Jumat, 14 Oktober 2011

Mengenaskan, Perbatasan RI-Timor Leste

Semua kalangan baik pemerintah, DPR, pengamat dan akademisi, pasti mengakui wilayah perbatasan Indonesia masih merupakan daerah tertinggal.

Sebelum gerakan Reformasi 12 tahun lalu, perbatasan masih dianggap wilayah yang diawasi begitu ketat dengan pendekatan keamanan daripada pendekatan peningkatan kesejahteraan, karena dianggap rawan keamanan.

Akibatnya, banyak sejumlah daerah perbatasan tidak pernah tersentuh dinamika pembangunan. Sarana dan prasarana sosial sangat terbatas. Ini juga yang terjadi di daerah yang langsung memiliki perbatasan dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebagian besar jalan di sejumlah daerah perbatasan dengan Timor Leste kondisinya rusak berat. Bila musim hujan tiba, daerah perbatasan pun menjadi wilayah yang terisolasi, terputus dari dunia luar.

Jalan-jalan yang rusak di wilayah Kabupaten Belu, yaitu Desa Alas Utara, Desa Lamaknaen, Desa Fohuk, Desa Lutarato, Desa Fatubesi dan Desa Lookeu. Kondisi yang sama juga terlihat di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), seperti di Desa Inbate dan Aplal, di Kabupaten Kupang, yaitu jalur jalan menuju Oepoli.

"Akses jalan yang tidak terhubung atau terputus di sebagian besar jalur menuju wilayah perbatasan kita dan Timor Leste kondisinya akan semakin parah pada saat musim hujan," ujar Komandan Korem 161/WS Kupang, Kolonel Infanteri Edison Napitupulu kepada detik+ yang mengikuti rombongan wartawan meninjau lokasi perbatasan RI-RDTL tanggal 21-24 September 2011 lalu.

Bila musim hujan tiba, sebagian besar wilayah menjadi terisolasi, sehingga perekonomian masyarakat kurang berkembang. Implikasinya, akibat mata pencaharian yang kurang itu menyebabkan maraknya penyelundupan barang kebutuhan ke Timor Leste untuk menyambung hidup.

Selain jalan yang rusak, yang kerap menjadi persoalan yang krusial yaitu persoalan ketersedian air bersih. Tanah di Pulau Timor yang berstruktur karang menyebabkan kurangnya sumber air bersih. Akibatnya kesehatan masyarakat juga rendah.

Belum lagi persoalan penerangan listrik yang sangat terbatas di sejumlah daerah perbatasan. Dari pantauan detik+, sejumlah daerah di perbatasan ini kondisinya akan gelap gulita bila malam hari.

Kalaupun ada lampu yang menyala, itu karena warga banyak yang mengandalkan genset atau mesin disel. Tapi, lagi-lagi itu tidak akan bertahan lama, karena keterbatasan pasokan BBM, yang justru banyak dijual ke wilayah Timor Leste.

Kondisi ini terlihat di Kecamatan Kobalima, Kecamatan Nanaetdubesi, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kecamatan Lasiolat dan Kecamatan Raihat yang semuanya masuk wilayah Kabupaten Belu. Juga di Kecamatan Bikomi Nilulat, Kecamatan Miomafu Barat dan Kecamatan Mutis di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), serta di Kecamatan Amfoang Utara yang masuk Kabupaten Kupang.

"Banyak yang masih mengandalkan lampu minyak dan genset. Akibatnya kualitas hidup rendah, kurang terjamah informasi dan teknologi, perekonomian kurang berkembang menyebabkan SDM yang rendah dan mudah dihasut dan dibelokan ideologinya," imbuh Edison lagi.

Walau kondisinya seperti itu, Edison menegaskan, sampai saat ini belum ada persoalan keamanan yang menjadi konflik antara Indonesia dan Timor Leste. Karena, kedua negara terus melakukan kerjasama patroli keamanan di perbatasan, terutama dalam mengecek patok garis perbatasan kedua negara, pemantauan terhadap pelintas batas ilegal.

Kondisi mengenaskan tidak hanya di NTT yang menjadi perbatasan dengan Timor Leste. Tapi juga di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.

Data yang diperoleh detik+ dari Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tercatat ada delapan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).

Garis perbatasan di Kalimantan dengan Malaysia secara keseluruhan panjangnya 1.885,3 kilometer. Dari hasil survei yang dilakukan tahun 2007, di sepanjang garis perbatasan ini memiliki pilar batas sebanyak 9.686 buah. Kondisi tugu batas pada umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan panjang garis perbatasan yang ada.

Sayangnya, bila melihat potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan Kalimantan yang cukup besar dan bernilai ekonomi tinggi, ternyata tidak sebanding bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya. Infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah, masih tertinggal dengan negara Malaysia.

Kondisi mengenaskan juga terjadi di perbatasan Papua dengan Papua Nugini yang panjangnya 760 kilometer yang memanjang dari Skouw, Jayapura hingga Benscbach, Merauke. Masyarakat di perbatasan di lima kabupaten seperti Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digoel dan Merauke juga secara ekonomi, pendidikan dan kesehatan masih memprihatinkan. Padahal, sumber daya alam, berupa kayu dan hasil pertambangan begitu kaya dan berlimpah yang terus dikeruk pemerintah dan perusahaan besar milik asing.

Terkait peningkatan kesejahteraan warga masyarakat di daerah perbatasan, khususnya antara RI-RDTL ini, Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi antara lain Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu ke Timor Leste pada tanggal 19-20 Agustus 2011 lalu.

Kunjungan itu di antaranya untuk membicarakan persoalan tiga titik batas wilayah kedua negara yang masih menjadi sengketa dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di perbatasan agar lebih sejahtera. Salah satunya pemanfaatan pasar desa di wilayah perbatasan. Hanya saja sampai sekarang belum terdengar dan terlihat realisasinya.


http://www.detiknews.com/read/2011/10/03/124213/1735390/159/gelap-gulita-terisolasi-bila-hujan-tiba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar