Minggu, 07 November 2010

Tak Ada Bunyi Kodok...

TAK seperti biasa, warga Dusun C dan D Desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang saling bertukaran korek api atau pemantik gas untuk menyalahkan tunggu api di pagi hari. Tak lagi anak-anak yang berlarian di pagi yang cerah. Semuanya murung, semuanya sedih. Kampung itu berubah menjadi bisu.



Yang terdengar hanyalah tangisan anak-anak yang kehilangan orangtua, tangisan orangtua yang kehilangan anak dan tangisan sanak keluarga yang kehilangan anggota keluarga mereka.



Kampung yang tertata rapi dengan rumah-rumah bebak porak poranda. Tanaman dan hewan piara pun hanyut terbawa banjir. Kali Ponof yang selama ini merupakan sahabat warga untuk mandi dan cuci berubah galak dan garang. Di tengah keheningan malam, di saat sahabat warganya lelap dalam tidur, tiba-tiba sang sahabat itu mengamuk menerjang kampung yang dihuni 361 kepala keluarga itu. Betul-betul garang. Rumah- rumah penduduk disapu rata, penghuninya pun dikoyak lalu diterjang hingga tewas meregang nyawa.



Kornelis dan Timo, warga Desa Skinu yang ditemui di sela-sela pemakaman massal 15 korban yang berhasil ditemukan warga, Kamis (4/11/2010) malam, menuturkan, semua mereka tak menyangka kali yang sehari-hari menjadi tempat bermain anak- anak, menjadi tempat mandi dan cuci warga berubah ganas lalu mengirim banjir hingga menewaskan sahabat mereka. Selama ini kali tersebut tenang-tenang saja. Mereka sama sekali tak menyangka kali tersebut bisa memangsai sahabat warga setempat. Apalagi tidak ada tanda-tanda bahwa kampung itu akan diporak-porandakan banjir.



Kornelis dan Timo menuturkan, mereka tak menyangka terjadi duka nestapa di kampung mereka. Tidak ada tanda-tanda seperti raungan anjing atau suara kodok. Jika ada warga di dusun mereka yang meninggal dunia, selalu ada raungan anjing yang diyakini sebagai penanda ada duka yang menimpa warga. Menurut cerita nenek moyang, jika terjadi banjir warga mendengar tanda bunyi kodok di sore hari. Tapi tanda-tanda itu sama sekali tidak terdengar sehingga warga tak waspada.



Tetapi hanya dalam hitungan menit air di Kali Ponaf meluap sekitar dua meter tingginya meluncur menerjang 361 rumah di Dusun C dan D. Enam belas warga hanyut terbawa banjir bandang.



Banjir bandang itu menyisakan mayat dan nestapa bagi yang tersisa. Adakah musim bencana telah tiba? Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan longsor dan banjir masih mengancam banyak wilayah di NTT.



Banjir bandang itu dilukiskan Bupati TTS, Ir. Paul Mella, selain karena melimpahnya curah hujan, kerusakan hutan juga menjadi penyebab utama terjadinya bencana yang meninggalkan duka nestapa itu.



Banjir bandang di desa itu, menurut Mella, adalah banjir terbesar sejak dirinya memimpin kabupaten wangi cendana itu. "Ini terjadi karena banyaknya penebangan liar di hutan pada lerengan yang segaris dengan daerah aliran sungai itu," katanya.



Duka nestapa itu mengundang Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, bersama rombongan meniti jalan batu berlumpur, menyeberangi kali untuk menyatakan turut berduka dan melihat langsung penderitaan rakyatnya. Sejak pukul 10.00 Wita, Kamis (4/11/2010), gubernur meninggalkan rutinitasnya di Jalan El Tari, Kupang menuju kota dingin SoE, lalu melintasi jalur tengah Amanatun Timur, Amanatur Utara dan Ayotupas hingga masuk ke tenda duka tepat pukul 19.00 Wita. Gubernur memberikan kekuatan kepada keluarga yang ditinggalkan mereka yang tewas tertimpa banjir. Bantuan darurat berupa tenda, selimut, perabot dapur dibawa serta untuk mereka yang kehilangan rumah dan harta benda.



Kepada keluarga korban dan warga desa itu, gubernur menitip harapan agar jangan tenggelam dalam duka nestapa. Bencana itu patut direfleksikan sebagai rencana Tuhan. Warga diminta bangkit dari suasana itu, dan rela direlokasi agar aman dari gangguan bencana alam. Warga juga diminta memperhatikan kelestarian lingkungan agar alam tidak murka.



http://www.pos-kupang.com/read/artikel/54853/regionalntt/tirosa/2010/11/6/tak-ada-bunyi-kodok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar