(Sebuah Catatan Menuju Kota Ramah Anak)
Oleh: Imanuel E.O. LopisIlustrasi dari matanews.com
“Awalnya memang ada kata-kata yang pedas di telinga, anak kurang ajar, anak tidak tau sopan santun. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Saat memasuki wilayah kelurahan Naikoten 2, suasana itu tidak ada lagi. Yang dirasakan adalah suasana saling menyapa, akrab dan nyaman.” Pengakuan di atas datang dari Lurah Naikoten 2, Richardo Z. Therik setelah hampir setahun memimpin kelurahannya yang menjadi pilot project kelurahan ramah anak di Kota Kupang (Pos Kupang, 27 September 2010).
Kelurahan Naikoten 2 ditetapkan sebagai proyek percontohan kelurahan ramah anak pada 15 Juni 2009, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Wujud kelurahan ramah anak di Naikoten 2 berupa pembangunan yang berpihak kepada anak, penetapan jam belajar anak, pembangunan tempat bermain anak, adanya zona aman sekolah, dan peta penunjuk jalan kepada anak-anak untuk penyelamatan saat terjadi musibah (Pos Kupang, 23 Maret 2010). Proyek kelurahan ramah anak di Naikoten 2 yang dijabarkan lagi menjadi RT ramah anak, menjadi daya tarik bagi ibu negara dan Mentri PPPA untuk mengunjungi kelurahan ini saat Hari Pers Nasional nanti.
Kelurahan percontohan ini kiranya merasuki 48 kelurahan lainnya sehingga menjadi kelurahan ramah anak juga. Dengan demikian, impian agar Kota Kupang menjadi kota ramah anak menjadi sebuah kenyataan. Selain itu, penghargaan kepada Kota Kupang sebagai kota layak anak oleh presiden, dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
Dalam pergumulan membawa Kota Kupang menuju ambang keramahan anak, kata keramahan itu wajib dimaknai dan dilakukan dari hal-hal kecil. Kalau ada proyek kelurahan ramah anak, harus diterjemahkan lagi menjadi RT ramah anak hingga keluarga ramah anak. Keramahan anak oleh keluarga tentu akan menjadi kolekte sehingga membentuk keluarga yang ramah anak. Pada puncaknya, tercuatlah kota ramah anak. Singkatnya, untuk menjadikan Kota Kupang sebagai kota ramah anak, bangunlah keramahan itu dari keluarga.
Bagaimana keluarga bisa ramah anak? Salah satu caranya yaitu membuat mulut kepala keluarga sampai anggota keluarga menjadi ramah anak. Mengapa mulut harus ramah anak? Mulut sebagai salah satu bagian tubuh yang sering dipakai untuk berbicara. Ketika berbicara, termasuk berbicara kepada anak, sering muncrat kata-kata yang tidak ramah seperti makian, hujatan, ancaman, dan sebagainya. Setiap aliran kata dari mulut ketika berbicara sangat mempengaruhi sikap atau perilaku si anak. Misalnya, kalau anak diajar dengan kata-kata ancaman, ia akan tumbuh menjadi anak yang penakut atau pemberontak.
Ada beberapa ketidakramahan mulut atau kesalahan dalam berbicara kepada anak. Kesalahan itu telah terjadi dan mendarahdaging dalam masyarakat Kota Kupang juga. Kesalahan itu belum disadari padahal akibatnya fatal. Menurut Steve Bidduph dalam The Secret of Happy Children dan Edy Wiyono dalam Mengapa Anak Saya Melawan dan Susah Diatur, kesalahan-kesalahan dalam berbicara kepada anak, khususnya yang dilakukan orang tua, sebagai berikut:
Membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain
Dalam kehidupan keluarga, orang tua kerap membandingkan anaknya dengan saudaranya atau anak orang lain. Misalnya, “lu ini pamalas mati, sonde sama ke lu pung adik yang rajin.” Membanding-bandingkan anak seperti itu akan membuat si anak yang malas menjadi iri kepada saudaranya yang rajin. Suadaranya yang rajin juga bisa saja menjadi sombong ketika orang tua menggunakannya sebagai ukuran bagi saudaranya.
Ketika dalam kondisi seperti itu, orang tua hendaknya tidak usah membanding-bandingkan anaknya. Kalau ada anak yang rajin dan ada yang malas, anak yang rajin hendaknya dijadikan teladan bagi anak yang malas bukan dijadikan alat pembanding.
Memaki dan menjuluki anak
Anak-anak selain menyandang nama yang diberikan orang tuanya sejak lahir, mereka juga kemudian terpaksa harus memikul sejumlah nama baru dalam makian atau julukan. Makian itu seperti menyebut anak dengan nama binatang dan kata-kata kotor lainnya. Sementara julukan kepada anak kerap diberikan kepada anak karena kondisi fisiknya atau perilaku anak, misalnya: menjuluki anak dengan julukan “keriting” karena rambut anak itu keriting atau menjulukinya “palese” karena anak itu sering manja dan cengeng.
Kalau memaki anak dengan berbagai kata kasar dan kotor serta menjulukinya dengan berbagai julukan, anak justru perilaku anak akan menjadi seperti apa yang dikatakan kepadanya. Kalau anak dijuluki karena kondisi fisiknya, ia malah tidak akan percaya diri dengan fisik yang miliki.
Jika anak berlaku tidak sesuai yang diinginkan, orang tua seharusnya mengatakan kepada anak bahwa yang dinginkanlah yang seperti ini, bukan dengan memaki anak. Anak juga sebaiknya dipanggil atau disebut sesuai namanya bukan dengan setumpuk julukan yang direntetkan kepadanya.
Membicarakan kesalahan atau kekurangan anak kepada orang lain sementara anak mendengarnya
Orang tua tak jarang menjadi seperti presenter acara gosip yang membicarakan kepada orang lain seputar kesalahan atau kelemahan anaknya. Lebih payah lagi, anak mendengar apa yang dibicarakan orang tuanya. Kesalahan dalam berperilaku atau kekurangan fisik dan psikis anak sebaiknya jangan menjadi bahan gosip orang tua. Akibatnya anak bisa menjadi pemalu, tidak percaya diri atau bahkan menjadi agresif.
Menggunakan kata-kata negatif untuk anak
Kata-kata negatif, misalnya saat seorang anak selalu bermain sehingga lupa belajar, mamanya bilang, “Lu pemalas belajar begitu nanti sampai ujian lu pung nilai nol ko sonde naik kelas.” Kata-kata negatif ini akan membuat pikiran negatif dalam diri anak bahkan bisa sampai menjadi sebuah kenyataan seperti malas belajar, mendapat nilai buruk dan tidak naik kelas.
Kalau anak terus bermain sehingga lupa untuk belajar, orang tua sebaiknya mengajak atau memerintahnya dengan kata-kata yang postif, misalnya, “Nak, ayo belajar biar saat ujian dapat nilai bagus dan naik kelas.” Kalau kata-kata positif seperti ini yang diucapkan kepada anak, tentu anak juga akan memikirkan hal yang positif sampai bisa mewujudkannya.
Selalu membenarkan anak
Selalu membenarkan anak bukanlah hal baru dalam keseharian kita. Jika anak kurang berhati-hati dalam berjalan sehingga menabrak meja maka mejalah yang disalahkan. “Adu, ini meja paling ke apa ko, beking beta pung anak ko su sakit ni. Diam su, mama su pukul ini meja.” Jika anak bermain dengan kakaknya dan ada suatu masalah sehingga anak itu menangis maka kakaknyalah yang disalahkan. “Ini kaka ni bodo e, main deng adik sonde jaga. Tenang su e, papa su pukul kaka.”
Berkata seperti itu kepada anak berarti orang tua telah mengajarkan kepada anak bahwa di dunia ini anak selalu benar. Saat berada dalam suatu masalah anak akan mengkambinghitamkan atau menyalahkan orang lain sekalipun ia yang salah.
