Jumat, 14 Oktober 2011

Serba Manual Keluar Masuk Perbatasan

Memasuki sebuah negara biasanya harus melalui proses imigrasi yang ribet dan panjang. Tapi tidak demikian di Pos Pintu Lintas Batas (PLB) Motaain, Kabupaten Belu, NTT. Inilah pintu keluar masuk perbatasan antara Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Di Motaain, prosesnya sangat sederhana. Hanya bermodal sebuah paspor, sedikit wawancara untuk menanyakan ini itu, seseorang bisa bebas melenggang menuju wilayah Indonesia atau sebaliknya menuju Timor Leste.

Tidak ada pemeriksaan X-ray, penimbangan barang yang dibawa, metal detector, kacamata pengintai malam (night vision), dan tidak ada pemindai suhu badan (thermal scanner). Semua pemeriksaan dilakukan secara manual, tanpa teknologi modern.

Pintu pelintas batas atau border RI-RDTL ini hanya dipisahkan sebuah jembatan yang di bawahnya merupakan sungai kering. Di tengah jembatan ini diberikan garis bertanda kuning, sebagai tanda batas negara. Jarak antara pos pelintas batas yang dikelola Indonesia dan Timor Leste ini berjarak sekitar 200 meter.

Tak jauh dari pos ini, sejumlah bus datang dan pergi melayani perjalanan warga kedua negara. Tidak ketinggalan angkutan pengangkut barang sembako dan kebutuhan lainnya.

Warga Timor Leste yang akan menuju wilayah Atambua, NTT dikenai ongkos bus travel seharga US$ 20 per orang dari Dili, Timor Leste sampai Atambua. Sementara, warga Indonesia yang menuju Timor Leste, dari Atambua menuju Dili dikenai ongkos Rp 180.000 per orang.

"Kita sering bolak-balik. Seperti sekarang saya ada ketemu saudara di Atapupu, Atambua," ujar Guesefe yang ditemui detik+ di Pos PLB RI-RDTL di Motaiin, Belu, NTT.

Setelah tiba di pos PLB Motaain ini, Guesefe langsung menuju pos kantor imigrasi yang ukurannya hanya 3 x 5 meter saja untuk membayarkan visa. Warga Timor Leste yang akan masuk ke wilayah Indonesia dikenai biaya pengurusan paspor dan visa sekitar US$ 26 sampai US$ 30. Sementara, Indonesia belum memberlakukan itu, setiap warga Indonesia yang akan melintas ke Timor Leste dikenai biaya Rp 250.000.

"Memang di sini belum diberlakukan Visa on Arrival (VoA), sementara RDTL sudah memberlakukannya. Kesulitan kita belum ada bank yang siap untuk melakukan pembayaran itu dan belum adanya peralatan. Apalagi di wilayah ini blank spot semua jaringan. Jadi mau masuk kapan saja bisa," ungkap Kepala Pos Imigrasi di PLB Motaain, Wijaya Kurniawan kepada detik+.

Karena belum adanya peralatan pendukung yang memadai, pengecekan dan pendataan setiap pendatang dari Timor Leste dilakukan secara manual. "Di sini komputernya masih manual. Kita sangat mengharapkan adanya Border Control Manajemen (BCM) yang terpasang secara online seperti di Bandar Udara dan Pelabuhan lainnya. Di sini tidak ada," kata pria berusia (28) asal Bogor, Jawa Barat itu.

Dengan tidak adanya BCM, petugas tidak bisa melakukan cegah dan tangkal (cekal) terhadap sejumlah orang yang diduga melakukan kejahatan tertentu karena tidak ada data. Apalagi data secara online soal adanya permintaan cekal terhadap orang yang keluar masuk juga tidak bisa langsung dilihat.

Untungnya secara umum PLB Motaain aman. Hanya saja dari informasi sejumlah petugas keamanan, baik TNI dan Polri, banyak pelintas batas yang memanfaatkan jalur-jalur tikus yang bisa dilalui karena belum adanya pos pengamanan atau memang jauhnya untuk mencapai PLB Motaain.

Setiap hari, di PLB Motaain sendiri dari catatan imigrasi ada sekitar 100-130 orang pelintas batas. Tapi bisa lebih kalau ada perayaan seperti hari Lebaran atau Natal.

Sementara pihak Bea Cukai di PLB Motaain juga memiliki luas ruang yang sama dengan Imigrasi. Walau di dekat pos mereka terdapat kantor perwakilan. Hanya saja, Bea Cukai di PLB Motaain sendiri juga belum dilengkapi peralatan seperti X-Ray, Metal Detector untuk meneliti barang yang dibawa pelintas batas.

"Ya kita sifatnya manual, kita bersama petugas dari TNI dan Polisi langsung memeriksa ke kendaraan atau tas barang bawaan," ujar seorang petugas Bea Cukai itu.

Kondisi memprihatinkan PLB Motaain juga disampaikan oleh Komandan Korem 161/Wira Sakti selaku Komandan Pelaksana Operasi Satgas Pamtas RI-RDTL Kolonel Inf Edison Napitupulu. "Memang sampai saat ini pengelolaan PLB kurang maksimal. Seolah-olah hanya tugas TNI saja. Padahal, seharusnya Pemda ikut bertanggung jawab," ungkapnya kepada detik+.

Edison mengakui, masih terbatasnya peralatan dan perlengkapan di PLB Motaain untuk melaksanakan pengecekan barang, seperti Metal Detector, X-Ray, pendeteksi barang serta jembatan timbang.

Bahkan, pelayanan Pas Lintas Batas hanya bisa dilayani di Pos PLB Motaain saja, sementara di PLB Motamasin, PLB Wini dan PLB Nawan Bawah sampai sekarang belum terealisasikan. "Saya kurang tahu apa yang menjadi penyebab hambatan itu," kata Edison.

Padahal tidak adanya dukungan peralatan memiliki implikasi besar. Selain pelayanan PLB tidak maksimal, juga rawan penyelundupan barang-barang ilegal seperti senjata, amunisi dan bahan peledak serta narkoba.

Komandan Pos Motaain I Satgas Pamtas RI-RDTL, Letnan Dua Inf Agus Kurniawan mengakui menemui banyak kendala karena tidak adanya bantuan dari peralatan untuk mendeteksi para pelanggar batas ini secara maksimal.

"Kita memang tidak ada bantuan, kita hanya bisa menangkap pelanggar batas, setelah menangkap dan menyerahkannya ke imigrasi atau polisi. Soal deportasi dan sebagainya itu nanti urusan imigrasi," terang Agus.

Meski tidak dilengkapi peralatan modern, pos pengamanan perbatasan RI dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) diakui masih lebih baik dibandingkan pos perbatasan lain di Indonesia seperti di Kalimantan dan Papua. Saat ini, pengelolaan Pos Terpadu Pintu Lintas Batas (PLB) yang terbaik masih ada di PLB Entikong, Kalimantan Barat.

"Di Entikong sudah sangat baik dan lengkap. Memang di sini beda, kekurangan peralatan dan belum terkoordinasi dengan baik. Karenanya kita diharapkan sering menjadi tumpuan," ujar Agus.


http://www.detiknews.com/read/2011/10/03/112238/1735303/159/serba-manual-keluar-masuk-perbatasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar