, secara otomatis, Universitas bukan menghasilkan ijasa saja tetapi disertai dengan kualitas yang handal. Dalam pada itu, para mahasiswa akan terus tertantang untuk belajar dan saling bersaing dalam ranah intelektualitas.

Dan yang terakhir, buat pak Daniel Adoe, jangan hanya menyalahkan Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) saja dalam menentukan kelulusan, tetapi harus melihat ke bawah. Banyak tenaga guru yang bukan berasal dari Fakultas Keguruan. Sebagai contoh, adanya program akta mengajar. Mereka-mereka yang mengikuti akta mengajar itu hanya menikmati ujungnya saja, dan mereka itu sebenarnya masuk jadi guru karena tidak ada pilihan lagi. Mereka itu terpaksa. Oleh karena itu, program akta mengajar harus segera ditutup. Di samping itu pula, adakan perombakan besar-besaran dong, kalau ternyata sekolah-sekolah tertentu selalu mandul tingkat kelulusannya.

Dan posisikan orang-orang yang benar-benar berkompoten dalam dunia pendidikan. Jangan memposisikan orang-orang yang sejalan dengan bapak atau pengikut bapak, apalagi mereka yang di posisikan itu tidak berkompoten dalam mengurus pendidikan! Mari kita jangan saling menyalahkan, tetapi bahu-membahu membangun pendidikan NTT! Merdeka!

sUMBER: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=40412

1 komentar:

  1. Terima kasih banyak bro. Sudah bantu mempublikasikan karyaku di bro pu blog. Tuhan memberkati bro

    BalasHapus