Oleh karena itu, kalau anak sedang mengalami masalah seperti menabrak meja, anak hendaknya diberitahukan supaya kalau lain kali jalan harus hati-hati. Begitu pula kalau anak menangis saat bermain dengan kakaknya, penyebab masalahnya harus dicari orang tua bukan langsung menyalahkan si kakak. Kalau anak itu yang salah, katakanlah kalau memang ia yang salah dan jangan mengulangi kesalahan itu.
Berbohong kepada anak
Orang tua kerap berkata kepada anak, misalnya “Ade di rumah sa e, papa mau pergi sebentar sa. Nanti pulang baru bawa ole-ole.” Ternyata papanya pergi bekerja di kantor dan malam baru pulang. Sudah begitu, tidak membawa ole-ole bagi anaknya.
Kalau sang papa mau pergi ke kantor lalu anak merengek untuk ikut, sebaiknya jujur pada anak bahwa akan pergi ke kantor dan bekerja sampai malam. Anak juga harus diberikan pengertian, kalau dia ikut ke kantor, pekerjaan papanya akan terganggu. Kalau menjanjikan ole-ole untuk anak, janji itu harus dipenuhi. Dengan demikian anak bisa menjadi percaya kepada orang tuanya.
Mengancam anak
Kata-kata bernada ancaman juga kerap diberondongkan orang tua kepada anak, misalnya, “Lu nakal terus e, bapa pi lu pung gigi dong rubuh”, atau bisa seperti ini “beta angka ame sang lu nanti keluar iko jendela.” Ancaman seperti ini diucapkan dengan tujuan bisa mengurangi atau menghentikan perilaku anak. Akibatnya fatal kalau ancaman itu benar dilakukan. Kalau tidak dilakukan, orang tua akan dinilai hanya menggertak.
Untuk mengurangi atau menghentikan perilaku anak, ancaman bukanlah pilihan bijak. Betapa indahnya apabila anak diberitahu dengan baik-baik tentang akibat dari perilakunya dan bagaimana ia harus berperilaku.
Memberi perhatian pada hal yang salah
Misalnya ada seorang anak sedang bermain dengan adiknya kemudian mereka bertengkar, orang tuanya pasti memarahi mereka atau menyuruh mereka supaya saling berbagi mainan saat bermain. “Bosong ini kenapa kalau bermain bertengkar begitu?” Namun kalau kedua anak itu bermain dengan aman tanpa berkelahi, orang tua jarang memberikan pujian atau perhatian. Dengan demikian anak membuat kesimpulan bahwa mereka akan mendapat perhatian orang tua kalau mereka bertengkar. Oleh karena itu, kalau anak bermain dengan saudaranya dengan penuh kerukunan dan keceriaan, orang tua harusnya memberi perhatian juga, misalnya, “Nah, kalau bermain dengan kakak harus begini. Saling berbagi mainan dan ceria slalu.”
Merendahkan diri sendiri
Dalam menghadapi perilaku anak, orang tua kerap mengancam anak dengan orang lain, misalnya saat anak nakal, mamanya berkata, “Papa, coba lihat ini anak, dia terlalu nakal nih.” Secara tidak langsung, mamanya telah menanamkan pengertian dalam anaknya bahwa hanya sang papa yang bisa mengatur anak sedangkan ia tidak bisa. Oleh karena itu, saat anak berperilaku seperti membuat kenakalan, orang tua hendaknya memberitahukan akibat dari kenakalan itu dan bagaimana harus berperilaku, bukan menakuti anak dengan orang lain.
Menakuti anak
Cara lain untuk mengendalikan atau menghentikan perilaku anak adalah orang tua menakuti anaknya. Kalau anak dalam keadaan sakit dan tidak mau minum obat, orang tuanya bilang, “ayo minum obat kalau sonde nanti dokter suntik.” Menakuti anak dengan sosok dokter dan jarum suntik akan membuat anak malah tidak suka kepada dokter. Orang tua seharusnya menjelaskan kepada anak pentingnya minum obat. “Nak, minum obat supaya sembuh dari sakit ”
Memaklumi yang tidak tepat
Kesalahan lain dari orang tua dalam berbahasa kepada anak yaitu memaklumi yang seharusnya tidak patut dimaklumi. Misalnya, saat anak merengek atau manja dan selalu ingin dipenuhi keinginannya, orang tua berkata, “Namanya juga anak tunggal” atau “Namanya juga anak bungsu.” Kalau ada anak laki-laki yang suka berkelahi. Orang tua juga kerap bilang, “Namanya juga laki-laki.”
Perilaku anak sebaiknya jangan terus dimaklumi kalau salah atau tidak patut dimaklumi. Kalau perilaku anak salah, ajarkan yang benar kepadanya. Kalau selalu merengek untuk dibelikan sesuatu, anak perlu diberitahu bahwa merengek bukanlah cara yang tepat untuk memenuhi meminta sesuatu.
Memakai bahasa yang tidak jelas bagi anak
Orang tua kerap mengancam atau memerintah anaknya dengan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya, “Kalau lu ikut papa dan mama ke pesta, jangan sembarang dan macam-macam e!” Kata “sembarang” dan “macam-macam” merupakan kata-kata yang terlalu umum sehingga tidak jelas bagi anak. Oleh karena itu, orang tua hendaknya menjelaskan sesuatu dengan kata-kata yang lebih khusus sehingga dimengerti anak. Misalnya, “Kalau lu ikut papa dan mama ke pesta, jangan merengek atau pergi bermain jauh-jauh. ” Dengan demikian, anak langsung tahu apa yang diinginkan orang tuanya.
Terlalu cepat menyimpulkan dan memotong pembicaraan anak
Ketika anak dalam masalah dan hendak berbicara, orang tua sering juga memotong pembicaraan karena terlalu cepat menyimpulkan, misalnya, “Sudah lai, lu jang alasan macam-macam,” atau “Jang omong banyak lai karna papa deng mama su tau.” Memotong pembicaraan anak seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Seharusnya orang tua menjadi pendengar yang baik bagi anak sehingga anak dengan leluasa menceritakan unek-uneknya. Kalau sudah begitu, masalah yang dialami anak bisa ditemukan dan dicari jalan keluarnya.
Menyindir anak
Kata-kata sindiran juga kerap dilontarkan orang tua kepada anak. Kalau anak selalu meminta uang, orang tua menyindir, “Lu kira bapa deng mama pohon uang ko?” Kata-kata seperti ini justru akan membuat anak merasa jengkel atau menganggap orang tuanya tidak bertanggungjawab. Kalau anak sering minta uang, orang tua sebaiknya menjelaskan besarnya pendapatan orang tua dan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga sehingga uang yang ada untuk kebutuhan keluarga.
Pujian dari orang tua
Anak tentu membutuhkan pujian dari orang tua ketika melakukan berhasil sesuatu. Sayangnya orang tua sering lupa memberikan pujian, memberikan pujian yang tak beralasan atau memuji tindakan yang tidak tepat. Misalnya, ketika anak berhasil menggambar, orang tuanya memuji, “Wah, gambar ini bagus sekali” Pujian ini tidak berasalan sehingga seharusnya pujian itu demikian, “Wah, gambar ini bagus sekali karena warnanya cerah.” Ada juga orang tua yang memuji anaknya walau anaknya berperilaku buruk. Misalnya, ketika seorang anak memukul temannya yang sering mengolok dia, bapak dari anak itu memuji, “Begitu dong baru anak hebat.”
Beberapa ulasan di atas kiranya menjadi sebuah catatan bagi kita semua, khususnya para orang tua di Kota Kupang, kota yang sedang berjuang menuju kota ramah anak. Kalau orang tua atau anggota keluarga ramah kepada anak dalam berbicara, niscaya keramahan itu akan bersama keramahan lain menciptakan keluarga, RT, kelurahan dan kota yang ramah anak pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar